1.
Konteks
Sosial
Sebagian besar pemikiran muncul dan berkembang dilatari oleh
kondisi sosiokultural tempat sang pemikir atau filsuf itu hidup. Bisa dikatakan
para pemikir adalah hasil karya zamannya, hasil karya mereka yang berupa pemikiran,
gagasan dan ide-ide tersebut mampu menembus ruang dan waktu. Pemikir dan
pemikirannya adalah bagian dari kesatuan organik (gestalt) atau dalam
sejarah diartikan sebagai jiwa zaman, ketika akan memahami pemikiran pemikiran
Michel Foucault, berarti juga harus memahami jiwa zaman-nya, sebagai salah satu
unsur pembentuk corak dan kekhasan pemikiran-pemikiran Michel Foucault.
Michel Foucault adalah salah satu
pemikir yang sangat luar biasa. Pemikirannya tidak mengenal
batas
ilmu. Hasil pemikirannya meliputi ilmu sejarah, filsafat, ilmu sosial dan
politik, sampai ranah medis yang
digeluti oleh keluarganya. Foucault sering dijuluki sebagai post-modernis,
post-strukturalis, bahkan sebutan filosof,
karena hasil-hasil pemikirannya menentang pemikiran-pemikiran modernis yang
sudah mapan pada saat itu, namun ia menolak semua
julukan yang diberikan kepadanya. Kelebihan lain dari pemikiran Foucault
terletak pada ketertarikannya pada isu-isu kemanusiaan, marginalitas,
ketidaknormalan,
dan pandangannya tentang kebenaran.
Meski demikian, konteks
sosial dan politik yang krusial bagi karir Foucault adalah Perancis. Sebagaimana anak-anak kecil
Perancis lainnya di tahun 40-an masa kecil Foucault adalah masa kecil yang
penuh kenangan ketakutan akan datangnya musuh yang akan menghancurkan kota
mereka. Masa kecil Foucault adalah masa saat Jerman melakukan pendudukan di Perancis.
Di Pointier – dari waktu ke waktu pesawat terbang Jerman melayang rendah
terbang keliling kota mencari target sasaran stasiun-stasiun kereta api.
Pointier sendiri adalah sebuah kota yang selalu dalam pengawasan serta control
resmi dari pasukan Jerman. Secara periodik serdadu-serdadu Jerman berpatroli di
Pointier untuk menangkapi orang-orang Yahudi dan mengirimnya ke barak-barak
konsentrasi untuk disiksa. Dia
adalah bagian dari gerakan sosial yang sedikit banyak terlibat dalam
Peristiwa 1968 yang terkenal itu. Secara umum periode ini ditandai dengan
semangat anti-kemapanan yang luas tidak hanya di Perancis dan Eropa umumnya
tetapi juga di belahan dunia lainnya.[1]
Hidup di
era modern tidak serta merta membuat Foucault terbawa arus/mainstream di jaman
tersebut, justeru dia keluar sebagai pengkritik yang tajam terhadap hal hal
yang di anggap wajar pada saat itu bahkan saat ini. Foucault melihat ada
problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial,
dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah
“serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”.
Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan
modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi
Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan
oleh suatu diskursus, yakni subjection
(bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien
pada psikiater).[2]
2.
Pemikiran yang Mempengaruhi
Michel Foucault
Salah satu tokoh yang ikut andil dalam
mepengaruhi pemikiran foucault adalah Nietzsche. Namun sebelum membahas
mengenai pengaruh pemikiran nietzsche terhadap foucault, akan lebih baik jika
mengulas sedikit mengenai sosok Nietzsche.
Nietzsche lahir di rocken, 15 oktober
1844. Dimana hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran raja Friedrich
Wilhem, raja Prusia saat itu. Jika diperhatikan latar belakang keluarganya,
akan terasa sangat mengherankan filsuf ini memiliki pemikiran yang kontroversial
, radikal, frontal dan ateistik (hampir sama dengan latar kehidupan Karl Max).
Kakek Nietzsche adalah seorang pejabat tinggi dalam gereja luteran, dimana
jabatannya bisa disejajarkan dengan uskup dalam gereja katolik. Sedangkan
ayahnya adalah seorang pendeta di desa rocken, dan ibunya juga lutheran yang
berasal dari keluarga geraja.
Kehidupan Nietzsche penuh dengan
kepedihan, dimulai dari meninggalnya sang ayah saat Nietzsche berusia 4 tahun.
Pada usia 14 tahun pindah sekolah ke
Pforta. Di sekolah ini dia mulai mengagumi karya karya klasik yunani, selama
menempuh pendidikan, pemikiran Nietzsche terus berkembang, hingga dia
memperoleh kesempatan menjadi dosen di Basel, atas promosi dari gurunya karena
kejeniusan Nietzsche.
Kehidupan Nietzsche yang sakit-sakitan
membuat di berhenti mengajar, namun dalam kesendirian dan kesepian Nietzsche tidak berhenti menghasilkan karya
karya fenomenal seperti “tentang asal
usul moral, suatu polemik” dan masih
banyak lagi, sedangkan ada beberapa buku pada tahun 1888 yang belum sempat
diterbitkan diantaranya “pudarnya para dewa” , “lihatlah manusia”,
“antikristus”, ecce homo”. [3]
Tahun 1889 Nietzsche adalah tahun
terburuk baginya karena, Nietzsche ditimpa sakit jiwa. Berbagai usaha dilakukan
sahabatnya Franz Overbeck untuk menyembuhkan penyakit jiwa Nietzsche tidak
berhasil, kemudian Nietzsche dipindah ke
Naumburg dan dirawat oleh ibunya. 3 tahun kemudia saudarinya datang dari
paraguy, karena suaminya, Foster, bunuh diri pada tahun 1889. Pada tanggal 20
april 1897 ibunya meninggal, kemudian Nietzsche di pindah ke Weimar dan
meninggal disana pada tanggal 25 agustus 1990.
[4]
Pemikiran Nietzsche yang mempengaruhi
foucault adalah hipotesis tentang kehendak
untuk berkuasa, pejelasan mengenai hipotesisnya terdapat pada karyanya yang
berjudul “ the will to power : attempt at
a revaluation of all value” dalam karyanya dibahas mengenai nilai-nilai
yang diajukan oleh agama, moral, dan filsafat. Kritik dalam karyanya tersebut
berakhir dengan apa yang disebut nihilisme.
Secara sederhana dapat diartikan
nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai tertinggi dan kegagalan manusia dalam
menjawab persoalan “ untuk apa ?” dengan runtuhnya nilai nilai tersebut manusia
mulai dihadapkan pada persoalan bahwa
segalanya menjadi tidak bermakna dan tak ternilai. Nietzsche juga mengajukan
prinsip-prinsip untuk mengevaluasi seluruh nilai supaya dapat melihat “ nilai
baru”. [5]
Di sini nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi dalam melihat
“nilai baru” tersebut
Foucault memang seorang penganut
Nietzschean. Hal itu diakuinya terus terang dalam wawancara dengan Gilles
Barbadette and Andre Scala. Di masa studinya di tahun enam puluhan, ketika
orang ramai-ramai meminati Marxisme, Hegelianisme, dan Fenomenologi, Foucault
menimba inspirasi untuk studinya justru dari buku-buku Nietzsche. Seperti yang ketahui,
Nietzsche menggunakan pendekatan yang disebutnya genealogi, terutama hal itu
diterapkan pada penelusuran asal-usul moral. Metode genealogi adalah metode
yang menolak cara tafsir historigrafi yang seolah-olah mampu melihat rentetan
kejadian-kejadian secara objektif belaka. Maka kalau sejarah mau merunut
asal-usul dari sesuatu hal secara objektif begitu saja, genealogi mau merunut
juga motivasi-motivasi di balik munculnya hal-hal itu. Genealogi juga berbeda
dari pendekatan hermeneutik agama, maupun fenomenologi yang beranggapan
seolah-olah sesuatu hal dapat dirunut hingga pada asal-usul terakhir, kebenaran
yang mutlak. Boleh dikata, genealogi merupakan cara pendekatan hermeneutik yang
penuh kecurigaan. [6]
Melalui penelusuran genealogi moral
Nietzsche sampai pada kesimpulan, bahwa moral bukanlah sesuatu yang diberikan
oleh Allah, sebagai yang suci dan sempurna, bersifat tetap, abadi dan orang-orang
tinggal menaati saja. Moral adalah bentukan manusia. Pemahaman genealogi moral
pada Nietzsche dengan demikian dapat dikaitkan dengan segera pada posisinya
sebagai ateis. Budaya Kristen Barat beranggapan telah mewarisi turun-temurun
ajaran moral sebagai perintah suci dari Allah. Genealogi adalah cara tafsir
yang berhati-hati, menolak pengelabuan metafisis maupun mitis yang beranggapan
adanya hal-hal yang suci atau yang tetap, asasi sebagai awal dari sesuatu hal.
Genealogi mau memasukkan dimensi historis dari asal-usul dan tidak mau berhenti
pada kepercayaan mitis dan metafisis, sebagaimana dipegang para penganut agama
dan filsuf. [7]
Pemikiran Foucault memang dipengaruhi
Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab
baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun
dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Foucault dikemudian
hari mengembangkan metode genealogi Nietzsche, dengan melihat kaitan antara
makna atau pemahaman sesuatu dengan kekuasaan yang membenarkan.
3.
Latar Belakang kehidupan Michel foucault
Michel Foucault lahir di Poiters,
Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya seorang ahli
bedah, seperti juga saudara dan kakeknya. Orang tua Foucault mengharap anaknya
mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan memilih belajar
filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa sejak lama
Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di
Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat
(1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952). Pada 25 Juni 1984, ia
meninggal dunia di Paris, dari beberapa sumber dikatakan bahwa Foucault
meninggal akibat HIV AIDS.[8]
Foucault cukup aktif dalam dunia
akademis. Pada tahun 1954 hingga 1961, secara produktif ia menghasilkan
karya-karya seperti Maladie et Personnalite (Penyakit Jiwa dan
Kepribadian), Folie et deraison. Histoire de la folie a l’age classique (Kegilaan
dan “Unreason”, Sejarah Kegilaan dalam Zaman Klasik), menjadi dosen di
Universitas Uppsala (Swedia) di bidang sastra dan kebudayaan, mengerjakan buku
yang akan menjadi disertasinya, serta menjadi direktur Pusat Kebudayaan Prancis
di Warsawa (Polandia) dan di salah satu lembaga sejenis di Hamburg (Jerman).
Pada tahun 1961, di bawah bimbingan G. Canguilhem, ia memperoleh gelar “doktor
negara”. Karya-karyanya yang terkenal antara lain, Maladie mentale et
psychologie (Penyakit Jiwa dan Psikologi), Histoire de la folie (Sejarah
Kegilaan), Raymond Roussel (tentang seorang sastrawan Prancis), dan Naissance
de la Clinique. Une archeologie du regard medical (Lahirnya Klinik.
Sebuah Arkeologi tentang Tatapan Medis) dan buku ini membuat nama Foucault
menjadi masyur adalah Les mots et les choses. Une archeologie des
sciences humaines (1966) (Kata-kata dan Benda-benda. Sebuah Arkeologi
tentang Ilmu-ilmu Manusia), buku filsafat yang mengalami kesuksesan terbesar di
Prancis setelah Ada dan Ketiadaan (1943), karangan J.P Sartre. Terutama sejak
buku ini, Foucault dianggap filsuf terpenting dalam aliran strukturalisme.
Tahun 1969, ia juga menghasilkan L’archeologie du savoir (Arkeologi
Pengetahuan). [9]
Tahun 1960-an, Foucault mengajar di
universitas-universitas di Montpellier, Tunis (Afrika Utara), Clermond-Ferrand,
Paris-Nanterre. Ia juga menjadi salah seorang pendiri Univeritas Paris-Vincennes
(yang kemudian disebut Universitas Paris VII), universitas eksperimental yang
didirikan dalan rangka pembaruan pendidikan universitas sesudah kericuhan 1968.
Ia tidak lama mengajar di sana karena bulan Mei 1969, ia dipilih sebagai profesor
di College de France. Pidato pelantikannya saat itu kemudian diterbitkan
sebagai buku kecil L’ordre
du discours (1970) (Susunan Diskursus). Pada tahun
1975, ia menerbitkan buku Surveiller et Punir. Naissance de la prison (Menjaga
dan Menghukum. Lahirnya Penjara). Ia mempelajari asal usul historis dari lembaga
pemasyarakatan dan sistem hukuman. Buku ini merupakan pengungkapan teoretis dari
suatu keprihatinan yang melibatkan Foucault juga secara praktis, sebab beberapa
tahun lamanya ia aktif dalam suatu kelompok yang memperjuangkan sistem
kepenjaraan di Prancis. Dalam kerjasama dengan beberapa orang lain, Foucault
juga menerbitkan sejumlah kumpulan dokumen-dokumen historis tentang salah satu
kasus yang berkaitan dengan pokok pembicaraan buku-bukunya.
[10]
4.
Tema atau Pertanyaan
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan mau memeriksa salah satu segi
proses peradaban Barat, yaitu agresi rasio dengan kepastian-kepastian filsafat
"Pencerahan". Agresi rasio dengan kepastian-kepastian yang dibawa
oleh filsafat Pencerahan ini' mendapat kritik tajam dari Foucault, yakni
terhadap filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sistem dan terhadap metode
pembahasannya.
Di
balik kekacauan kejadian-kejadian sejarah, terungkap peran para filsufsejarah
yang terlalu beorientasi pada sistem. Persoalan sejarah bukan untuk menjadikan
koheren apa yang tidak koberen. Sejarah bukan untuk mempertahankan rasionalitas
yang bertentangan dengan reahtas konflik kekuasaan dan ideologi. Kritik ini
jelas diarahkan pada konsepsi Hegel tentang sejarah sebagai dialektika.
Kehebatan dialektika terletak dalam kemampuannya mengubah dari kekurangan
menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan pendapat
menjadi momen di mana kesadaran menjadi lebih jelas. Menurut Foucault, sintesis
yang dianggap sebagai jalan keluar dialektika itu tidak lain hanyalah imajinasi
pemecahan antisipatif terhadap kontradiksi-kontradiksi atau konflik-konflik.
Kebenaran semacam itu diberlakukan sebagai jalan keluar bagi perbedaan
kepentingan dan hubungan-hubungan pertarungan kekuatan. Bukankah kontradiksi
atau konflik tidak selalu harus ada jalan keluarnya?[11]
Tujuan utama Foucault adalah mempertanyakan cara masyarakat
modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim
dan praktik pengetahuan ilmu manusia: kedokteran, psikiatri, psikologi,
kriminologi dan sosiologi. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu
dan noram tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui
praktik para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan petugas
administrasi. Ilmu manusia menempatkan manusia menjadi subyek studi dan subyek
negara. Terjadi ekspansi sistem administrasi dan kontrol sosial yang
dirasionalkan secara terus-menerus.
5.
Proposisi yang ditawarkan
Tulisan ini pada
dasarnya berusaha menyajikan sedikit pemikiran Foucault, khususnya mengenai
konsep relasi kekuasaan. Sehingga hanya sebagian kecil pemikiran Foucault saja
yang dapat dipaparkan oleh penulis.
5.1. Konsep
Kekuasaan
Kekuasaan yang menjadi dasar
realitas sosial dalam pandangan Foucault
bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan
menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta
terserap dalam ilmu pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya
menciptakan rezim kebenaran.
Pemikiran
Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami
kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan
dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah
mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa
pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia
sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di
negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era , Foucault melihat ada problematika dalam
bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas.
Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua
itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”.
Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan
modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi
Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan
oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang
lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang
perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power
knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi
dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut
pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power
tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan
melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa
kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi
massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja
perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan
perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan
dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge
strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok
tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.[12]
Harus diakui bahwa kekuasaan itu mempesona
karena setiap orang tergila-gila dengan kekuasaan dan bahkan berusaha untuk
memilikinya. Kekuasaan dalam arti ini lebih mempunyai makna sebagai “milik”
artinya kekuasaan hanya disempitkan sebagai milik pemerintah atau institusi
tertentu sehingga muncul terminologi adanya perebutan dan peralihan kekuasan
dalam kursi pemerintahan. Bagi penulis, Foucault sama sekali tidak memaksudkan
makna kekuasaan seperti ini. Gagasan Foucault tentang kekuasaan lebih orisinal
dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama
sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu kekuasaan tetapi
lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima dan dilihat
sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan.[13]
Dalam arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup
tertentu atau menjadi milik orang atau intitusi tertentu seperti pandangan umum
bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan negara atau institusi pemerintah
tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya menjadi milik
Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, Gubernur dan sebagainya tetapi kekuasaan
menyangkut relasi antara subyek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan
fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan
lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan
arti kekuasaan.[14]
Pemahaman kekuasaan diatas, jelas bertolak belakang
dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat
kelas atas. Dominasi dan monopili kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh
masyarakat. Atau juga bertentangan dengan gagasan Thomas Hobbes yang
mengartikan kekuasaan hanya menjadi milik lembaga yang disebut negara dan
negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat.[15]
Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault
dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang
berpengaruh dalam masyarakat tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan
pemikiran setiap subyek
5.2.Mekanisme
dan Strategi Kekuasaan
Konsekuensi
dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi kekuasaan antara subyek,
yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum
kecil. Dan akibat dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan
represif yang tiada hentinya, kekerasaan, otoriter dan sebagainya. Kondisi
seperti ini yang menodai makna kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin
berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault akhirnya menrefleksikan dan
mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih menunjuk pada mekanisme
dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12]
Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri dari berbagai sumber dan memiliki
keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya pengakuan struktur-struktur yang
menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur itulah kekuasaan mengasalkan
dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme;
penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian
Foucault.
Pertama; peran hukum dan
aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu bekerja
melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui
aturan-aturan dan normalisasi”.[13]
Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan
pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap
orang yang lahir karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena
konsensus bersama memiliki kekuatan yang lebih dalam hidup bersama. Kedua,
tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah
membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar
menjadi pribadi yang produktif.[14]
Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan dengan bebas
menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak
dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan kekuatan dari suatu
negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas kerjasama
setiap pribadi dan lembaga yang memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan
adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam
suasana dialogis dan mengarah kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan
yang mengarah ke atas.[15]
Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian
rupa sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari
proses komunikasi kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama
atau dalam bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.[16]
Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam
masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal
setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus
berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan
untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita
melihat dengan jelas adanya perbedaan menyolok antara gagasan Foucault dengan
para pemikir abad modern. Misalya, Machiavelli yang melihat
kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh
penguasa. Machievelli mengatakan “Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang
dinamakan penguasa artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa
seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah
laku warganya.[17]
Dalam arti ini, penguasa memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada
aturan dan hukun yang muncul sebagai akibat perjanjian setiap subyek.
Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan
dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki titik tolak yang berbeda. Bagi
penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis setiap orang
dalam membangun ideologi bersama.
Gagasan mengenai
kekuasaan dalam karya foucault adalah jawaban atas persoalan bagaimana dan
mengapa formasi formasi diskursif
berubah. Pandangan mengenai otonomi kebudayaan dalam kaitannya dengan
koheresi internal dalam formasi formasi diskursif akhirnya tergusur seiring dengan bergesernya penekanan menuju
“relasi kekuasaan” sebagai sendi terpenting. Hal tersebut lantas
menjadikan pengetahuan sebagai situs
bagi strategi , pergulatan dan konflik demi kekuasaan. Gagasan foucault tentang
“kekuasaan disipliner” dengan demikian harus dibaca sebagai upaya pembacaan
teoritis-kekuasaan. Pada periode karya ini tampaknya dekat dengan pemikiran Weber.
[16]
Menurut foucault, “ posisi liminal”
penderita kegilaan di abad pertengahan
terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam rumah sakit
jiwa. Embarkasi penderita kegilaan tersebut berarti tersisihkan ia dari kota,
terdesak kewilayah perbatasan, atau lebih tepatnya, dari rasio menuju kegilaan.
Pada konteks zaman Renaisance memainkan peran penting dalam menyiapkan dasar
bagi pengalaman kegilaan zaman klasik dengan cara berangsur angsur
menggabungkan kegilaan kedalam rasio
dengan tujuan untuk mengontrolnya. Dalam Birt of the clinic foucault
menjalankan suatu “ arkeologi tatapan medis”. Masalah yang membangkitkan
minatnya disini adalah pergeseran konsep
ilmu kedokteran, dari yang fokus pada kesehatan dan masih menyediakan ruang
bagi pasien untuk menjadi dokter bagi
dirinya sendiri pada abad-18, menuju
konsepsi ilmu kedokteran yang berokur pada normalitas dimana tubuh pasien
menjadi subjek tatapan yang berdaulat dari sang dokter dalam tatanan klinis
rumah sakit modern. [17]
Foucault mendefinisikan strategi
kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana,
kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk
mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk
pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataanpemyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam
kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat
berusaha menyalurkannya, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai
dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan
tidak bersumber pada sumbjek, tetapi dalam hubungan hubungan kekuasaan. “
kekuasaan menghasilkan pengetahuan... kekuasaan dan pengetahuan salin
terkait... tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan
bidang pengetahuan dan tidak pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak
membentuk hubungan kekuasaan”.
6.
Jenis Realitas Sosial (tidak terlihat)
Foucault beranggapan bahwa setiap
hubungan social selalu merupakan hubungan kekuasaan (hegemoni Kekuasaan).
Kekuasaan ada dalam setiap hubungan
sosial. Dengan kata lain, Power being the
ultimate principle of social reality (Basrowi, 2004: 73). Kekuasaan yang
menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia
ada di mana-mana,
menyebar dan menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu
pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim kebenaran.
Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu seolah-olah menjadi tidak
disadari lagi oleh seseorang.
seseorang rela melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan tanpa orang itu
sendiri menyadari bahkan orang itu sedang dikuasai.[18]
Jenis kekuasaan seperti ini disebut
sebagai kekuasaan kedisiplinan atau disciplinary power. Ia membawa efek
kepatuhan kepada guru untuk patuh berada dalam wacananya disiplin. Dengan kata
lain, suatu cara menegakkan kekuasaan yang bekerja melalui normalisasi. Ia
merupakan suatu teknologi untuk menormalisasi kehidupan masyarakat. Jadi, ide
tentang kenormalan tidak lain merupakan konstruksi sosial yang dibangun melalui
wacana dominan. Wacana ini kemudian melahirkan praktik-praktik seperti
mendifinisikan, mengkategorikan, dan mengukur kenormalan itu sendiri. Semua itu
kemudian menjadi rutin dan diterima begitu saja sebagai sebagai suatu keharusan
yang hendak dilakukan.[19]
7.
Lingkup Realitas Sosial (makro dan Mikro)
Kekuasaan yang menjadi dasar realitas sosial dalam pandangan Foucault
bersifat produktif dan tidak kelihatan karena ia ada di mana-mana, menyebar dan
menyusup dalam setiap aspek kehidupan, serta terserap dalam ilmu
pengetahuan dan praktik sosial yang untuk selanjutnya menciptakan rezim
kebenaran. Dengan sifat yang demikian itu, keberlangsungan kekuasaan itu
seolah-olah menjadi tidak disadari lagi oleh seseorang.
Berkaitan dengan wacana, Foucault lebih tertarik melihat realitas
tersebut sebagai praktik sistematik yang dapat di-bentuk dan dikendalikan oleh
orang -orang tertentu. Acuan dan makna sebuah wacana dalam kehidupan
bermasyarakat sangat berpotensi dibentuk oleh si manusia kehendak yang relatif
memiliki keleluasaan untuk melakukannya. Dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, wacana secara umum tidak pernah netral dan lahir berdasarkan asumsi alamiah.
Wacana pada dasarnya sengaja dibentuk dan dikondisi-kan oleh
institusi-institusi yang lebih dominan atas aspek-aspek yang didominasinya.
Menurut Foucault, discourse is political
commodity, a phenomenon of exclusion, limitation, prohibition (Gordon,
1980:245).
8.
Aktor (tidak otonom)
Foucault pada akhirnya sampai pada
penyingkapan karakteristik dunia modern yang menjungkir balikkan asumsi-asumsi
filosof pencerahan. Dalam pandangan filosof pencerahan, manusia dipandang
sebagai subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga
percaya adanya pemilihan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni
(rasional, objektif dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan
yang menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif
dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
Pandangan demikian ditolak keras oleh
Foucault. Dalam disiplin dan hukuman, Foucault
secara genial melukiskan bagaimana individu modern sebagai subjek maupun objek,
sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas dalam jaringan kuasa.
Lewat teknik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan sebagai objek.
Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas
kekuasaan) dan pengetahuan ideologi (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi
belaka. Sebab menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilih dalam
kesatuan tunggal.[20]
Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah
seperti apa yang dikatakan kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk
mempengaruhi oranglain. Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum
Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas
tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas lain. Kekuasaan bukan institusi,
struktur atau kekuatan menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi
strategi yang kompleks dalam masyarakat. Dalam relasi, tentu saja ada yang di
atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang pinggir, ada yang di dalam
ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di
pusat, atau di pinggir, sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar, dan hadir
dimana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua
lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang shaleh dan laknat.
9.
Metode yang Ditawarkan
Analisis wacana secara epistimologi
menjadi bagian dari kekayaan khasanah metodologi kualitatif yang berperspektif
posmodernisme. Ia beroperasi dengan sejumlah asumsi yang amat berbeda, untuk
banyak hal bertentangan, dengan metode konvensional kuantitatif. Apabila metode
kualitatif (yang asumsi-asumsi dasarnya tentang realitas amat ditentukan oleh
paradigma positivisme itu) amat percaya pada kebenaran universal, metode
kualitatif generasi akhir ini menjungkirbalikkan hampir seluruh kepercayaan
dasar yang secara kukuh dipertahankan oleh paradigma positivisme. Beberapa
perbedaan pokok di antara dua metode ini terletak di antaranya pada bagaimana
mereka melihat individu dalam konteks sosial.
Bagi metode positive-kuantiantif,
individu adalah representasi dari beroperasinya struktur sosial yang
eksistensinya berada diluar kesadaran individu. Perilaku individu dalam konteks
sosial, dalam pandangan paradigma ini, sepenuhnya dilihat sebagai hasil
determinasi struktur atas individu. Individu dilihat sebagai aktor yang berperilaku,
bahkan berperasaan, menurut script (naskah) yang terdapat dalam struktur. Apa
yang dibayangkan sebagai struktur itu (yang didalamnya di antaranya berupa
nilai, kepercayaan, ideologi, norma dan institusi) menjadi penentu tentang
bagaimana individu merespon sebuah peristiwa sosial. Bisa dipahami apabila
semangat utama dari penelitian yang berparadigma ini adalah memetakan pola-pola
dan kecenderungan-kecenderungan umum tentang bagaimana struktur sosial yang
berbeda itu menghasilkan disposisi dan perilaku individu, atau kelompok yang
berbeda, ujung dari pengelanaan intelektual manusia semacam ini adalah
ditemukannya dalil-dalil umum yang dihasilkan melalui upaya generalisasi atau
fakta-fakta empiris yang dihasilkan melalui berbagai pengamatan yang terukur
secara cermat dan yang terbandingkan dari satu tempat ketempat yang lain, dari
satu waktu ke waktu lain.
Sementara itu, metode kualitatif
berperspektif postmodernisme ini melihat realitas sosial dalam wajah-ganda
(multifaces, multidimensional, multilayer, dan multitruth). Kebenaran tidak
pernah tunggal dan selalu dipengaruhi oleh konteks yang didalamnya melibatkan
proses evaluasi-reevaluasi, posisi-reposisi, dan negoisasi-renegoisasi.
Individu tidak pernah dilihat sebagai agen yang secara aktif melakukan
interpretasi atas struktur dan secara kreatif melakukan negoisasi terhadap
makna yang dibangunnya menurut harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman
subjektifnya sebagai individu.
Dalam konteks sosial, individu selalu
dilihat sebagai pribadi yang unik dan spesifik. Unik karena ia memiliki
pengalaman-pengalaman yang khas, spesifik karena ia memiliki harapan-harapannya
sendiri. dalam perspektif semacam ini, para penganut metode ini tidak pernah
berhasrat untuk menemukan kedalaman (depth),
kekayaan (richness), dan kompleksitas
(complexity) dari sebuah realitas
yang dilihatnya sebagai hasil konstruksi sosial melalui individu-individu yang
secara aktif melakukan interpretasi subjektif dan intersubjektif atas struktur.
Untuk melakukan sebuah analisis wacana,
karena itu, penguasaan teori dan konsep menjadi satu hal sentral. Teori-teori
dan konsep-konsep tentang bagaimana sebuah realitas sosial itu bermakna secara
sosial dalam sebuah nexus interaksi sosial dan kekuasaan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari metode ini. Metode tidak lagi diperlukan semata-mata
sebagai prosedur dan teknik, strategi, melainkan juga dan terutaman sebagai
hasil. Sebagai penutup, teks yang dipelajari dalam analisis wacana selalu
dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari usaha memahami indivdu
(sebagai prosedur teks) yang tengah membangun makna dan menghadirkan realitas
menurut konstruksi sosial dari mana ia menjadi bagian dan terlibat dalam prose
itu. Teks, karena itu, selalu diperlakukan juga sebagai sebuah konteks yang merepresentasikan
kompetisi makna yang amat majemuk dan yang selalu berimplikasi kepada hubungan
yang berdimensi kekuasaan di antara prosedur teks dan audience yang untuk
ketika yang lain juga menjadi prosedur teks.
Semua pengetahuan adalah politik karena syarat syarat kemungkinannya besumber
pada relasi kekuasaan. Anatomi politik menunjukan bahwa teknik kekuasaa,
produksi, dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Memang anatomi politik
tidak menciptakan pengetahuan, tetapi genealogi. Dengan metode genealogi ditunjukkan bahwa kebenaran yang mengambil bentuk
objektivitas ilmu hanya ilusi. Setiap pengetahuan terkait dengan objek kekuasaan : orang gila,
kriminal, anak remaja, orang sakit, buruh. Kaitanya terletak pada kemampuan
pengetahuan mendefinisikan realitas objek tersebut. Dengan mendefinisikan
realitas, akibatnya pengetahuan merubah konstelasi sosial.
Dalam karyanya Discourse
on Language. Genealogi
tersebut muncul untuk melengkapi analisis tentang aspek diskursus yang
mirip-sistem dengan suatu analisis bagaimana aspek tersebut dapat terbentuk.
Namun genealogi justerru menggantikan peran arkeologi. Tugas genealogi
kekuasaan sesungguhnya berfungsi untuk menganalisis silsilah pengetahuan,
pembedaan Nietzsche antara asal-usul dan
silsilah adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secara jelas serta sebagai
fenomena yang murni kebetulan. Disamping itu gagasan Nietzschean tentang
kemunculan untuk menunjukkan bahwa mode-mode pengetahuan memiliki erat dengan
meluapnya berbagai kekuatan. Dengan demikian Foucault sampai pada gagasan
tentang pasangan kekuasaan-pengetahuan : suatu pasangan yang secara dramatis
menggambarkan terikatnya diskursus secara erat pada relasi antara kekuatan dan kekuasaan, maupun
mengekspresikan kapasitas produktif
kekuasaan untuk menciptakan diskursus. [21]
Sedangkan dengan metode arkeologis Foucault menemukan
bahwa semua wacana mempunyai pretensi objektivitas ilmu yaitu wacana sesorang
yang mempunyai kekuasaan. Cara psikiatri memdefinisikan adanya penyakit jiwa
membawa pemisahan antara orang gila dan orang normal. Definisi yang diberikan
dokter tentang penyakit membawa pemisahan yang dilembagakan dalam bentuk perbedaan orang sehat dengan
orang sakit, lalu diciptakan rumah sakit. Kriminolog merubah konstelasi
masyarakat dengan memisahkan antara orang baik-baik dengan penjahat, yang
dicurigai dan tidak terlibat. Diciptakannya penjara berakibat kekuasaan yang
dijalankan polisi semakin besar.
[22]
Kekuasaan bagi Foucault tidak tercipta
dalam bentuk tunggal. Kekuasaan hadir dimana-mana, ada didalam semua relasi
sosial dan dilaksanakan pada titik titik yang tidak terkira banyaknya dalam
bentuk bentuk yang heterogen.
[23]
Kuasa tidak selalu bekerja melalui
penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi
dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara
positif dan produktif. Salah satu bidang normalisasi adalah tubuh. Senam dan
latihanlatihan
militer,
kelincahan, dan keluwesan yang menyangkut tingkah laku serta gerak gerik, mengikuti
norma tentang keadaan tubuh (langsing, gemuk, kurus dll), cara berpakaian dan kesehatan:
dalam semuanya itu berlangsung normalisasi dan dengan itu juga strategi kuasa. Contoh
lain yang lebih jelas tentang strategi kuasa adalah seluruh wilayah yang menyangkut
kesehatan badani dan psikis dengan norma-normanya untuk menyatakan seseorang
sakit atau sehat. Juga aturan-aturan yang mengiringi cara kita berbicara dengan ketentuan-ketentuan
tentang lafalan dan ejaan merupakan contoh normalisasi.
Secara sederhana pemikiran Foucault
dapat didiskripsikan sebagai berikut, kekuasaan tidak bertumpu pada satu titik
sentral termasuk tidak hanya pada pihak-pihak yang dominan, melainkan tersebar
di seluruh masyarakat (tidak ada seorang pun yang memilikinya). Kuasa bukanlah
milik raja, presiden, atau pejabat, tetapi dalam bentuk strategi. Kekuasaan
tidak bekerja melalui penindasan atau represi, melainkan melalui normalisasi
yang positif dan produktif, yaitu melalui wacana. Salah satu subjek penting
yang diamati Foucault menyangkut kekuasaan adalah tubuh, karena baginya untuk
menunjukkan bagaimana kuasa melakukan normalisasi dan menyebar, maka haruslah
melihat dari tubuh manusia. Bahkan bagi Foucault tubuh telah menjadi
”pertarungan wacana” terus menerus.
Di sini penulis mencoba mengambil contoh
penyebaran wacana pada masa orde baru. Pada masa Soeharto wacana guna menguasai
dan mengontrol pikiran masyarakat hampir dilakukan disegala lini baik itu media
massa yang berupa elektronik maupun cetak, juga dalam lingkup pendidikan,
ambillah contoh wacana G30S, pada masa Soeharto hampir semua media selalu memutar
dan menampilkan kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, buku
buku paket di sekolah dikarang sedemikian rupa dengan menanamkan kebencian pada
PKI, dan buku buku dan media Cetak yang tidak mencantumkan tulisan PKI pada
gerakan 30 september langsung di brendel, tentu saja wacana-wacana yang
digulirkan oleh ORBA tidak lain adalah mengarahkan masyarakat agar selalau
beranggapa bahwa pemeritahan ORBA telah berhasil menjaga keutuhan NKRI dan lain
sebagainya. Di sini tengah berlangsung bergulirnya strategi kuasa yang
diproduksi terus menerus.
Wacana yang dihembuskan ini secara
perlahan-lahan menciptakan kategorisasi, seperti aturan-aturan mengenai
perilaku baik atau buruk yang sebenarnya mengendalikan perilaku masyarakat yang
pada akhirnya dianggap kebenaran yang telah ditetapkan. Atas hal ini, bukan
tubuh fisik lagi yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran dan
kehendak individu. Pada akhirnya iklan menormalkan individu agar perilakunya
sesuai dengan yang diinginkan si pembuat wacana.
10. Keberpihakan
(Cartesian)
Foucault melakukan kritik terhadap
tatanan pengetahuan terutama kritik terhadap positivisme yang mendewakan
kemapanan pengetahuan. Ia sangat menjiwai ilmu yang terkait dengan manusia
karena bagi Foucault tidak ada sesuatu yang objektif, segala sesuatu itu
subjektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta baik sadar atau tidak.
Di dalam buku yang ia tulis yaitu order of thing, ia ingin memaparkan
arkeologi ilmu-ilmu kemanusiaan bahwa pengetahuan manusia tidak lagi mengambil
bentuk dalam masa pencarian kita akan kesamaan dan kemiripan tetapi lebih pada
permukaan dan kedalaman yang dibangkitkan kembali pada kesadaran ‘keheningan’
tak bernama yang mendasari dan memungkinkan bentuk-bentuk semua diskursus,
bahkan dari ‘ilmu pengetahuan’ itu sendiri.
[1]
Syafieh. Pengetahuan Dan Kekuasaan Dalam Perspektif Foucault. 2013. (online)
sumber: http://syafieh.blogspot.com/2013/03/pengetahuan-dan-kekuasaan-dalam.html
[2] Slamet
Santoso. Pemikiran Michel Foucault (1926 – 1984). (online) sumber: http://ssantoso.blogspot.com
/2007/08/ pemikiran-michel-foucault-1926-1984.html
[3] Sunardi.
Nietzsche. 2006, halaman 17. LKiS
[4] Ibid. hal 18.
[5] Ibid. hal 22.
[6] Sudiarja.
Re: Nietzsche dari Kacamata Foucault. http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?
Id=2004042901343827. (diunduh 15 april 2013)
[7] Ibid.
[8]
Sejarah UNJ. Kritik Foucault Terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan
Geneanologis atas Rezim Kuasa. Mei 3, 2010. (online) sumber: http://sejarahunj.wordpress.com/page/4/
[9]
Agustin, Sari Monik. Foucault &
Komunikasi (Telaah Konstruksi Wacana Dan Kuasa Foucault Dalam Lingkup Ilmu
Komunikasi). - :
Universitas Al Azhar Indonesia
[10] ibid .
[11] Haryatmoko.
Foucault dan Kekuasaan dalam majalah.Basis. No.01-02, Thn ke-51,
Januari-Februari 2002. Hal 12. Yogyakarta.
[12] Rizki
Wulandari. Foucault. 2012. (online) sumber: http://afidburhanuddin.files.wordpress.com
/2012/11/foucault2_ed.pdf. halaman 3-4
[13] Dr.
Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2008), hal. 212.
[14]
-.Kekuasaan (Kuasa) Menurut Michel Foucault. 2011. (online) sumber: http://sangkebijaksanaan.
blogspot.com/2011/09/kekuasaan-kuasa-menurut-michel-foucault.html
[15]
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal.
71.
[16] Beilharz,
Peter. Teori-Teori Sosial : observasi
kritis terhadap para filosof terkemuka. 2005. Hal 128-129. Yogyakarta.
[18]
Siskandar. Kesiapan Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional. Jurnal Ekonomi
& Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008. Halaman 100-101
[19] Ibid.
Halaman 100-101
[20] Dra.
Nuryanah, M.Ag. Dekonstruksi Dan Rekonstruksi. 2011. (online) sumber: http://nuryanahsmkn7.blogdetik.com/2011/07/19/.
[21] Ibid. Hal 132.
[22] Haryatmoko.
Ibid. Hal 13.
[23] Ritzer
& Smart. Handbook Teori Sosial. 2012.
Hal 649. bandung.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.