Ketika seorang
ilmuwan, sejarawan dan filosof mengawali kajian permasalahan metodologi ilmu-ilmu
alam dan sosial pada abad ke 19, mereka secara umum terbagi ke dalam dua kubu, positifis
dan idealis. Kubu positivis berargumen bahwa tidak ada perbedaan esensial
antara beberapa cabang resmi ilmu pengetahuan manusia. Dalam pendekatan mereka
ke ilmu sejarah, kalangan positifis sepakat dengan Descartes, bahwa sejarah
tidak akan bisa untuk meberikan pengetahuan pasti kepada manusia. Namun berbeda
dengan Descartes, mereka mempertahankan pendapat bahwa ini tidak berhubungan
dengan sifat sejarah itu sendiri namun dengan metode yang digunakan oleh
sejarawan dalam mencoba memahami masa lalu. Kaum positivis abad ke 19 mencari
metode baru yang akan menempatkan sejarah dalam basis saintifik yang kuat.
1. Positivis
Prtama-tama,
mereka menentukan bahwa sejarah
seharusnya menjadi pendekatan yang menghindari sebuah karya yang tidak kritis
dan pasti sebagaimana yang dihasilkan sejarwan sebelumnya. Leopold von Rangke
(1775-1886) mendorong rekan-rekan mereka untuk menggambarkan masa lalu “
sebagaimana sesungguhnya telah terjadi”. Di universitas Berlin, Rangke melatih
beberapa sejarawan unggul abad 19. Dia menegaskan bahwa semua sumber dievaluasi
secara kritis dengan penekanan pada penggunaan sumber primer sebagai bukti
kunci.
Kedua, seperti
Henry Thomas Buckle (1821-1862), kaum posistivis mengklaim bahwa sejarah tidak
dapat membuat saintifik (ilmah) dengan anggapan bahwa ada hukum universal yang
mengatur aktivitas sosial dan regularitas sikap manusia yang dapat diungkap melalui media statistik.
Keyakinan itu diungkap secara induktif dalam tesisnya yang berjudul History of civilization in England (1857).
Di dalam tulisannya itu dia mengatakan “kebenaran bahwa semua tindakan manusia
dipandu oleh pendahulu mereka dalam realitas tidak pernah tidak kosisten,
sekalipun selalu berubah kelihatannya, tindakan manusia itu hanya sebagian dari
satu skema besar tatanan universal …. adalah satu kunci dan dasar bagi sejarah.
Buckle
dipengaruhi oleh August Comte. (Cours de
philosophie positive). Comte meyakini bahwa kebenaran hanya bisa diungkap
melalui penggunaan metode ilmiah. (Scientific method). Keyakinan Comte ini
kemudian menjadi sebuah manifesto yang dianut kaum positivis pada generasi
selanjutnya. Comte berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu melewati sebuah
tahapan-tatanan yang dapat dibagi menjadi tiga. Tahap-tahap itu adalah adalah
teologi, metafisik dan ilmiah. Pada tahap teologis, manusia menjelaskan
fenomena alamiah sebagai aktivitas tuhan. Pada tahap metafisik, orangmengenali perubahan
alamian sebagai kekuatan abstrak, namun ketika orang telah mencapai tahap sains
(positivis), orang menjelaskan fenomena alam dalam pengertian hukum-hukum alam
yang tetap. Conte yakin bahwa setiap wilayah pengetahuan manusia akan melewati
tahapan ini. Sementara di beberapa bidang (contohnya studi alam),telah mencapai
tahapan positivis, bidang lain seperti sejarah dan sosial telah tertinggal. Comte
merasa bahwa dia dapat menerapkan (cara berpikir positivis) untuk ilmu sosial,
seperti yang telah dilakukan Galileo, Kepler dan Newton dalam ilmu alam.
Sepeninggal Comte, pencarian akan hukum alamiah seragam yang mengatur kejadian dalam
sejarah mendominasi karakter pendekatan positivis dalam sejarah.
Tokoh positifis
kedua adalah John Struat Mill (1806-1873). Mill bukan seorang sejarawan namun
seorang filosof Inggris yang paling berpengaruh
pada abad 19. Karya utamanya
adalah A Study of Logic (1843). Mill
mencoba mengikuti/menerapkan saran dari Comte dalam kejian sejarah. Dia
menulis “rangkaian kolektif
fenomena-fenomena sosial, dengan kata lain arah/wacana sejarah adalah subjek
dari hukum umum yang dideteksi oleh filsafat.” Mill menyadari bahwa hukum-hukum
semacam itu tidak dapat disimpulkan dari sebuah eksperimen/pengujian langsung
pada suatu peradaban dan masyarakat sehingga dia mengusulkan pengganti hukum-hukum
itu dengan mengurangi (menyederhanakan) hukum itu ke tingkat generalisasi
antara lain prinsip-prinsip kejiwaan manusia.
2. Idealis
Jika kaum
positivis beranggapan bahwa penjelasan harus memiliki struktur logis yang sama
untuk semua bidang pengetahuan manusia, maka kaum idealis menentang pendapat tersebut. Kaum idealis mengatakan
bahwa eksplanasi dalam sejarah sangat berbeda dengan eksplanasi dalam ilmu
alam. Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Heinrich Rickert (1863-1936) –
dipengaruhi oleh pembagian fenomena-noumena Kant dan Alam dan Jiwa dari Hegel
berkeyakinan bahwa ada dua jenis ilmu jenis ilmu alam dan manusia. Ilmu alam melakukan
pendkatan pada subjek permasalahan “dari luar”; mereka menggambarkan
keteraturan melalui pengamatan fenomena alam. Di dalam ilmu humaniora, subjek
permasalahan dapat diakses ilmuwan sosial melalui cara yang tidak mungkin bagi
seorang iluwan alam. Sebagai contoh: oleh karena sejarawan adalah seorang
manusia yang mempelajari tindakan manusia dan orang-orang lain, dia dapat
mengetahui tindakan mereka dari “dalam”, sebagaimana adanya. Oleh sebab pengetahuan
masa lalu yang lengkap membutuhkan pengathuan tentang apa yang telah terjadi
dan mengapa terjadi, sejarawan seringdituntut untuk menghidupkan kembali atau
memikirkan kembali tindakan yang telah
dilakukan di masa lalu melalui proses empati intelektual (verstehen : memahami). Mengapa Sultan Salahuddin memilih jalur
gencatan senjata dari pada perang total melawan raja Richard dan Philippe
Aguste dalam perang Salib di Yerusalem pada tahun 1184?
Masih ada lagi
perbedaan antara ilmu alam dan humaniora. Sementara ahli ilmu alam mencari
regularitas (keajegan) dan generalisasi yang dapat dia buat tentang regularitas
itu, sejarawan meneliti sesuatu yang unik, individual dan tidak dapat terulang,
Kejadian sejarah hanya terjadi sekali. Menurut Diltey, dalam rangka mengkaji masa
lalu, dia berargumen, ilmu humaniora harus memunculkan subjektifitas dan
individualitas dan menggapai tingkat universalitas tertentu. Namun bagaimana
sejarah memberikan kita pengetahuan universal tanpa komit kepada positivis? Dilthey merespon dilema ini dengan merumuskan
apa yang disebut dengan “Objectife Mind”. Menurut pandangannya spirit manusia
(jiwa manusia) adalah objektif dan terkespresi dalam fenomene-fenomena lahiriah
tertentu seperti bahasa, literatur, hukum, arsitektur, agama, musik, seni, kota
dan sebagainya. Objectife Mind ini
mencakup semua hal yang menunjukkan aspek-aspek jiwa sebuah peradaban atau
budaya. Sejarawan dapat mengkaji ekspresi pemikiran manusia di masa lalu dan
melalui itu, sejarawan dapat dia dapat
masuk ke dalam dan menghidupkan pengalaman manusia di masa lalu.
Bendetto Croce
(1866-1952), seorang filosof Itali abad XX memperlihatkan pendekatan idealis
dalam sejarah. Croce mencemooh usaha untuk mendapatkan pandangan objektiv masa
lalu. Dia berpendapat, kutipan kejadian masa lalu utuh bukanlah sejarah sama
sekali namun hanya sekedar kronik. Sementara kronik hanyalah sesuatu, sejarah adalah sebuah “act
of spirit” (pernyataan jiwa). “sebuah kronik
adalah mati dalam pengertian bahwa kronik ini tidak hidup di pikiran
atau pengalaman sejarawan, sejarah yang benar hidup karena sejarawan
menghidupkan (kejadian) di otaknya sendiri”.
Tokoh kelompok
idealis yang paling penting ada abad XX adalah RG Collingwood (1889-1943). Dia
menekankan ada statemen bahwa sejarawan tidak menjelaskan fenomena alamiah, dia
lebih menjelaskan tindakan orang bebas yang memerintahkan sebuah tindakan
sesuai dengan akal. Dalam mengkaji masa lalu, sejarawan harus membuat pembedaan
antara inside dan outside dari sebuah kejadian. Outside
(untuk kemudian diterjemahkan dengan unsur luar) dari sebuah kejadian
mencakup segala sesuatu yang apat dideskripsikan dalam pengertian kejadian
fisik. Unsur dalam kejadian (inside)
mencakup segala sesuatu yang hanya dapat digambarkan dalam pengertian pikiran
(di otak). Sejarawan seharusnya tidak mengabaikan baik unsur luar maupun dalam
sebuah kejadian. Sejarawan seharusnya mengamati peristiwa sejarah, dia
mengamati melalui peristiwa itu dan mendeteksi, mengenal pemikiran yang berada
dibalik peristiwa. Collingwood menunjukkan kemiripan antara kerja seorang
arkeolog dan seorang palaeontolog. Keduanya menghabiskan waktunya menggali; namun keduanya menggali untuk
tujuan yang berbeda. Arkeolog lebih
berkepentingan ada relik-relik (artefact) sebagai petunjuk bagaimana manusia di
masa lalu hidup dan berpikir. Sejarah kemudian dapat diketahui karena
teranifestasi dalam pikiran manusia. Dalam rangka memahami apa yang mereka
(orang-orang di masa lalu) pikirkan, sejarawan harus memikirkan kembali
pemikiran mereka di dalam otan sejarawan sendiri. Sama dengan Croce, Collingwood
mengkritik sejarawan yang melakukan kliping (scissors and paste) dianggap memperlakukan suber sejarah sebagai
barang mati.
Nash, Ronald H (eds)., Ideas of History. Critical Philosophy of History. New York: EP
Dutton & Co Inc, 1969, hlm 3-8
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.