Autisme berasal dari kata auto yang berarti berdiri sendiri. Istilah
ini mulai diperkenalkan Leo Kanner pada tahun 1943. Saat itu ia melihat anak
autisme yang berperilaku aneh, terlihat tak acuh dengan lingkungan, dan
cenderung menyendiri seakan hidup dalam dunia yang berbeda.
Perilaku tersebut lebih banyak timbul akibat gangguan spektrum
autisme (GSA) yang diderita seorang anak. GSA adalah suatu gangguan kompleks
yang secara klinis ditandai adanya tiga gejala utama. Gejala tersebut adalah
memiliki kualitas yang kurang dalam interaksi sosial dan emosional, kualitas
yang kurang dalam berkomunikasi dengan minat yang terbatas, dan perilaku tidak
wajar disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik).
Dalam hal ini, autisme atau biasa disebut ASD (autistic spectrum
disorder) merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat
bervariasi. Biasanya gangguan tersebut akan berdampak pada cara berkomunikasi
yang terhambat, interaksi sosial yang tidak harmonis, dan kemampuan berimajinasi
yang egosentris.
Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem saraf
pusat yang ditemukan pada sejumlah anak pada masa kanak-kanak hingga masa-masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak-anak yang menyandangnya
tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal, bahkan tidak mampu untuk
menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004).
Dari pengertian ini, yang dimaksud dengan autisme adalah sekumpulan
gejala klinis atau sindrom yang dilatarbelakangi berbagai faktor yang sangat
bervariasi dan berkaitan satu sama lain, serta bisa memengaruhi cara seseorang
dalam berkomunikasi, bereaksi, dan bertingkah laku. Jangan tergesa-gesa
Agar tidak terjebak pada keputusan yang tergesa-gesa ketika
menentukan kondisi seorang anak, apakah mengidap gejala autisme atau tidak,
perlu kiranya mengenal karakteristik perilaku autisme terlebih dulu. untuk
mendiagnosa apakah seorang anak menderita autisme tidaklah mudah. untuk
menghindari kekeliruan diperlukan pemeriksaan secara multidisiplin, yaitu
dokter, psikolog dan ortophedagog yang sudah terlatih dan ahli. Oleh sebab itu,
tanpa memiliki bekal yang cukup tentang karakteristik perilaku autisme,
disinyalir akan menghasilkan keputusan yang tidak tepat dan akurat. Alhasil,
langkah penanggulangan secara praktis akan terganggu, bahkan dapat
mengakibatkan ketidaktepatan langkah terapi sehingga membahayakan perkembangan
jiwa anak.
Sepanjang sejarah, dapat ditemukan berbagai deskripsi dari
karakteristik perilaku GSA ini. Misalnya, Leo Kanner (1943) menuliskan enam
ciri utama perilaku anak-anak autisme sebagai ketidakmampuan menjalin hubungan
sosial, kegagalan menggunakan bahasa secara normal untuk berkomunikasi,
keinginan obsesif untuk mempertahankan sesuatu yang sama, terpesona atau sangat
tertarik pada obyek-obyek tertentu, mempunyai potensi kognitif yang baik, dan
ciri-ciri tersebut tampak sebelum anak berusia 30 bulan (Yuniar, 2003).
Penyandang autisme akan menunjukkan karakteristik seperti tidak
mengerti akan bahaya bagi diri sendiri, tahan terhadap sakit, bermain secara
aneh dan berulang-ulang, menghindari kontak mata, lebih senang sendirian, sulit
menyatakan keinginan, lekat pada benda-benda tertentu, tidak mau diubah
rutinitasnya, membeo kata atau kalimat, tidak mempunyai respons terhadap suara,
dan suka memutar-mutar benda atau diri.
Selain itu, penyandang autisme memiliki kesulitan berhubungan dengan
orang lain, duduk sambil menggoyang-goyangkan badan secara ritmis,
berputar-putar, mengepak-kepakkan tangannya seperti sayap, bertepuk tangan
secara berulang-ulang (obsesif), suka bermain air, memerhatikan benda-benda
yang berputar, melompat-lompat, mengamuk, dan menangis tanpa sebab. Faktor
penyebab
Penyebab terjadinya autisme belum diketahui secara pasti. Yang masih
dalam taraf perdebatan para ahli di antaranya adalah perlakuan orangtua pada
masa kanak-kanak. Penyebab ini diperkuat dengan penelitian Leo Kanner pada
tahun 1940-an yang menyimpulkan bahwa orangtua dari anak pengidap autisme
ternyata kurang memiliki rasa kasih sayang, keakraban, serta kehangatan dalam
membesarkan dan mengasuh anaknya.
Penyebab lainnya seperti yang disimpulkan para ahli adalah bahwa
bibit autisme telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan, bahkan sebelum
vaksinasi dilakukan. Menurut Rudy Sutadi, spesialis anak dari Terapi Kid Autis,
kerusakan saraf otak muncul karena banyak faktor yang melatarbelakanginya,
termasuk masalah genetik dan faktor lingkungan.
Maka, ada dua tipe dasar autisme. Pertama, autisme klasik. Autisme
ini terjadi manakala kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir karena sewaktu
mengandung ibunya terinfeksi virus seperi rubela atau unsur-unsur terpapar
logam berat berbahaya seperti merkuri dan timah, yang bisa mengacaukan
pembentukan sel-sel saraf di otak janin.
Kedua, autisme regresif. Autisme ini muncul saat anak berusia 12-24
bulan. Misalnya, sebelumnya perkembangan anak normal, tetapi secara tiba-tiba
saat usia anak menginjak dua tahun kemampuannya menurun drastis (McCandless,
2003). Jika sebelumnya sudah dapat membuat kalimat dengan dua-tiga kata, anak
berubah menjadi pendiam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak
mau melakukan kontak mata dengan orang lain.
Terakhir, setelah tergambarkan karakteristik perilaku autisme dan
mengetahui faktor penyebabnya, langkah selanjutnya adalah melakukan penanganan
segera. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu deteksi dini,
partisipasi aktif keluarga, dan penentuan corak terapi yang digunakan dalam
upaya penanganan tersebut
Sedangkan dalam proses belajar dan
pembelajaran individu mempunyai ciri khas tersendiri oleh karena itu untuk
menunjangnya diperlukan sarana dan prasarana khusus. Berikut ini adalah sekolah
autis yang didirikan di Lembaga pendidikan Universitas Negeri Malang
- Nama: Sekolah Autisme Laboratorium UM
- Alamat: Jalan Surabaya No.6 Malang, Telp.556523 dan 551312 psw.159
- Pendiri: Dharma Wanita Persatuan UM
- Pengelola: Dharma Wanita Persatuan UM dan UPSL
- Pemilik: UM/Dharma Wanita Persatuan UM
- Berdiri sejak: 26 April 2003
- Kondisi TAHUN 2008: Memiliki 14 ruang belajar; memiliki terapis 13 orang dan 1 orang Kepala Sekolah; satu orang tenaga administrasi; dan satu orang penjaga.
- Pengembangan gedung: Masih mengajukan ke Dirjen Didasmen Jakarta
- Alat permainan: Peralatan sederhana telah tersedia dan sekarang masih mencari dana untuk melengkapi.
- Besar iuran: Per siswa Rp. 750.000,- per bulan.
- Waktu pembelajaran: Senin-Jumat.
- Model pembelajaran: Individual (satu siwa, satu guru)
- Kurikulum: Perpaduan antara kurikulum SD/TK/SLB dan Kurikulum Autis dari luar Negeri
Sekolah Autisme Lab UM ini didirikan
dengan tujuan
- Agar anak autis yang telah mendapat terapi dini tidak terhenti pendidikannya, dalam arti mereka dapat memperoleh pendidikan tingkat lanjut
- Dapat menampung anak autis yang tidak dapat masuk ke TK/SD umum dan dapat menampung anak yang tidak bisa masuk SLB
- Sekolah Autis ini juga merupakan jembatan untuk bisa masuk ke TK/SD Umum
- Sekolah ini juga tempat remidial teaching bagi anak autis yang telah masuk ke TK/SD umum
- Meningkatkan peran serta Dharma Wanita Persatuan UM untuk menangani masalah pendidikan, khususnya bagi anak autis
Dari informasi diatas dapat diketahui
model pembelajaran yang dipakai oleh Sekolah Autisme Lab UM yaitu individual
dimana satu orang murid didimpingi oleh satu orang guru, hal ini dilakukan karena
sifat-sifat pada anak autis yang kurang terbuka kepada orang lain sehingga guru
pendamping ini bertugas untuk meperoleh
kedekatan dengan anak didiknya agar guru tahu apa yang dibutuhkan oleh anak
didiknya. Ketika guru pendamping telah mendapat kedekatan maka guru akan tahu
bagaimana anak itu bisa belajar dengan lebih baik bahakan seorang guru
pendamping akan tahu gaya
belajar anak didiknya
Setiap individu mempunyai gaya tersendiri dalam
upayanya mencerna informasi secara efektif baik itu pada anak normal maupun
pada anak yang menyandang ASD Pada umumnya kita belajar melalui indra
penglihatan. perabaan (Ian atau pendengaran. Seperti halnya anak normal juga
punya aneka gaya
dalam mengingat. Ada
individu yang lebih ingat fakta daripada Orang lain. Ada yang lebih suka detil, sementara orang
lain tidak suka pada detil. Bagaimana dengan individu autisme ? Ada
beberapa gaya
belajar yang dominan pada diri mereka (Sussman, 1999):
* Rote learner: Anak yang memakai gaya belajar ini,
cenderung menghafalkan informasi apa adanya, tanpa memahami ani simbol yang
inereka hafalkan itu. Contoh: anak dapat mengucapkan huruf dengan baik secara
urut (atau melengkapi urutan abjad yang tak lengkap), tetapi sesungguhnya tidak
tahu bahwa huruf itu bila digabung dengan huruf lain akan menjadi kata yang
mengandung makna. Atau, anak yang dapat menghafalkan angka,tidak: Anak tahu
bahwa simbol itu mewakili jumlah benda.
* Gestalt learner: Bila anak menghafalkan
kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti Arti kata-per-kata yang terdapat
pada kalimat tersebut, anak cenderung belajar menggunaka gaya 'gestalt' (melihat sesuatu secara
global). Berbeda dengan anak non-autis yang belajar bicara justru mulai dari
kata-per-kata, anak autis dengan gaya
'gestalt' akan belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. Ia ingat
seluruh kejadian, tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Dia
mungkin akan sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
Misalnya, ketika diberikan mainan karet
yang biasanya dimainkan sambil mandi dan mengatakan "letakkan di
air", ia akan dapat melakukannya. Tetapi bila Anda berikan mainan yang sama
lalu mengatakan "letakkan di rak mainan", ia akan tetap meletakkannya
di air. Ia tidak paham makna kata 'letakkan' tetapi hanya mengasosiasikan
seluruh kalimat dengan kebiasaannya saja. Berbeda dengan anak non-autis yang
belajar bicara justru mulai dari kata-per-kata, anak autis dengan gaya 'gestalt' akan
belajar bicara dengan mengulangi seluruh kalimat. la ingat seluruh kejadian,
tetapi sulit memilah mana yang penting dan mana yang tidak. la mungkin akan
sulit menjawab pertanyaan tentang salah satu detil.
• Visual learner: Anak dengan gaya belajar 'visual' senang melihat-lihat buku atau Gambar
atau menonton TV dan umumnya lebih mudah mencerna infomasi yang dapat mereka
lihat, daripada yang hanya dapat mereka dengar. Berhubung penglihatan adalah
indra terkuat mereka, tidak heran banyak anak autis sangat menyukai TV/ VCD /
gambar.
• Hands-on learner: Anak yang belajar
dengan gaya
ini, senang mencoba-coba dan biasanya mendapatkan pengetahuan melalui
pengalamannya. Mulanya ia mungkin tidak tahu apa arti kata 'buka' tetapi sesudah
Anda letakkan tangannya di pegangan pintu dan membantu tangannya membuka sambil
Anda katakan 'buka', ia segera tahu bahwa bila Anda katakan 'buka' berarti. ia
ke pintu dan membuka pintu itu. Anak-anak ini umumnya senang menekan-nekan
tombol, membongkar mainan dsb.
• Auditory learner: Anak dengan gaya belajar ini senang
bicara dan mendengarkan orang lain bicara. la mendapatkar. infomasi melalui
pendengarannya. Jarang sekali anak autis bergantung sepenuhnya pada gaya ini dan biasanya menggabungkannya dengan gaya lain.
Tanpa mengesampingkan fakta bahwa
setiap individu autis memiliki ciri khas yang berbeda beda, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, pada umumnya
mereka memiliki ciri khas dengan tahu gaya
belajar anak autis tentunya guru pendamping bisa menentukan sarana dan prasarana yang
mendukung proses belajar-mengajar.
Berikutnya dilihat mengenai kurikulum yang dipakai
seperti yang diketahui kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isis dan bahan ajar kurikulum yang dipakai oleh Sekolah Autisme Lab UM
diantaranya kurikulum
SD/TK/SLB dan Kurikulum Autis dari luar Negeri kurikulum yang digunakan
bermacam macam hal ini dikarenakan setiap anak autis memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda, ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak
yang butuh belajar komunikasi secara intensif ada yang perlu belajar bagaimana
mengurusi diri sendiri ada pula yang hanya terfokus pada masalah akademis.
Penentuan kurikulum terhadap penyandang autis tergantung pada penilaian yang
dilakukan oleh sekolah, biasanya dilakukan dengan wawancara terhadap orangtua
dan melalui observasi langsung terhadap anak.
Fakta bahwa individu-individu ASD belajar
secara berbeda karena perbedaan neurobiologist bawaan mereka memberikan dampak
pada tiga hal (Siegel, 1996):
o
Belajar menjadi tugas yang
lebih berat bagi individu ASD
o
Individu ASD harus diajarkan
dalam gaya yang
'khusus' bagi setiap individu, agar mereka bisa memahami materi dengan baik.
Berarti, stimulus disampaikan dalam bentuk atau cara yang khusus
o
Bila
intervensi dilakukan lebih dini, maka perjuangan untuk mengajar
individu-individu ini diharapkan akan lebih mudah karena mereka sudah lebih
tertata (tidak terlalu tantrum atau berperilaku negatif lainnya) Intervensi
dini menjadi satu langkah yang penting, dan salah satu teknik/metode yang
banyak digunakan adalah Applied Behavioral Analisis yang ditemukan oleh Ivar O.
Lovaas (Maurice, 1996). Penanganan intervensi dini menggunakan teknik
'one-on-one' atau satu guru satu anak,yang sangat intensif dan terfokus dengan
kurikulum yang sangat terstruktur. Komponen 'one-on-one' ini menjadi penting artinya
pada proses belajar awal, terutama bagi anak-anak yang masih rendah tingkat
kepatuhan dan imitasi-nya. (Siegel, 1996).
Dari uraian mengenai belajar dan pembelajaran
bagi anak autis dapat diperoleh informasi mengenai belajar dan pembelajaran
anak autis tidak mengubah konsep dan ciri ciri belajar - pembelajaran tetapi
lebih pada tujuan belajar dan
pembelajaran itu sendiri karena dalam proses belajar dan pembelajaran tujuannya
disesuaikan dengan kebutuhan pada anak didik Sedangkan untuk perbedaan itu sendiri
mungkin lebih banyak terdapat pada metode atau pendekatan yang digunakan untuk
mencapai tujuan belajar dan pembelajaran itu
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.