Tuesday, February 5, 2013

Akulturasi kalender Hijriah dengan kalender saka




Nenek moyang kita memakai kalender Saka sewaktu masih memeluk agama Hindu. Kalender Saka dimulai tahun 78 Masehi, ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut kaum Saka (Scythia) di bawah pimpinan Raja Kaniska dari tangan kaum Satavahana. Tahun baru terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi Pisces) awal musim semi. Nama-nama bulan adalah Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Palguna.

Agar kembali sesuai dengan matahari, bulan Asadha dan Srawana diulang secara bergilir setiap tiga tahun dengan nama Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana. Satu bulan dibagi dua bagian: suklapaksa (paro terang, dari konjungsi sampai purnama) dan kresnapaksa (paro gelap, dari selepas purnama sampai menjelang konjungsi), masing-masing bagian 15 atau 14 hari (tithi). Jadi kalender Saka tidak memiliki tanggal 16. Misalnya, tithi pancami suklapaksa adalah tanggal lima, sedangkan tithi pancami kresnapaksa adalah tanggal dua puluh.
Kalender Saka dipakai di Jawa sampai awal abad ke-17. Kesultanan Demak, Banten, dan Mataram menggunakan kalender Saka dan kalender Hijriah secara bersama-sama. Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 Hijriah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram. Sebagai orang yang berfaham Islam, Ia tidak suka melanjutkan perhitungan menurut tahun Caka yang merupakan warisan dari faham Hindu-Budha, akan tetapi apabila dilakukan pergantian penanggalan menjadi tahun Hijriyah secara revolusioner, dikhawatirkan akan membingungkan masyarakat. Oleh karena itu, Sultan Agung  memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Caka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam (Anno Javanico) sebagai upaya pengakulturasian unsur budaya agama Islam dan juga sebagai alat pemersatuan rakyat Mataram.
 beransurangsur kalender lunisolar Saka dari Pulau Jawa, lalu menjadi kalender Jawa yang mengikuti kalender lunar Hijriah. Cuma bilangan tahun 1555  tetap dilanjutkan. Jadi 1 Muharram 1043 Hijriah adalah 1 Muharam 1555 Jawa, yang jatuh pada hari Jum`at Legi tanggal 8 Juli 1633 Masehi. Angka tahun Jawa selalu berselisih 512 dari angka tahun Hijriah. Keputusan Sultan Agung ini disetujui dan diikuti oleh Sultan Abul-Mafakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) dari Banten. Dengan demikian kalender Saka tamat riwayatnya di seluruh Jawa, dan digantikan oleh kalender Jawa yang bercorak Islam.
Nama-nama bulan disesuaikan dengan lidah Jawa: Muharam, Sapar, Rabingulawal, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Saban, Ramelan, Sawal, Dulkangidah, Dulkijah. Muharam juga disebut bulan Sura sebab mengandung Hari Asyura 10 Muharam. Rabi'ul-Awwal dijuluki bulan Mulud, yaitu bulan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Rabi'ul-Akhir adalah Bakdamulud atau Silihmulud, artinya "sesudah Mulud". Sya`ban merupakan bulan Ruwah, saat mendoakan arwah keluarga yang telah wafat, dalam rangka menyambut bulan Pasa (puasa Ramadan). Dzul-Qa'dah disebut Hapit atau Sela sebab terletak di antara dua hari raya. Dzul-Hijjah merupakan bulan Haji atau Besar (Rayagung), saat berlangsungnya ibadah haji dan Iduladha.
Nama-nama hari dalam bahasa Sansekerta (Raditya, Soma, Anggara, Budha, Brehaspati, Sukra, Sanaiscara) yang berbau jahiliyah (penyembahan benda-benda langit) juga dihapuskan oleh Sultan Agung, lalu diganti dengan nama-nama hari dalam bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa: Ahad, Senen, Seloso, Rebo, Kemis, Jumuwah, Saptu. Tetapi hari-hari pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kaliwuan, Umanis atau Legi) tetap dilestarikan, sebab hal ini merupakan konsep asli masyarakat Jawa, bukan diambil dari kalender Saka atau budaya India.
Dalam setiap siklus satu windu (delapan tahun), tanggal 1 Muharam (Sura) berturut-turut jatuh pada hari ke-1, ke-5, ke-3, ke-7, ke-4, ke-2, ke-6 dan ke-3. Itulah sebabnya tahun-tahun Jawa dalam satu windu dinamai berdasarkan numerologi huruf Arab: Alif (1), Ha (5), Jim Awwal (3), Zai (7), Dal (4), Ba (2), Waw (6) dan Jim Akhir (3). Sudah tentu pengucapannya menurut lidah Jawa: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir. Tahun-tahun Ehe, Je dan Jimakir ditetapkan sebagai kabisat. Jumlah hari dalam satu windu adalah (354 x 8) + 3 = 2835 hari, angka yang habis dibagi 35 (7 x 5). Itulah sebabnya tanggal 1 Muharam tahun Alip dalam setiap 120 tahun selalu jatuh pada hari dan pasaran yang sama.
Oleh karena kabisat Jawa tiga dari delapan tahun (3/8 = 45/120), sedangkan kabisat Hijriah 11 dari 30 tahun (11/30 = 44/120), maka dalam setiap 15 windu (120 tahun), yang disebut satu kurup, kalender Jawa harus hilang satu hari, agar kembali sesuai dengan kalender Hijriah. Sebagai contoh, kurup pertama berlangsung dari Jumat Legi 1 Muharam tahun Alip 1555 sampai Kamis Kliwon 30 Dulkijah tahun Jimakir 1674. Di sini 30 Dulkijah dihilangkan. Dengan demikian Rabu Wage 29 Dulkijah 1674 akhir kurup pertama langsung diikuti oleh awal kurup kedua Kamis Kliwon 1 Muharam tahun Alip 1675.
Setiap kurup (periode 120 tahun) dinamai menurut hari pertamanya. Periode 1555-1674 disebut kurup jamngiah (Awahgi = tahun Alip mulai Jumuwah Legi), kemudian periode 1675-1794 kurup kamsiah (Amiswon = Alip-Kemis-Kliwon), dan periode 1795-1914 kurup arbangiah (Aboge = Alip-Rebo-Wage). Sejak 1 Muharam tahun Alip 1915 (1 Muharram 1403 Hijriah) yang jatuh pada 19 Oktober 1982, kita berada dalam kurup salasiah 1915-2034 (AsoPon = Alip-Seloso- Pon), di mana setiap 1 Muharam tahun Alip pasti jatuh pada hari Selasa Pon. Tahun baru 1 Muharam (Sura) tahun Alip 1939, yang identik dengan 1 Muharram 1427 Hijriah, jatuh pada hari Selasa Pon tanggal 31 Januari 2006.
Dalam masyarakat muslim di Jawa, khususnya didaerah bekas kesultanan yogyakarta dan kasuhunan surakarta, terdapat tiga  hari besar yang dimuliakan, yaitu hari kelahiran nabi Muhammad, idul fitri dan idul kurban. Ketiga hari besar itu dilaksanakan bersamaan dengan grebeg yaitu semacam prosesi acara raja.
Masyarakat menyebutnya gerbeg maulud, brebeg puasa / grebeg siam, grebeg ba’da puasa, dan grebeg besar, grebeg ba’da puasa dan grebeg besar  dirayakan ssebagai keramaian yang sudah mentradisi dalam masyarakat yang telah dimulai sejak  sultan aguung di Mataran dan sultan ageng tirtayasa di banten. Dulu gregeb ba’da puasa dirayakan sebagai tahun baru meskipun tahun baru terjadi pada tanggal 1 muharam.
Hari raya asyura atau dalam ucapan masyarakat jawa dikenal dengan Riyaya suro atau suran dirayakan sebagai hari raya tahun baru, dan dahulu pada tanggal satu suro selalu dilakukan  selamatan suran : dengan hidangan khusus bubr suran atau jenang suran. Dikalangan masyarakat Indonesia peringatan bulan suro tidak hanya dilakukan di tanggal 1 saja tetapi juga hari ke-10 bulan suro, seperti di Aceh, bengkulu dan sumatera utara, bahkan hari kedelapan dari bulan sura dianggap yang paling utama.
Dewasa ini kalangan masyrakat muslim Indonesia, hari raya islam jatuh pada tanggal 1 muharram atau 1 asyura, yang dikkenal sebagai tahun baru hijriah, bahkan tahun hijriah pada XV, dianggap sebagai era kebangkitan islam, suatu fenomena yang positif, yang di Indonesia di sambut dengan berbagai acara.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |