Dalam pendidikan, menurut Ornstein dan
Levine (dalam Saifulloh. 2011: 60-61) ada empat filsafat yang mendasari tentang
pandangan terhadap pendidikan yaitu essensialisme, perenialisme, progresivisme
dan rekonstruksionisme. Filsafat pendidikan essensialisme berpandangan
bahwa pendidikan di sekolah harus dalam bentuk utuh pendidikan keilmuwan dengan
memberikan penekanan pada pengembangan intelektualisme siswa berdasarkan
disiplin ilmu.
Filsafat pendidikan perenialisme berpandangan bahwa
pendidikan harus diarahkan pada pengembangan rasionalitas siswa, terutama
melalui studi liberal arts dan
buku-buku besar (klasik). Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan
oleh John Dewey yang berakar pada filsafat pragmatisme yang berpendapat
bahwa pendidikan harus berpusat pada siswa yaitu beorientasi pada kreativitas siswa
dan dalam aplikasinya menekankan pentingnya problem solving. Filsafat
pendidikan lainya adalah rekonstruksionisme yang dikembangkan oleh
Theodore Bramled mengemukakan bahwa masalah masyarakat dan upaya untuk
menyelesaikannya yang berguna bagi upaya peningkatan kesejahteraan merupakan
tujuan penting pendidikan yang lebih penting daripada hanya sekedar
pengembangan intelektualisme keilmuwan. Dari keempat filsafat ini, bisa
dikatakan pembelajaran sejarah dalam pendidikan Indonesia mendasarkan
pandangannya pada gabungan antara filsafat essensialisme dan filsafat perenialisme,
Menurut Hasan
(2007:7), pembelajaran sejarah memiliki dua makna, yaitu upaya untuk menyajikan
kembali keberhasilan masa lalu kepada generasi muda dan upaya memperkenalkan
peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Dari kedua makna tersebut, makna
kedua dianggap kurang begitu diperhatikan yang sebenarnya lebih penting karena
mengajarkan berfikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan
penafsiran sejarah kepada peserta didik. Oleh karena itu dibutuhkan kajian
sejarah lokal sebagai materi dalam pembelajaran sejarah. Dari sejarah lokal
tersebut dapat diperoleh pemahaman peserta didik terhadap keadaan sekitarnya
dan kebermaknaan belajar sejarah karena memiliki relevansi terhadap kehidupan.
Pendidikan sejarah yang menyajikan materi tentang keadaan yang akrab dengan
peserta didik tentu lebih memudahkan bagi peserta didik untuk memahami materi
sejarah tersebut, sehingga dari hal tersebut diharapkan memunculkan kemampuan
peserta didik untuk berfikir secara sejarah. Berfikir sejarah yang dimaksud
disini adalah cara berfikir seseorang dengan mendasarkan nilai pada masa lalu
dan pada masa sekarang sehingga diharapkan seseorang tersebut dapat bertindak
secara bijaksana dalam menghadapi suatu keadaan.
Dalam upaya memunculkan kemampuan untuk
berfikir sejarah, dibutuhkan cara untuk memperoleh nilai dari sejarah itu
sendiri. Menurut Rohmat Mulyana (2004) (dalam Saifulloh. 2011: 56), cara memperoleh nilai ada tiga, yaitu:
pertama, nilai dapat diperoleh dengan melalui paradigma logis-abstrak yaitu seseorang
dapat menemukan makna/nilai dari sesuatu yang abstrak atau yang ada dibelakang
obyek konkrit; kedua, nilai diperoleh melalui paradigm berfikir logis-empiris
dengan bukti-bukti nyata untuk menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu; ketiga,
nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa yaitu masuk melalui pintu intuisi
dan bersarang dalam keyakinan hati. Pembelajaran sejarah menggunakan cara kedua
dalam memperoleh nilai, yaitu dengan “mengejar” kebenaran yang terjadi dimasa
lalu yang dapat diperoleh dengan berfikir objektif, atau lebih tepatnya
dikatakan berusaha memandang sesuatu secara apa adanya (tanpa harus berusaha
menghilangkan “atribut” dalam diri seseorang).
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.