Monday, September 17, 2012

Positivisme dan idealisme: Permasalahan Pemahaman Sejarah



Positivisme dan idealisme: Permasalahan Pemahaman Sejarah


Oleh : Ronald H Nash

Ketika seorang ilmuwan, sejarawan dan filosof mengawali kajian permasalahan metodologi ilmu-ilmu alam dan sosial pada abad ke 19, mereka secara umum terbagi ke dalam dua kubu, positifis dan idealis. Kubu positivis berargumen bahwa tidak ada perbedaan esensial antara beberapa cabang resmi ilmu pengetahuan manusia. Dalam pendekatan mereka ke ilmu sejarah, kalangan positifis sepakat dengan Descartes, bahwa sejarah tidak akan bisa untuk meberikan pengetahuan pasti kepada manusia. Namun berbeda dengan Descartes, mereka mempertahankan pendapat bahwa ini tidak berhubungan dengan sifat sejarah itu sendiri namun dengan metode yang digunakan oleh sejarawan dalam mencoba memahami masa lalu. Kaum positivis abad ke 19 mencari metode baru yang akan menempatkan sejarah dalam basis saintifik yang kuat.


1. Positivis
Prtama-tama, mereka  menentukan bahwa sejarah seharusnya menjadi pendekatan yang menghindari sebuah karya yang tidak kritis dan pasti sebagaimana yang dihasilkan sejarwan sebelumnya. Leopold von Rangke (1775-1886) mendorong rekan-rekan mereka untuk menggambarkan masa lalu “ sebagaimana sesungguhnya telah terjadi”. Di universitas Berlin, Rangke melatih beberapa sejarawan unggul abad 19. Dia menegaskan bahwa semua sumber dievaluasi secara kritis dengan penekanan pada penggunaan sumber primer sebagai bukti kunci.
Kedua, seperti Henry Thomas Buckle (1821-1862), kaum posistivis mengklaim bahwa sejarah tidak dapat membuat saintifik (ilmah) dengan anggapan bahwa ada hukum universal yang mengatur aktivitas sosial dan regularitas sikap manusia  yang dapat diungkap melalui media statistik. Keyakinan itu diungkap secara induktif dalam tesisnya yang berjudul History of civilization in England (1857). Di dalam tulisannya itu dia mengatakan “kebenaran bahwa semua tindakan manusia dipandu oleh pendahulu mereka dalam realitas tidak pernah tidak kosisten, sekalipun selalu berubah kelihatannya, tindakan manusia itu hanya sebagian dari satu skema besar tatanan universal …. adalah satu kunci dan dasar bagi sejarah.
Buckle dipengaruhi oleh August Comte. (Cours de philosophie positive). Comte meyakini bahwa kebenaran hanya bisa diungkap melalui penggunaan metode ilmiah. (Scientific method). Keyakinan Comte ini kemudian menjadi sebuah manifesto yang dianut kaum positivis pada generasi selanjutnya. Comte berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu melewati sebuah tahapan-tatanan yang dapat dibagi menjadi tiga. Tahap-tahap itu adalah adalah teologi, metafisik dan ilmiah. Pada tahap teologis, manusia menjelaskan fenomena alamiah sebagai aktivitas tuhan.  Pada tahap metafisik, orangmengenali perubahan alamian sebagai kekuatan abstrak, namun ketika orang telah mencapai tahap sains (positivis), orang menjelaskan fenomena alam dalam pengertian hukum-hukum alam yang tetap. Conte yakin bahwa setiap wilayah pengetahuan manusia akan melewati tahapan ini. Sementara di beberapa bidang (contohnya studi alam),telah mencapai tahapan positivis, bidang lain seperti sejarah dan sosial telah tertinggal. Comte merasa bahwa dia dapat menerapkan (cara berpikir positivis) untuk ilmu sosial, seperti yang telah dilakukan Galileo, Kepler dan Newton dalam ilmu alam. Sepeninggal Comte, pencarian akan hukum alamiah seragam yang mengatur kejadian dalam sejarah mendominasi karakter pendekatan positivis dalam sejarah.
Tokoh positifis kedua adalah John Struat Mill (1806-1873). Mill bukan seorang sejarawan namun seorang filosof Inggris yang paling berpengaruh  pada abad 19.  Karya utamanya adalah A Study of Logic (1843). Mill mencoba mengikuti/menerapkan saran dari Comte dalam kejian sejarah. Dia menulis  “rangkaian kolektif fenomena-fenomena sosial, dengan kata lain arah/wacana sejarah adalah subjek dari hukum umum yang dideteksi oleh filsafat.” Mill menyadari bahwa hukum-hukum semacam itu tidak dapat disimpulkan dari sebuah eksperimen/pengujian langsung pada suatu peradaban dan masyarakat sehingga dia mengusulkan pengganti hukum-hukum itu dengan mengurangi (menyederhanakan) hukum itu ke tingkat generalisasi antara lain prinsip-prinsip kejiwaan manusia.

2. Idealis
Jika kaum positivis beranggapan bahwa penjelasan harus memiliki struktur logis yang sama untuk semua bidang pengetahuan manusia, maka kaum idealis menentang  pendapat tersebut. Kaum idealis mengatakan bahwa eksplanasi dalam sejarah sangat berbeda dengan eksplanasi dalam ilmu alam. Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Heinrich Rickert (1863-1936) – dipengaruhi oleh pembagian fenomena-noumena Kant dan Alam dan Jiwa dari Hegel berkeyakinan bahwa ada dua jenis ilmu jenis ilmu alam dan manusia. Ilmu alam melakukan pendkatan pada subjek permasalahan “dari luar”; mereka menggambarkan keteraturan melalui pengamatan fenomena alam. Di dalam ilmu humaniora, subjek permasalahan dapat diakses ilmuwan sosial melalui cara yang tidak mungkin bagi seorang iluwan alam. Sebagai contoh: oleh karena sejarawan adalah seorang manusia yang mempelajari tindakan manusia dan orang-orang lain, dia dapat mengetahui tindakan mereka dari “dalam”, sebagaimana adanya. Oleh sebab pengetahuan masa lalu yang lengkap membutuhkan pengathuan tentang apa yang telah terjadi dan mengapa terjadi, sejarawan seringdituntut untuk menghidupkan kembali atau memikirkan kembali tindakan  yang telah dilakukan di masa lalu melalui proses empati intelektual (verstehen : memahami). Mengapa Sultan Salahuddin memilih jalur gencatan senjata dari pada perang total melawan raja Richard dan Philippe Aguste dalam perang Salib di Yerusalem pada tahun 1184?
Masih ada lagi perbedaan antara ilmu alam dan humaniora. Sementara ahli ilmu alam mencari regularitas (keajegan) dan generalisasi yang dapat dia buat tentang regularitas itu, sejarawan meneliti sesuatu yang unik, individual dan tidak dapat terulang, Kejadian sejarah hanya terjadi sekali. Menurut Diltey, dalam rangka mengkaji masa lalu, dia berargumen, ilmu humaniora harus memunculkan subjektifitas dan individualitas dan menggapai tingkat universalitas tertentu. Namun bagaimana sejarah memberikan kita pengetahuan universal tanpa komit kepada positivis?  Dilthey merespon dilema ini dengan merumuskan apa yang disebut dengan “Objectife Mind”. Menurut pandangannya spirit manusia (jiwa manusia) adalah objektif dan terkespresi dalam fenomene-fenomena lahiriah tertentu seperti bahasa, literatur, hukum, arsitektur, agama, musik, seni, kota dan sebagainya. Objectife Mind ini mencakup semua hal yang menunjukkan aspek-aspek jiwa sebuah peradaban atau budaya. Sejarawan dapat mengkaji ekspresi pemikiran manusia di masa lalu dan melalui itu, sejarawan dapat  dia dapat masuk ke dalam dan menghidupkan pengalaman manusia di masa lalu.
Bendetto Croce (1866-1952), seorang filosof Itali abad XX memperlihatkan pendekatan idealis dalam sejarah. Croce mencemooh usaha untuk mendapatkan pandangan objektiv masa lalu. Dia berpendapat, kutipan kejadian masa lalu utuh bukanlah sejarah sama sekali namun hanya sekedar kronik. Sementara kronik  hanyalah sesuatu, sejarah adalah sebuah “act of spirit” (pernyataan jiwa). “sebuah kronik  adalah mati dalam pengertian bahwa kronik ini tidak hidup di pikiran atau pengalaman sejarawan, sejarah yang benar hidup karena sejarawan menghidupkan (kejadian) di otaknya sendiri”.
Tokoh kelompok idealis yang paling penting ada abad XX adalah RG Collingwood (1889-1943). Dia menekankan ada statemen bahwa sejarawan tidak menjelaskan fenomena alamiah, dia lebih menjelaskan tindakan orang bebas yang memerintahkan sebuah tindakan sesuai dengan akal. Dalam mengkaji masa lalu, sejarawan harus membuat pembedaan antara inside dan outside dari sebuah kejadian. Outside (untuk kemudian diterjemahkan dengan unsur luar) dari sebuah kejadian mencakup segala sesuatu yang apat dideskripsikan dalam pengertian kejadian fisik. Unsur dalam kejadian (inside) mencakup segala sesuatu yang hanya dapat digambarkan dalam pengertian pikiran (di otak). Sejarawan seharusnya tidak mengabaikan baik unsur luar maupun dalam sebuah kejadian. Sejarawan seharusnya mengamati peristiwa sejarah, dia mengamati melalui peristiwa itu dan mendeteksi, mengenal pemikiran yang berada dibalik peristiwa. Collingwood menunjukkan kemiripan antara kerja seorang arkeolog dan seorang palaeontolog. Keduanya menghabiskan waktunya  menggali; namun keduanya menggali untuk tujuan yang berbeda. Arkeolog  lebih berkepentingan ada relik-relik (artefact) sebagai petunjuk bagaimana manusia di masa lalu hidup dan berpikir. Sejarah kemudian dapat diketahui karena teranifestasi dalam pikiran manusia. Dalam rangka memahami apa yang mereka (orang-orang di masa lalu) pikirkan, sejarawan harus memikirkan kembali pemikiran mereka di dalam otan sejarawan sendiri. Sama dengan Croce, Collingwood mengkritik sejarawan yang melakukan kliping (scissors and paste) dianggap memperlakukan suber sejarah sebagai barang mati.

Nash, Ronald H (eds)., Ideas of History. Critical Philosophy of History. New York: EP Dutton & Co Inc, 1969, hlm 3-8

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |