Norma kesopanan adalah aturan
hidup bermasyarakat tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik baik, patut
dan tidak patut dilakukan, yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat atau komunitas
tertentu. Norma ini biasanya bersumber dari adat istiadat, budaya, atau nilai-nilai
masyarakat. Ini sejalan dengan pendapat Widjaja tentang moral dihubungkan
dengan eika, yang membicarakan tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata
sopan santun mendorong berbuat baik, sekedar lahiriah saja, tidak bersumber
dari hati nurani, tapi sekedar menghargai menghargai orang lain dalam pergaulan
(Widjaja, 1985: 154). Dengan demikian norma kesopanan itu bersifat kultural, kontekstual,
nasional atau bahkan lokal. Berbeda dengan norma kesusilaan, norma kesopanan
itu tidak bersifat universal. Suatu perbuatan yang dianggap sopan oleh
sekelompok masyarakat mungkin saja dianggap tidak sopan bagi sekelompok
masyarakat yang lain. Sejalan dengan sifat masyarakat yang dinamis dan berubah,
maka norma kesopanan dalam suatu komunitas tertentu juga dapat berubah dari
masa ke masa. Suatu perbuatan yang pada masa dahulu dianggap tidak sopan oleh
suatu komunitas tertentu mungkin saja kemudian dianggap sebagai perbuatan biasa
yang tidak melanggar kesopanan oleh komunitas yang sama.
Dengan demikian secara singkat
dapat dikatakan bahwa norma kesopanan itu tergantung pada dimensi ruang dan
waktu. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah berupa celaan,
cemoohan, atau diasingkan oleh masyarakat. Akan tetapi sesuai dengan sifatnya
yang “tergantung” (relatif), maka tidak jarang norma kesopanan ditafsirkan
secara subyektif, sehingga menimbulkan perbedaan persepsi tentang sopan atau
tidak sopannya perbuatan tertentu. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu
ketika seorang pejabat di Jawa Timur sedang didengar kesaksiannya di pengadilan
dan ketika seorang terdakwa di ibu kota sedang diadili telah ditegur oleh hakim
ketua, karena keduanya dianggap tidak sopan dengan sikap duduknya yang “jegang”
(menyilangkan kaki). Kasus ini menimbulkan tanggapan pro dan kontra dari
berbagai kalangan dan menjadi diskusi yang hangat tentang ukuran kesopanan yang
digunakan. Demikian pula halnya ketika advokat kenamaan di ibu kota berkecak
pinggang di depan majelis hakim, yang oleh majelis hakim perbuatan itu bukan
hanya dinilai tidak sopan, tapi lebih dari itu dinilai sebagai contempt of
court (penghinaan terhadap pengadilan), sehingga tentu saja mempunyai
implikasi hukum.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.