Saturday, November 24, 2012

Aceh dibawah kepemimpinan Iskandar Muda (1607-1636) ; Ferdi




Pada awal abad ke XVII, penguasa yang terbesar diantara penguasa penguasa aceh adalah sultan iskandar muda, dimana iskandar muda mampu membentuk aceh menjadi negara  yang paling kuat di nusantara bagian barat. Keberhasilan keberhasilan yang diperoleh iskandar muda tidak lepas dari peran militer yang sangat kuat, angkatan militer yang dimiliki kapal kapal yang mampu mengangkat prajurit 600-800 orang, pasukan kavaleri yang menggunakan kuda kuda dari Persia, satuan pasukan gajah, artileri yang banyak, dan pasukan pasukan milisi infantry.[1]

Dalam tradisi aceh iskandar muda juga dikenal dengan nama Marhun Mahkota Alam, Dia juga melanjutkan politik ekspansi raja-raja sebelumnya. Selain memperhatikan hegemoni politik Iskandar Muda juga memusatkan perhatiannya pada perdagangan, dia mengatur perdagangan merica Sumatera di Banda Aceh dan mengatur monopoli yang tidak dapat diremehkan oleh saudagar-saudagar Eropa. Kadang-kadang kapal Belanda, Inggris dan Perancis pada waktu yang sama berlabuh di Aceh dan Iskandar Muda mengadu domba ketiga bangsa itu serta menaikkan harga merica dengan sesuka hatinya.
Tanggal kelahiran Iskandar tidak bisa ketahui dengan pasti. Menurut keterangan Hikayat Aceh, perkawinan Mansur Syah dengan putri Raja lndra Bangsa diadakan sewaktu pemerintahan Sultan 'Ala ad-Din, anak Sultan Ahmad dari Perak, dan memerintah dari 1579 sampai 1585/6.  Hikayat menegaskan pula bahwa Putri Raja Indra Bangsa hamil "beberapa waktu sesudah pernikahannya". Penjelasan itu cocok benar dengan cerita Best yang pada tahun 1613 menyatakan bahwa sang raja 32 tahun umurnya; oleh karena tahun itu pasti menurut perhitungan Islam (sukar dibayangkan Best menghitung tahun Islam menjadi tahun Kristen), ada alas an untuk menganggap Iskandar larur sekitar tahun 1583. Kalau begitu, umurnya sekitar 24 tahun waktu naik takhta, dan 54 tahun waktu wafat.[2]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan kerajaan kecil yang sudah berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, , Aceh Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis. Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun, pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka.[3]
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan Iskandar Muda (1590 1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang secara efektif bisa direbut dari portugis tahun 1575.[4]
Pada abad ke-16 Ratu Inggris yg paling berjaya Elizabeth I mengirim utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam" serta seperangkat perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.[5]
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.[6]
Pada masa Iskandar muda Kerajaan Aceh mengirim utusan untuk menghadap sultan Empayar Turki Utsmaniyyah yg berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dgn nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan melayu yg memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalam meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan utk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.[7]


[1] Fricklef, M.C. sejarah Indonesia modern 1200-2004. 2005. Serambi. Hal. 84-85
[2] Lombard, Denys.Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).2007. Jakarta. Gramedia. Hal: 32-33
[3] Kerajaan-kerajaan islam di Indonesia : sekolah bhineka-PPI Nagoya Jepang (diakses 3 mei 2010)
[4] ibid
[5] http://blog.re.or.id/sejarah-aceh.htm
[6] ibid
[7] http://blog.re.or.id/sejarah-aceh.htm

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |