Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak saja mendapat sambutan
positif dari rakyat Indonesia yang selama kurang lebih 10 tahun dalam kegoyahan
zaman demokrasi Liberal, melainkan juga dibenarkan dan didukung oleh Mahkamah
Agung . Dekrit ini juga didukung oleh KSAD yang merupakan salah seorang
konseptornya. Dalam perintah keseharianya ia juga memerintahkan untuk
melaksanakan dan mengamankan Dekrit Presiden tersebut kepada seluruh jajaran
TNI-AD ((Poesponegoro, M.J, Notosussanto, N. 1993 :311).
Dalam sumber lain
disebutkan, bahwa sebenarnya konsep kembali kepada UUD 1945 yang merupakan
salah satu dari dekrit presiden telah menjadi gagasan Soekarno sejak 20
Pebruari 1959. Pada tanggal ini Soekarno mencanangkan kembalinya UUD 1945
sebagai dasar Negara yang menggariskan kabinet Pesidentsiil memngkinkan
terwujudnya suatu kepemimpinan nasional yang kuat. Presiden dapat mengangkat
dan memberhentikan Menteri yang merupakan pembantunya. Para menteri hanya
bertanggungjawab kepada Presiden, tidak kepada Parlemen, dan Presidenlah yang
akan bertanggungjawab kepada Parlemen (Soerojo, Soegiarso, hal 131), namun
impian ini baru terwujud saat dicanangkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Setelah dicanangkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dibentuklah Majelis Permusywaratan Rakyat
Sementara (MPRS) yang anggota ditunujuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1.
Setuju kembalai kepada UUD 1945
2.
Setia kepada perjuangan RI dan;
3.
Setuju dengan Manifesto
Politik.
Suatu badan lain yang juga dibentuk adalah Dewan pertimbangan Agung
yang diketuai oleh Presiden Soekarno dengan Penpres No 3 tahun 1959. Dewan ini
beranggotakan 45 orang yang terdiri dari 12 orang perwakilan partai politik, 8
orang perwakilan daerah, 24 orang wakil golongan karya, dan satu orang wakil
ketua..
Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu tahun 1955 semula
mengikuti apa yang menjadi ketetapan pemerintah, namun pada akhirnya mereka
tidak sependapat denagn pemerintah terkait dengan pengajuan Anggaran Belanja Negara tahun 1960, sehingga
menyebabkan dikeluarkanya Penpres N0 3 tahun 1960 yang berisikan pembubaran DPR
hasil pemilu tahun 1955 dan digantikan oleh DPR yang dibentuk oleh Soekarno
pada tanggal 24 Juni 1960 yang diberi nama Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Penggodokan DPR-GR ini sebelumnya
dilakukan di Bali denagn mengundang tokoh-tokoh dari tiga partai besar, yaitu
:PNI, NU, PKI, serta Kolonel Wiluyo Puspoyudo yang mewakili TNI-AD, para
anggota DPR-GR kemudian dilantik pada tanggal 25 Juni 1960 ((Poesponegoro, M.J,
Notosussanto, N. 1993 :312).
Perjalanan panjang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, serta
berbagai dampak yang ditimbulkan dengan dicanangkanya dekrit tersebut memang
tidak semuanya berjalan sesuai harapan. Ada golongan-golongan tertentu yang
diuntungkan, namun ada juga yang sebaliknya. Salah satu pihak yang diuntungkan
dan semakin kuat posisinya setelah adanya dekrit tersebut adalah PKI., pada
akhirnya kekutan pda waktu itu terpusat ditangan Soekarno dengan TNI-AD dan PKI
disampingnya ((Poesponegoro, M.J, Notosussanto, N. 1993 :317).
Salah satu dampak yang mencolok dari sudut pandang
perpolitikan adalah adanya tiga interaksi kekuatan besar pada masa setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu :
1.
Kekuatan Soekarno.
Pada periode ini, Soekarno adalah Panglima Tertinggi ABRI,
Mandataris MPRS, merangkap PM, pemimpin
besar revolusi, ketua Front Nasional, serta Panglima Komando Pembebasan
Irian Barat, serta masih ditambahkanya
predikat “Penyambung Lidah Rakyat”(Soerojo,
Soegiarso, hal 133), sehingga mulai
muncullah tanda-tanda pengkultusan individu terhadap diri Soekarno yang
berlebihan. Soekarno adalah tokoh sentral dalam pergulatan politik pasca dekrit
presiden 5 Juli 1959, interaksinya sering terlibat dengan TNI-AD, dan PKI.
Selain itu juga golongan Islam, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Interaksi
Soekarno lebih besar skalanya dilakukan dengan PKI, sehingga disini muncul
pertanyaan “SIAPA MENGGUNAKAN SIAPA” (Soerojo, Soegiarso, hal 12). Konsepsi
Presiden yang pernah dicanangkanya pada tanggal 21 Pebruari 1957 tentang
Demokrasi Terpimpin, NASAKOM, dan Kabinet berkaki empat (PNI, NU, MASYUMI, dan
PKI) tumbuh subur. Konsep Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno adalah Demokrasi
Rakyat, hal ini disampaikan dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1957.
Padahal Demokrasi Rakyat adalah isttilah yang lazimnya digunakan di
Negara-negara Sosialis (Komunis), seperti, Uni soviet, RRC, Korea Utara, Vietnam,
dll
2. Kekuatan PKI
Ajaran NASAKOM yang diciptkan oleh
Soekarno ssangat menguntungkan PKI pada masa ini, karena menempatkan mereka
sebagai Pergerakan Nasional dan konstalasi politik di Indonesia. Dengan
demikian kedusukan PKI menjadi lebih kuat dan terus berkembang menjadi lebih
besar. Presiden Soekarno menganggap bahwa berhubungan dengan PKi juga
menguntungkan bagi kelangsungan politiknya, sehingga terjadi semacam hubungan
timbal balik yang saling menguntungkan, sehingga menempatkan PKI ditempat yang paling
depan dlam melaksanakan Demokrasi Terpimpin yang berlandaskan Manipol. Ujarnya
:”Kaum Komunis Indonesia dalam melaksanakan program Manipol harus berdiri
dibarisan paling depan dan sungguh-sungguh bertekad untuk menjadi seorang
teladan”.((Poesponegoro, M.J, Notosussanto, N. 1993 :317).
Usaha-usaha untuk memancing dukungan
kepada PKI juga dilakukan dengan mengatakan :”Siapa yang setuju Nasakom harus
setuju Pancasila”. Sehubungan dengan usaha-usaha PKI ini, mereka juga tidak
ragu menyebarkan cuplikan-cuplikan pidato Soekarno yang diuraikan sedemikian
rupa, sehingga seolah-olah sejalan dengan pemikiran PKI.
Dari pernyataan diatas tampak bahwa memang ada suatu
tujuan tertentu yang dibawa oleh PKI dalam mendukung pemerin tatan Soekarno.
Prof. Dr.
Herberth Mercause, mantan Guru Besar Marxis di Frankfrurt, Jerman, yang lari ke
Amerika sejak Hitler berkuasa, lantas menjadi Guru Besar di Universitas
Harvard, Colombia dan California, menulis, “Revolusi
adalah penggulingan kekuasaan pemerintah yang sah serta penghapusab konstitusi
pemerintah oleh kelas sosialis, yang mengubah struktur politik masyarakat.”.
Padahal pidato-pidato Soekarno sarat dengan kata-kata
Revolusi,,,Revolusi-Sosialis-Revolusi Tahap Kedua, suatu konsep politik
Revolusioner, atau konsep Marxis yang menjadi penyebab retaknya
Dwi-Tunggal.Sorerojo, Soegiarso, hal 13) Dari sisni dapat kita ambil asumsi,
bahwa memang ada saling mempengaruhi antara PKI dengan Soekarno, baik dalam
segi saling menguntungkan, maupun sebaliknya.
3. Kekuatan TNI-AD
Usaha-Usaha Seokarno dalam
pembentukan Kabinet Gotong-Royong pada tahun 1960 mendapat tantangan dari
golongan Agama dan TNI-AD dalam kaitanya dengan unsure PKI yang ada didalamnya.
Melihat kentyataan ini pimpinan TNI-Ad berusaha mengimbangi degan mengajukan
calon-calon lain, sehingga merupakan cheking terhadap PKI dalam komposisinya.
Tetapi usaha pimpina TNI-Ad mengalami kesulitan besar kerena Soekarno menaruh
dukungan yang besar kepada PKI dalam segala hal. ”.((Poesponegoro, M.J,
Notosussanto, N. 1993 :319). Dari sini dapat disinyalir bahwa hubungan politik
antara TNI-Ad dengan PKI maupun Soekarno mengalami suatu hal yang tidah
harmonis, hal ini jelas disebabkan karena sudah terciptanya hubungan yang
saling menguntungkan antara PKI dengan Soekarno. Pimpinan TNI-Ad pernah
mensinyalir adanya upaya perongrongan kekuasaan dan Pancasila di berbagai
daerah dan TNI – Ad beruasaha untuk memberi pengawasan terhadap tindakan PKI
ini, namun tindakan Soekarno tetap mendukung PKI, bahkan Soekarno pernah
diingatkan oleh pimpinan TNI-Ad gara jangan terlalu percaya kepada loyalitas
yang diberikan oleh PKI, baik atas pertimbangan ideologis maupun pengalaman
masa lalu. Namun Presiden Soekarno tidak menghiraukan peringatan dari pimpinan
TNI-AD.
Sedemikian jauhlah perlindungan
Presiden Soekarno terhadap PKI. Kegiatan Soekarno yang menyoykong PKI itu
semakin meningkat, sehingga PKI pun semakin bergaiarah meningkatkan apa yang
kemudia disebut “ofensif revolusioner” yang mendengung-dengungkan, bahwa
“anti-Nasakom adalah anti-Pancasiladan kontra Revolusioner” dan lain
sebagainya.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.