Wednesday, November 14, 2012

TRADISI KEULAMAAN DI INDONESIA


TRADISI KEULAMAAN DI INDONESIA
Qaharrudin Widyarto

A.    Beberapa Pengertian
Pengertian ulama pada dasarnya adalah suatu pengetian dalam konsep sosial yang berarti “orang-orang yang berlimu atau berilmu atau berpengetahuan”. Akan tetapi pada umunya masyarakat Islam Indonesia lebih mengartikan kata ulama sebagai “seorang yang berilmu”.
Tapi bila dihubungkan dangan kata lain, pengertian arti kata Ulama memliki arti yang sangat luas dan umum, yaitu adalah semua orang yang yang berilmu, apa saja ilmunya, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang lain, jadi dalam pergertian luas ulama dapat dikatakan sebagai cendekiawan Muslim. Dengan demikian, Ulama secara umum dapat dikatakan merupakan orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ayat-ayat Allah, yang bersifat kawniyah (fenomena alam) maupun yang bersifat Qur’aniyah yang mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, takwa, istislam (tunduk), dan khasssyah (takut). Seiring perkembangan zaman, pengertian ulama pun mengalami perubahan,  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ulama adalah orang yang mendalami ilmu dan pengetahuan tentang agama Islam beserta cabang dalam urusan agama lain. Menurut H. Rosihan Anwar, Ulama dalah orang-orang yang berpengetahuan dalam soal agama, yang antara lain ahli dalam hukum syariah, pahan tentang fiqih, paham tentang tasawuf, dan tergantung dari bidang spesilisasi yang disukai atau dipilihnya. sedangkan pergertian ulama dalam konteks lingkungan masyarakat Islam, Ulama sering diidentifikasikan sebagai ahli waris para Nabi (waratsal al-anbiya’) yang disebabkan fungsi ulama sendiri sebagai pelanjut dan pengemban risalah kenabian yang disampaikan kepada umat manusia. Atas dasar kedudukan yang ditempati ulama tersebut, mereka ditempatkan pada hierarkis teratas dalam struktur masyarakat Islam Indonesia. Di Indonesia, banyak dijumpai beberapa gelar atau sebutan yang diperuntukan bagi Ulama, misalnya adalah Jawa barat (sunda), adalah Ajengan, Buya (Minangkabau), Teungku (Aceh), Tonfarita (Sulawesi Selatan), Nun atau Bindara disingkat Ra (Madura) dan Tuan guru (Nusa Tenggra). Sementara itu di Jawa terdapat sebutan Kiai, yang merupakan gelar kehormatan bagi para ulama. Gelar lain yang diperuntukkan untuk ulama adalah wali, yang diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan luar biasa. Sementara itu ada gelar Penembahan untuk ulama yang memiliki kekuatan spiritual.

Terlepas dari semua sebutan tersebut, ada dua syarat seseorang dapat disebut sebagai ulama yaitu mempunyai keilmuan yang tinggi setelah dia menempuh belajar yang cukup lama dan pengakuan masyarakat akan ketaatan terhadap ajaran islam yang dibuktikan nyata. Selain itu, Seorang ulama harus selalu siap untuk memimpin dalam hal peribadatan maupun pemikiran agama, juga sebagai penuntun spiritual, pemimpin ritual keagamaan dan pemimpin masyarakat. Dilihat dari segi fungsi, sosok ulama dalam masyarakat terbagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok ulama bebas atau ulama yang berkedudukan peran sosialnya berada di jalur Al-dah’wah wa al-tarbiyah(dakwah dan pendidikan) dan kelompok ulama pejabat atau yang disebut dengan penghulu yang peran sosialnya adalah al-tasri wa al-qadha(Hukum). Diman kedua kelompok ini mempunyai peran dalam menyemai Islam di Jawa.

B.    Posisi dan Peran Ulama Di Indonesia
Posisi dan peran ulama memiliki posisi tersendiri dalam masyarakat Islam, bahkan sejak awal sejarah Islam sampai sekarang sebagai para penerjemah agama Islam. Pada masa Khulafaur Rasyidin, ulama cukup berperan dalam pembentukan dan pembinaan hukum, hal ini disebabkan karena ulama memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Pada awalnya Umara (penguasa) dan ulama menyatu dalam lembaga ahl al-balli wa al aqdi. Yang kemudian terjadi perubahan, sehi8ngga banyak ulama menarik diri dari dunia politik, namun umara sangat membutuhkan ulama dalam membantu kepemerintahan, sehingga ulama masih memiliki pengaruh dalam konsep kekuasaan. Namun kemudian, Ketinggian posisi ulama serta ajarannya untuk hanya takut kepada Alloh menimbulkan kekhawatiran dari pihak penguasa, sehingga tidak jarang para ulama dipandang sebagai oposan suatu pemerintahan. Di Indoneisa, ulama merupakan suatu kelompok yang diakui eksistensinya oleh masyarakat luas, sehingga sering kali penguasa menjadikan ulama sebagai pengabsah kekuasaan mereka dan memberikan jabatan birokrasi kepada ulama. Sebagai contoh pengangkatan Hamzah al-Fanshuri diangkat sebagai penasihat dan mufti kerajaan yang bertanggung jawab dalam urusan keagamaan di kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah. Akan tetap peran ulama dalam birokrasi biasanya berbeda-beda, tergantung kepala pemerintahannya. Posisi dan peran ulama Aceh dapat mengakomodasi dua kepentingan (politik dan sosial-agama) sehingga dapat meminimalisir ketegangan antara birokrat dan ulama rakyat. Sedangkan di Jawa, pada masa kerajaan demak di kenal tokoh-tokoh agama Islam yang biasa disebut dengan Wali Sanga (Wali Sembilan) yang menjadi penasihat kerajaan demak, dan bahkan berhak mengesahkan, memberi dan mencabut gelar sultan pada raja-raja Islam di jawa. Masa Sultan Agung Mataram, ulama menjabat sebgai Dewan Parampara (penasihat tinggi raja). Akan tetapi masa Amangkurat I, para ulama dan keluarganya dibinasakan karena dianggap tidak menguntungkan penguasa. Di lain pihak, pada pemerintahan kerajaan Banten, Sultan Ageng juga mengangkat seorang Mufti kerajaan lebih karena ketidakharmonisan dia dengan putra mahkota, Sultan Haji. Ketidak harmonisan birokrat dengan ulama rakyat sering biasa terjadi, kemudian bisa berakar permasalahanya ke arah Konflik, yang alasannya bersumber pada suatu perbedaan dan politis, bahkan sampai sekarang hal ini masih sering terjadi.

Terlepas dari gesekan-gesekan ntara ulama birokrat dan ulama rakyat, secara umum, ulama tetap memiliki peran dan posisi khusus dalam masyarakat muslim di Nusantara,  hal ini dibuktikan dengan munculnya kebudayaan khas di Melayu-Indonesia. Ulama rakyat ataupun ulama birokrat juga memiliki peran Islamisasi meski dengan segmen-segmen dan cara yang berbeda. Sedangkan dari segi fungsi sosial keagamaan, ulama birokrat yang duduk di lembaga keagamaan pemerintahannya telah memberikan konstribusi yang besar dalam usaha Islamisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, ulama di Indonesia juga menduduki posisi keagamaan, sebagai spiritual helper, sosial, dan politik. Para ulama di Indonesia mempunyai kekuatan dan memimpin untuk menggalang massa untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, tidak heran kalau pada masa kolonial para ulama yang aktif dalam berbagai pemberontakan atau perang. Hal ini jelas menjadikan pemerintah kolonial bersikap mencurigai para ulama, Deandles sempat mengeluarkan dekrit untuk memberlakukan aturan bahwa para ulama yang sedang melakukan perjalanan harus memiliki surat jalan. Para ulama sangat mudah menumbuhkan kebencian dan rasa permusuhan yang mendalam terhadap orang-orang Belanda dan Eropa yang mereka anggap sebagai kafir. Hal itulah yang kemudian mendorong para penguasa kolonial mempunyai langkah untuk menurunkan mobilitas para ulama dengan mempersempit ruang gerak mereka. Langkah pemerintah kolonial ini sangat menyulitkan para ulama untuk mendakwahkan Islam secara bebas, bahkan telah menjadi kenyataan pahit yang pernah dialami oleh umat Islam di Indonesia sebagai akibat diberlakukannya kebijakan “Perburuan Guru Agama” yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai akibat peristiwa pemberontakan petani Banten 1888. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang, ulama digunakan pemerintah militer jepang sebagai alat penetrasi kealam kehidupan rohani bangsa Indonesia, selain itu ulama juga dimanfaatkan untuk menyebarkan kebudayaan Jepang (Nipponisasi) di pedesaan.

Secara genealogis, ulama di Jawa kebanyakan berasal dari keluarga non-priyayi. sedangkan ulama birokrat berasal dari tiga kelompok masyarakat yaitu kalangan priyayi, kalangan keluarga wong Cilik, dan dari keluarga priyayi termasuk wong cilik. Mereka merupakan produk dari lembaga Islam yang dijalaninya selama bertahun-tahun sehingga mereka benar-benar faqih( paham)  di bidang agama Islam. Di Indonesia, lembaga pendidikan Islam terus berlangsung dan berkembang dengan nama yang berbeda-beda, sebut saja pesantren, surau, atau dayah yang ditujukan kepada lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam secara intensif. Yang kemudian berkembang pada masa sekarang dalam bentuk universitas, seperti perguruan tinggi agama Islam diantaranya IAIN (Institute Agama Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) dan UIN (Universitas Islam Negeri). Terjadinya pembaruan Islam di Indonesia membawa dampak yang signifikan terhadap peran dan posisi ulama dalam masyarakat Islam. Di sini, kaum Muslimin tidak hanya hidup dalam suasana baru modern, tapi juga akrab bersentuhan dengan gagasan kemajuan (progress). Yang kemudian membawa pembaruan Islam, yaitu menggeser peran pesantren dan digantikan sistem pendidikan modern. Perkembangan selanjuntnya dari segi pemikiran Ulama pun terbelah menjadi dua yaitu modernis dan tradisionalis. Pemikiran ulama ini mendorong untuk memasuki suatu organisasi yang kiranya cocok dengan pemikirannya masing-masing.

C.    Pembentukan Kelembagaan Ulama
Organisasi Ulama pertama pertama kali muncul di Indonesia adalah PUSA(Pusat Ulama Aceh), yang dilator belakangi keinginan untuk memeperbaiki kondisi masyarakat Aceh yang terpecah-pecah akibat Perang Aceh. Karena Organisasi ini pada awalnya tumbuh dengan tujuan memperbaharui sistem pendidikan dan menyeragamkan kurikulum pendidikan di Aceh, pada akhirnya melibatkan diri dalam masalah politik, bahkan menjadi pusat dari perlawanan melawan keturunan Ulebalang. Dalam upayanya menghadapi ulebalang ini, PUSA bekerja sama dengan Jepang  membentuk gerakan bawah tanah yang diberi nama “Fujiwara-Kikan” (Gerakan Fujiwara). Gerakan ini telah menggunakan motivasi agama untuk menggerakkan semangat perlawanan, bahkan ada anggapan bahwa Islam dan Jepang sudah lama menjalin kerjasama , dan Jepang akan datang untuk melindungi Islam.
Sebuah kelembagaan ulama juga dibentuk pada masa Indonesia Merdeka, pemerintah Indonesia membentuk Majelis Ulama dengan tujuan mencairkan ketegangan antara pemerintah dan umat Islam pada masa Orde Lama. Pada 12 juli 1958, Majelis Ulama pertama kali di bentuk di Jawa Barat, dengan tujuan awal  untuk mengamankan ancaman gerakan Darul Islam Kartosuwiryo. Yang dalam perkembangannya tujuannya berubah menjadi pemulihan keamanan ke masalah sosial keagamaan: dakwah dan pendidikan. Pada tahap selanjutnya, Majelis Ulama pusat berdiri oktober 1962 sesuai dengan keinginan dan instruksi pemerintah pusat, sehingga kental akan unsure politis, terlihat dari Keputusan Menteri Agama No. Kpts/003/V/MP/AUL/62 tertanggal 6 juni 1962.

Dibentuknya Majelis Ulama Pusat tersebut agar pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap segala aktivitas masyarakat Islam serta dapat membantu segala urusan politik. Termasuk dalam kasus konfrotasi Indonesia-Malaysia, yaitu dengan dikeluarkannya pendapat dari majelis ini bahwa mengganyang Malaysia adalah fardhu ‘ain. Kemudian pada bulan Desember 1965, sebuah majelis ulama daerah dibentuk di Aceh, yang kemudian mengeluarkan fatwanya tentang pelarangan faham komunis dalam ajaran Islam dan menuntut pemerintah agar PKI dan underbouw-nya dibubarkan. Dari sini kemudian menjadi pendorong lahirnya majelis ulama daerah di wilayah lainya, seperti pada tahun 1966, di Provinsi Sumatra barat juga membentuk Majelis Ulama, dengan ketuanya adalah Mansur Dato Palimo Kajo. Pada September 1970 diadakan Konferensi Ulama di Makasar, yang menyadari pentingnya peran ulama dalam pembangunan, dalam konferensi membahas juga masalah pendidikan, pembangunan ekonomi, dan dakwah.

Masa orde baru pemerintah pusat, menbentuk Majelis Ulama Indonesia(MUI), yang dilatari dengan pemerintah mulai menyadari bahwa pembangunan bukan semata-mata soal material saja, tetapi juaga menyangkut soal spiritual. Majelis ulama yang baru itu dibentuk pada muktamar  yang  dilangsungkan pada 21-27 juli 1975, yang memiliki fungsi yang intinya mengeluarka fatwa dan nasihat, mempererat tali persaudaraan islam, wakil masyarakat islam dan menjadi perantara antar Ulama dan para penguasa. MUI tidak akan aktif berpolitik, tidak akan melakukan kegiatan yang dikerjakan oleh organisasi yang sudah ada. namum dalam perkembangan selanjutnya MUI merupakan salah satu sarana politik pemerintah Orde Baru untuk memperkuat hegemoninya. Pasca orde baru, dominasi pemerintah berkurang, akibatnya keberadaan organisasi ini diserahkan sepenuhnya kepada  umat Islam dan MUI harus mencari peran baru dalam masyarakat. sehinggadapat disimpulkan bahwa ulama memiliki peran yang sentral dalam kehidupan masyarakat Muslim, baik secara sosial Budaya maupun ekonomi politik.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |