Kata “kewarganegaraan”
dalam bahasa Latin disebut civicus, selanjutnya kata
civicus
diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi civic, yang artinya mengenai warga
negara atau
kewarganegaraan. Dari kata civic lahir kata ”Civics”, yaitu Ilmu
Kewarganegaraan,
dan ”Civic Education”, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan
(Supriatnoko,
2008: 9). Supriatnoko. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan. Penerbit
Penaku.
Jakarta.
Civics atau
Ilmu Kewarganegaraan telah dikenal di Indonesia sejak zaman
kolonial
Belanda dengan nama Burgerkunde. Pelajaran ini pada hakikatnya untuk
kepentingan
penguasa kolonial, yang pada saat itu diberikan di sekolah guru, sedangkan
kebanyakan
sekolah lanjutan mendapat pelajaran Staats Inrichting (Tata Negara).
Terdapat dua
buku pelajaran Civic yang digunakan, yaitu: (1) Indische
Burgerschapkunde,
disusun oleh P. Tromps dan diterbitkan oleh penerbit J.B. Wolters
Maatsschappij
N.V. Groningen, Den Haag, Batavia, tahun 1934. Buku ini membicarakan
masalah
masyarakat pribumi, pengaruh Barat, bidang sosial, ekonomi, hukum,
ketatanegaraan,
dan kebudayaan; Hindia Belanda dan rumah tangga dunia; masalah
pertanian;
perburuhan; kaum menengah dalam industri dan perdagangan; kewanitaan;
ketatanegaraan
Hindia Belanda, perubahan ataupun pertumbuhannya dengan
terbentuknya
Dewan Perwakilan rakyat (Volsraad); hukum dan pelaksanaannya; masalah
pendidikan,
kesehatan masyarakat, pajak, tentara dan angkatan laut. (2) Rech en Plicht
(Indische
Burgerschapkunde voor iedereen), disusun oleh J.B Vortman dan diterbitkan
oleh G.C.T.
van Dorp & Co N.V. (Derde, Herziene en vermeerderdruk) Semarang-
Surabaya-Bandung,
tahun 1940. Buku ini membicarakan badan pribadi, meliputi
masyarakat
tempat kita hidup dari lahir sampai kedewasaannya, pernikahan dan keluarga,
serta
setelah badan pribadi itu tiada; masalah bezit dari objek hukum yang membahas
tentang
eigendom Eropa dan hak-hak atas tanah, hak-hak agraria atas tanah, masalah
kedaulatan
raja terhadap kewajiban-kewajiban warga negara dalam pemerintahan Hindia
Belanda yang
membahas sejarah pemerintahan Hindia Belanda, perundang-undangan,
sejarah alat
pembayaran dan kesejahteraan. (Supriatnoko, 2008: 10).
Pada tahun
1950, dalam suasana Indonesia merdeka, kedua buku teks tersebut di
atas menjadi
buku pegangan guru Civics di sekolah menengah atas, tetapi dalam mata
pelajaran
yang termuat pada sekolah menengah atas tahun 1950 itu dikatakan bahwa:
Kewarganegaraan
yang diberikan di samping tata negara adalah tugas dan kewajiban
warga negara
terhadap pemerintah, masyarakat, keluarga, dan diri sendiri, misalnya halhal
yang
berkaitan dengan: (1) Akhlak, pendidikan, pengajaran, dan ilmu pengetahuan.
(2)
Kehidupan rakyat, kesehatan, imigrasi, perusahaan, perburuhan, agraria,
kemakmuran
rakyat,
kewanitaan, dan lain-lain. (3) Keadaan dalam dan luar negeri, pertahanan
rakyat,
perwakilan,
pemerintah dan soal-soal internasional. Pelajaran tersebut tidak diberikan
secara ilmu
pengetahuan melainkan sebagai dasar yang berjiwa nasional serta
kewarganegaraan
yang baik (good citizenship).
Pada tahun
1955 terbit buku tentang kewarganegaraan berbahasa Indonesia
dengan judul
”Inti Pengetahuan Warga Negara”, disusun oleh J.T.C. Simorangkir, Gusti
Mayur, dan
Sumintarjo. Dalam kata pendahuluan dinyatakan bahwa tujuan pelajaran
tersebut
adalah untuk membangkitkan dan memelihara keinsyafan dan kesadaran bahwa
warga negara
Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, dan
negara (good
citizenship). Materi buku meliputi Indonesia tanah airku, Indonesia Raya,
bendera dan
lambang negara, warga negara beserta hak dan kewajibannya,
ketatanegaraan,
keuangan negara, pajak, dan perekonomian, termasuk koperasi.
Pada tahun
1961 mata pelajaran civic digunakan untuk memberi pengertian
tentang
Pidato Kenegaraan Presiden ditambah dengan Pancasila, sejarah pergerakan, dan
hak serta
kewajiban warga negara. Buku pegangan resmi adalah Manusia dan Masyarakat
Baru
Indonesia, disusun oleh Supardo, M. Hutauruk, Suroyo Warsid, Sumarjo, Chalid
Rasyidi,
Sukarno, dan J.T.C. Simorangkir.
Di tahun
1961 itu juga istilah ”Kewarganegaraan” diganti dengan istilah
”Kewargaan
Negara” atas prakarsa Dr. Sahardjo S.H. Alasan penggantian itu guna
menyesuaikan
dengan Pasal 26 Ayat 2 UUD 1945 dan menekankan pada warga, yang
mengandung
pengertian atas hak dan kewajiban terhadap negara. ”Warga” berarti
anggota,
jadi warga negara berarti anggota suatu negara, sehingga dengan demikian ada
perbedaan
hak dan kewajiban antara warga negara dan orang asing. Istilah ”Kewargaan
Negara” baru
digunakan secara resmi pada tahun 1967 dengan Istruksi Direktur Jenderal
Pendidikan
Dasar Nomor 31 Tahun 1967 tertanggal 28 Juni 1967.
Pada tahun
1966 buku karangan Supardo, dkk. dilarang digunakan sebagai buku
pegangan di
sekolah-sekolah. Untuk mengatasi kekosongan materi Civics, Departemen
Pendidikan
dan Kebudayaan menginstruksikan muatan Civics meliputi: Pancasila, UUD
1945,
Ketetapan-Ketetapan MPR, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Orde Baru, Sejarah
Indonesia,
dan Ilmu Bumi Indonesia.
Pada tahun
1972 diselenggarakan Seminar Nasional Pengajaran dan Pendidikan
Civics
(Civic Education) di Tawangmangu, Surakarta, dengan hasil yang memberi
ketegasan
terhadap istilah Civics sebagai berikut: (1) Istilah Civics diganti dengan
istilah
Ilmu Kewargaan
Negara, yaitu suatu disiplin yang objek studinya mengenai peranan para
warga negara
dalam bidang spiritual, sosial ekonomi, politik, yuridis, kultural sesuai dan
sejauh yang
diatur dalam pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. (2) Civic Education
diganti dengan
istilah ”Pendidikan Kewargaan Negara”, yaitu suatu program pendidikan
yang tujuan
utamanya membina warga negara menjadi lebih baik menurut syarat-syarat,
kriteria dan
ukuran ketentuan-ketentan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. Bahannya
diambil dari
Ilmu Kewargaan Negara termasuk Kewiraan Nasional, Filsafat Pancasila,
Moral
Pancasila, dan Filsafat Pendidikan Nasional, serta menuju kedudukan para warga
negara yang
diharapkan di masa depan (Kansil dan Kansil, 2005). Kansil, C.S.T. dan
Christine
S.T. Kansil. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta:
Penerbit
Pradnya Paramita.
Pada tahun
1975, guna menindaklanjuti hasil seminar tersebut di atas, disusun
buku
Pokok-pokok Kewiraan dan diterbitkan pertama kali sebagai buku Kewiraan untuk
Mahasiswa
pada tahun 1979 yang digunakan sebagai bahan perkuliahan Pendidikan
Kewiraan di
perguruan tinggi. Pada tahun 1987 buku tersebut mengalami perubahan dan
perbaikan.
Pada thun 1981 ditetapkan Pedoman Kurikulum Inti bagi Perguruan Tinggi
sesuai
dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0212/U/1981, dan
disusul
dengan Penetapan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum oleh Direktur
Jenderal
Pendidikan Tinggi (Kep No. 25/Dikti/Kep/1985). Surat Keputusan Bersama
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan pada
tanggal 1
Februari 1985 dengan Nomor 061/U/1985 dan Nomor Kep/002/II/1985
menggariskan
pola Pembinaan Pendidikan Kewiraan di lingkungan Perguruan Tinggi.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
digunakan
sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan, pasal 39 Ayat 2 menyebutkan
bahwa isi
kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat (1)
Pendidikan
Agama, (2) Pendidikan Pancasila, dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan,
mencakup
pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga
negara dan
negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN). Di dalam
operasionalnya
ketiga mata kuliah wajib tersebut dihimpun ke dalam kelompok Mata
Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) sebagai bagian dari kurikulum inti yang
berlaku
secara nasional.
PPBN
bertujuan meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara,
meningkatkan keyakinan terhadap Pancasila sebagai falsafah bangsa dan
ideologi
negara, meningkatkan kesadaran untuk rela berkorban demi bangsa dan negara
Indonesia,
serta memberikan kemampuan awal bela negara. Yang dimaksud bela negara
adalah
tekad, sikap semangat, dan tindakan seluruh warga negara secara teratur,
menyeluruh,
terpadu dan berlanjut dengan dilandasi oleh tujuan dari PPBN itu sendiri.
Pelaksanaan
PPBN melalui dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal
diberikan
kepada peserta didik di tingkat Sekolah Dasar sampai dengan menengah dan
dalam
kegiatan pendidikan luar sekolah, yang dilaksanakan antara lain melalui
kepramukaan
dan diintegrasikan dalam mata pelajaran di sekolah sesuai dengan
tingkatannya.
Pada tahap lanjutan, diberikan kepada peserta didik tingkat perguruan
tinggi dalam
bentuk ”Pendidikan Kewiraan” (Lemhannas RI, 1996).
Pendidikan
Kewiraan sebagai pendidikan yang membekali mahasiswa berupa
pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dapat diandalkan menjadi seorang warga
negara yang
membela bangsa dan NKRI. Pendidikan Kewiraan saat itu bersifat
intrakurikuler
dan wajib, menitikberatkan kepada kemampuan penalaran ilmiah dalam
rangka
ketahanan nasional. Kata kewiraan berasal dari kata dasar ”wira” yang berarti
satria,
patriot, pahlawan. Setelah mendapatkan awalan ke dan akhiran an, kata dasar
tersebut
menjadi kata benda yang berarti kesadaran, kecintaan, dan keberanian membela
bangsa dan
negara serta tanah air Indonesia.
Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 056/U/1994, yang mengacu pada
Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990, menetapkan status Pendidikan Agama,
Pendidikan
Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikan
tinggi
sebagai mata kuliah wajib untuk setiap program studi dan bersifat nasional.
Garisgaris
Besar
Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Kewiraan ditetapkan dalam
Keputusan
Direktur Jenderal Pendidikan tinggi Nomor 32/DJ/Kep/1983 dan
disempurnakan
kembali dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
151/Dikti/2000.
Selanjutnya melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidkan Tinggi
Nomor:
267/Dikti/Kep/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah
Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.
Pendidikan
Kewiraan diintegrasikan dan menjadi bagian dari Pendidikan
Kewarganegaraan.
Berdasaarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
38/Dikti/Kep/2002
dibentuk kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
di perguruan
tinggi. Pembentukan MPK, didasarkan atas pertimbangan :
1. Bahwa
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000
tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil
Belajar
Mahasiswa telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan
Pancasila,
dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok MPK yang
wajib
diberikan dalam kurikulum setiap program studi atau kelompok program
studi.
2. Bahwa
sebagai pelaksanaan butir 1 di atas, dipandang perlu menetapkan ramburambu
pelaksanaan
MPK di perguruan tinggi.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 37
Ayat 2 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat
Pendidikan
Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa. Di dalam operasionalnya,
ketiga mata
kuliah wajib tersebut dihimpun ke dalam kelompok MPK. Pada tahun 2006
Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan Keputusan Nomor 43/Dikti/Kep/2006
tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok MPK di Perguruan Tinggi sebagai
penyempurnaan
dari Keputusan Nomor 38/Dikti/Kep/2002, menetapkan Pendidikan
Agama,
Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah yang
dihimpun
dalam kelompok MPK.
SUMBER :
WARGANEGARA
DAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (Sunarso) Jurusan PKn dan Hukum, FISE, UNY.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.