Sebelum menginjak
pembahasan tentang Dekrit Presiden Sokarno pada tanggal 5 Juli 1959, terlebih
dulu aan dijelaskan tentang pengetian “Dekrit” itu sendiri. Dekrit merpakan
suatu keputusan pemerintah yang berisi keputusan dan pengumuman, baik yang
ditujukan kepada warga negara atau masyarakat dalam suatu Negara maupun kepada seluruh
masyarakat dunia. Dasar hukum dari dekrit adalah hukum tidak tertulis
(Staatsnoodrecht) atau biasa disebut dengan hukum negara darurat., Artinya
apabila keadaan negara darurat, pemerintah dapat mengambil suatu keputusan
demi bangsa secara obyektif karena
peraturan belum ada. Menurut Prof Mr. Muh Yamin, dekrit adalah ”Hukum Darurat Ketatanegaraan” yang dilakukan secara terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara
Proklamasi.
(Herlambang :Online) menurut Asshidiqie dalam
Herlambang:Online, Hukum Tata Negara Darurat diterjemahkan menjadi staatsnoodrecht,
yang membahas mengenai hokum negara darurat atau Negara dalam keadaan
bahaya (nood). Perkataan ”nood” dalam ”staatsnoodrecht” menunjuk
pada keadaan darurat negara
Di Indonesia dekrit terjadi 2 kali, yaitu pada masa
pemerintahan Soekarno dan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Adapun dekrit yang berhasil dilakukan adalah
pada masa demokrasi parlementer, dalam artian dekrit pada masa ini membawa
perubahan yang cukup drastis pada Negara Indoneisa yaitu sebagai pengakhir masa
pemerinatahan yang menggunakan sistem demokrasi parlementer, yang mana demokrasi
ini sering dijadikan penyebab utama dari adanya banyak peristiwa yang sekiranya
membahayakan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia, seperti gejala
provisialisme, gerakan separatis, jatuh bangunnya kabinet yang dimulai dari kabinet
Natsir (1950) sampai kabinet Juanda (1959), dan gagalnya Konstituante dalam
merumuskan UUD yang baru.
Untuk hal yeng terkhir
yaitu gagalnya Konstituante dalam menyusun UUD bau memperkuat keinginan
presiden Soekarno untuk segera melakasanakan dekritnya, bahkan hal inilah yang
menjadi hal krusial dalam pelaksanaan dekrit ini kerena dengan ini UUD 1945
kembali diberlakukan menggantikan UUDS yang dianggap belum sempurna tersebut. Secara
teoritik, pergantian konstitusi memungkinkan pengaruh pada perubahan struktur
pemerintahan negara, perubahan dasar filsafat negara, tujuan Negara atau juga
kebijakannegara.(Herlambang:Online). Konstituante yang diharapkan mampu menghasilkan UUD
baru yang bersifat tetap ternyata tidak dapat menyelesaikan tugas utamanya itu.
Kemacetan jalannya sidang konsituante pada tahun 1957-1959 membuat Presiden
Sukarno untuk segera bertindak, karena kemungkinan akan adanya perpecahan
bangsa akibat gagalnya konstitunate lebih utama daripada hanya mengikuti
jalannya konstitusi menurut UUDS.(Dekker, Nyoman. 1995:6)
Ketika itu daerah-daerah di Indonesia mengalami
pergolakan, dimulai pada tahun 1956 dengan berdirinya Dewan Banteng, Dewan
Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni, Dewan Mangkurat. Kemudian meningkat menjadi
PRRI/Permesta dan akhirnya menjadi RPI (Republik Persatuan Indonesia). Dalam
mengatasi pergolakan tersebut, pihak tentara dan pemerintah menggunakan cara
yang cukup keras sehingga mereka (tentara) tidak disukai oleh masyarakat umum.
Alas an penggunakan cara keras itu sendiri adalah berdasarkan undang-undang
darurat perang. Hal inilah yang memberikan peluang kepada pihak-pihak tertentu
untuk mengeluarkan anggapannya bahwa kekuasaan tentara harus dibatasi
(Ricklefs,2005:522)
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno berpidato
di depan sidang Konstituante dan mengatas namakan pemerintah menganjurkan agar Konstituante
dianjurkan untuk menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Indonesia yang
tetap. Sebelum Konstituante menerima atau menolak usul pemerintah itu, terlebih
dahulu dari blok Islam datang dan mengusulkan amandemen untuk mengembalikan
kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” kedalam
pembukaan UUD 1945. Usul dari pemerintah dan juga blok Islam tersebut ditolak
oleh Konstituante dalam sidangnya tanggal 29 Mei 1959 dengan perbandingan suara
201 (setuju) lawan 256 (menolak). Pada tanggal 30 Mei 1959 baru dilakukan
pemungutan suara terhadap usul pemerintah kembali kepada UUD 45 (tanpa
perubahan). Inya adalah 269 lawan 199, sedang yang hadir pada waktu itu 474
orang anggota, jadi dengan demikian tidak tercapai 2/3 seperti yang
diisyaratkan oleh UUDS 1945, pasal 37.
Sesuai dengan ketentuan tata tertib Konstituante, maka
dilakukan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terakhir dilakukan
pada tanggal 2 Juni 1959, namun dalam pemungutan ini juga tidak tercapai quarum seperti disebut diatas.
Mulai keesokan harinya, yakni tanggal 3 Juni 1959 mengadakan reses yang
kemudian untuk selama-lamanya.Untuk mencegah akses-akses politik sebagai akibat
dari ditolaknya usul pemerintah oleh
Konstituante, maka KSAD A.H.Nasution atas nama pemerintah/penguasa perang
(Peperpu), mengeluarkan peraturan tentang pelarangan mengadakan
kegiatan-kegiatan politik yang belaku mulai tanggal 3 Juni 1959 jam 06.00.
Adanya kegagalan yang dilakukan oleh Konstituante dalam siding yang sudah
ketiga kalinya ternyata berdampak pada
makarnya anggota-anggota Konstituante lain dari fraksi PNI dan PKI yang tidak
akan menghadiri siding-sidang lagi, walaupun Konstituante sendiri yang mengadakanya.
Hal ini ternyata menimbulkan dampak negatif bagi kelangsungan ketatanegaraan
dan kesatuan Negara Indonesia, serta menghalangi jalanya pembangunan Bangsa.
Dalam waktu- waktu yang kritis inilah Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai
kekuatan politik yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan Nasionalis
(Poesponegoro, M.J dan Notosusanto,N.1993, hal 281-289).
Rentetan peristiwa politik tersebut kemudian mendorong Presiden
Soekarno pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00 WIB di Istana Merdeka
mengumumkan Dekrit Presiden. Isi pokok dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara
lain adalah :
- Menetapkan pembubaran Konstituante
- Menetapkan kembali UUD 1945 bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlaku lagi UUDS 1950.
- Membentuk MPRS yang terdiri atas anggota – anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan golongan dari daerah.
- Membentuk DPA sementara.
Kedua badan yang disebut diatas akan dibentuk dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya (ENI, 2004, hal 278). Dengan dikeluarkanya Dekrit Presiden
ini, maka Kabinet Djuanda dibubarkan danpada tanggal 9 juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja.
Dalam Kabinet ini Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri,
sedangkan Djuanda menjadi menteri pertama (Poesponegoro, M.J, Notosussanto, N.
1993 :311).
Pemberlakuan UUD 1945 yang pada awalnya adalah keinginan
dari Nasution, yang tidak melalui salurah konstitusi, tetapi melalui dekrit
presiden. Pelaksanaan lebih lanjut atas berlakunya kembali UUD 1945, sangat
pula ditentukan oleh peristiwa politik yang sedang berlangsung dalam Negara.
Atas dasar Manifesto Politik (Manipol) serta ditampilkannya semboyan “revolusi
belum berakhir”. Mulailah kebijakan Negara dilancarkan, baik penggalangan
kekuatan politik yang dikenal dengan akronimnya “NASAKOM”, m,aupun hal-hal yang
kemudian dianggap menyimpang dari UUD 1945. Seharusnya berdasarkan hokum
dekrit, maka apa yang diatur berikutnya ialah harus sesuai dengan UUD 1945 itu
sendiri. Dekrit telah selesai berlakunya ketika telah menetapkan berlakunya UUD
1945 itu sebagi pengganti UUDS dan ketentuan-ketentuan lain yang disebutkan di
dalamnya. (Dekker, 1995:7)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.