Pada awal abad ke XVII, penguasa yang terbesar diantara penguasa
penguasa aceh adalah sultan iskandar muda, dimana iskandar muda mampu membentuk
aceh menjadi negara yang paling kuat di
nusantara bagian barat. Keberhasilan keberhasilan yang diperoleh iskandar muda
tidak lepas dari peran militer yang sangat kuat, angkatan militer yang dimiliki
kapal kapal yang mampu mengangkat prajurit 600-800 orang, pasukan kavaleri yang
menggunakan kuda kuda dari Persia, satuan pasukan gajah, artileri yang banyak,
dan pasukan pasukan milisi infantry.[1]
Dalam tradisi aceh iskandar muda juga dikenal dengan nama Marhun
Mahkota Alam, Dia juga melanjutkan politik ekspansi raja-raja sebelumnya.
Selain memperhatikan hegemoni politik Iskandar Muda juga memusatkan perhatiannya
pada perdagangan, dia mengatur perdagangan merica Sumatera di Banda Aceh dan
mengatur monopoli yang tidak dapat diremehkan oleh saudagar-saudagar Eropa.
Kadang-kadang kapal Belanda, Inggris dan Perancis pada waktu yang sama berlabuh
di Aceh dan Iskandar Muda mengadu domba ketiga bangsa itu serta menaikkan harga
merica dengan sesuka hatinya.
Tanggal kelahiran Iskandar tidak bisa ketahui dengan pasti. Menurut
keterangan Hikayat Aceh, perkawinan Mansur Syah dengan putri Raja lndra Bangsa
diadakan sewaktu pemerintahan Sultan 'Ala
ad-Din, anak Sultan Ahmad dari Perak, dan memerintah dari 1579 sampai 1585/6. Hikayat menegaskan pula bahwa Putri Raja Indra
Bangsa hamil "beberapa waktu sesudah pernikahannya". Penjelasan itu
cocok benar dengan cerita Best yang pada tahun 1613 menyatakan bahwa sang raja
32 tahun umurnya; oleh karena tahun itu pasti menurut perhitungan Islam (sukar
dibayangkan Best menghitung tahun Islam menjadi tahun Kristen), ada alas an
untuk menganggap Iskandar larur sekitar tahun 1583. Kalau begitu, umurnya sekitar
24 tahun waktu naik takhta, dan 54 tahun waktu wafat.[2]
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh
dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah
naih tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan
mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan
Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di
Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di Aceh Timur), Pedir (di
Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di
bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada
Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan
kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya.
Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan
wilayah yang luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis
dari seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan kerajaan kecil yang sudah
berada di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang
berada di daerah Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis
mundur ke Pidie, Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa
mundur ke Pasai. Mughayat kemudian melanjutkan gempurannya dan berhasil merebut
benteng Portugis di Pasai. Dengan jatuhnya Pasai pada tahun 1524 M, , Aceh
Darussalam menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh besar di
kawasan tersebut. Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang
luar biasa, terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan
menghadapi serangan Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak
sempat mereka bawa dalam gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang
digunakan kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis. Ketika
benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak. Namun,
pasukan Aceh tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis. Peurelak
kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa lama, Aru
juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke Malaka.[3]
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa
Sultan Iskandar Muda (1590 1636). Pada masa itu, Aceh merupakan salah satu
pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara. Kerajaan Aceh pada masa
itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti Usmani di Turki, Inggris
dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah mengirim utusan ke Turki
Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima oleh Khalifah Turki Usmani
dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam dan penasehat militer untuk
membantu memperkuat angkatan perang Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh mencapi
Pariaman wilayah pesisir Sumatra Barat, Perak diMalaka yang secara efektif bisa
direbut dari portugis tahun 1575.[4]
Pada abad ke-16 Ratu Inggris yg paling berjaya Elizabeth I mengirim
utusan bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan
"Kepada Saudara Hamba Raja Aceh Darussalam" serta seperangkat
perhiasan yg tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik
"saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan
berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah
yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas
kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar
"Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggris
dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James
mengirim sebuah meriam sebagai hadiah utk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga
kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.[5]
Selain Kerajaan Inggris Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje-
juga pernah mengirim surat
dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut
maksud baik mereka dgn mengirimkan rombongan utusan ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal
sebagai orang Indonesia
pertama yg singgah di Belanda. Dalam kunjungan Tuanku Abdul Hamid sakit dan
akhir meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan
dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum
pernah memakamkan orang Islam maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani
di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang
dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu
Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.[6]
Pada masa Iskandar muda Kerajaan Aceh mengirim utusan untuk
menghadap sultan Empayar Turki Utsmaniyyah yg berkedudukan di Konstantinompel.
Kerana saat itu sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan
Aceh terluntang-lantung demikian lama sehingga mereka harus menjual sedikit
demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada
akhir ketika mereka diterima oleh sang Sultan persembahan mereka hanya tinggal
Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu
dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk
membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dgn
nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjut sultan Turki Uthmaniyyah
mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.
Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan
Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat
berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhir
mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan.
Dalam buku Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari
benda-benda berharga. Pada masa itu Kerajaan Aceh merupakan satu-satu kerajaan
melayu yg memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya.
Menurut Utusan Perancis tersebut Istana Kesultanan Aceh luas tak kurang dari 2
kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalam meliputi
Medan Khayali dan medan
Khaerani yg mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga
memerintahkan utk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri
istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.[7]
[1] Fricklef, M.C. sejarah Indonesia modern 1200-2004. 2005.
Serambi. Hal. 84-85
[2] Lombard, Denys.Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).2007.
Jakarta. Gramedia. Hal: 32-33
[3] Kerajaan-kerajaan islam di Indonesia : sekolah bhineka-PPI Nagoya Jepang (diakses 3
mei 2010)
[4] ibid
[5] http://blog.re.or.id/sejarah-aceh.htm
[6] ibid
[7] http://blog.re.or.id/sejarah-aceh.htm
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.