Tuesday, February 5, 2013

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pembelajaran Sejarah Masyarakat (Qaharudin)




Dalam pendidikan, menurut Ornstein dan Levine (dalam Saifulloh. 2011: 60-61) ada empat filsafat yang mendasari tentang pandangan terhadap pendidikan yaitu essensialisme, perenialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme. Filsafat pendidikan essensialisme berpandangan bahwa pendidikan di sekolah harus dalam bentuk utuh pendidikan keilmuwan dengan memberikan penekanan pada pengembangan intelektualisme siswa berdasarkan disiplin ilmu.
Filsafat pendidikan perenialisme berpandangan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan rasionalitas siswa, terutama melalui studi liberal arts dan buku-buku besar (klasik). Filsafat pendidikan progresivisme dikembangkan oleh John Dewey yang berakar pada filsafat pragmatisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus berpusat pada siswa yaitu beorientasi pada kreativitas siswa dan dalam aplikasinya menekankan pentingnya problem solving. Filsafat pendidikan lainya adalah rekonstruksionisme yang dikembangkan oleh Theodore Bramled mengemukakan bahwa masalah masyarakat dan upaya untuk menyelesaikannya yang berguna bagi upaya peningkatan kesejahteraan merupakan tujuan penting pendidikan yang lebih penting daripada hanya sekedar pengembangan intelektualisme keilmuwan. Dari keempat filsafat ini, bisa dikatakan pembelajaran sejarah dalam pendidikan Indonesia mendasarkan pandangannya pada gabungan antara filsafat essensialisme dan filsafat perenialisme,
Menurut Hasan (2007:7), pembelajaran sejarah memiliki dua makna, yaitu upaya untuk menyajikan kembali keberhasilan masa lalu kepada generasi muda dan upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Dari kedua makna tersebut, makna kedua dianggap kurang begitu diperhatikan yang sebenarnya lebih penting karena mengajarkan berfikir kronologis, pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah kepada peserta didik. Oleh karena itu dibutuhkan kajian sejarah lokal sebagai materi dalam pembelajaran sejarah. Dari sejarah lokal tersebut dapat diperoleh pemahaman peserta didik terhadap keadaan sekitarnya dan kebermaknaan belajar sejarah karena memiliki relevansi terhadap kehidupan. Pendidikan sejarah yang menyajikan materi tentang keadaan yang akrab dengan peserta didik tentu lebih memudahkan bagi peserta didik untuk memahami materi sejarah tersebut, sehingga dari hal tersebut diharapkan memunculkan kemampuan peserta didik untuk berfikir secara sejarah. Berfikir sejarah yang dimaksud disini adalah cara berfikir seseorang dengan mendasarkan nilai pada masa lalu dan pada masa sekarang sehingga diharapkan seseorang tersebut dapat bertindak secara bijaksana dalam menghadapi suatu keadaan.
Dalam upaya memunculkan kemampuan untuk berfikir sejarah, dibutuhkan cara untuk memperoleh nilai dari sejarah itu sendiri. Menurut Rohmat Mulyana (2004) (dalam Saifulloh. 2011: 56),  cara memperoleh nilai ada tiga, yaitu: pertama, nilai dapat diperoleh dengan melalui paradigma logis-abstrak yaitu seseorang dapat menemukan makna/nilai dari sesuatu yang abstrak atau yang ada dibelakang obyek konkrit; kedua, nilai diperoleh melalui paradigm berfikir logis-empiris dengan bukti-bukti nyata untuk menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu; ketiga, nilai diperoleh melalui hati dan fungsi rasa yaitu masuk melalui pintu intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati. Pembelajaran sejarah menggunakan cara kedua dalam memperoleh nilai, yaitu dengan “mengejar” kebenaran yang terjadi dimasa lalu yang dapat diperoleh dengan berfikir objektif, atau lebih tepatnya dikatakan berusaha memandang sesuatu secara apa adanya (tanpa harus berusaha menghilangkan “atribut” dalam diri seseorang).

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |