Saturday, November 24, 2012

awal mula munculnya kerajaan aceh




Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Sumatera yang pernah men¬capai kedudukan yang cukup tinggi dalam politik dunia . Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa keemasan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda di abad ke-17. Aceh saat itu tidak hanya dikenal di bumi Nusantara tetapi juga di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Mungkin hanya Aceh satu-satunya kerajaan di bumi Nusantara yang pada tahun 1600an sudah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Kerajaan Turki, Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris serta merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, bersama dengan Kerajaan Isfahan (Iran), Kerajaan Maroko, Kerajaan Agra (India), dan Kerajaan Turki. Pada tahun 1800an Aceh sudah mempunyai perwakilan diplomatik (duta besar) di Turki, Penang dan Singapura. 


Sejarah nama Aceh belum begitu dikenal atau lengkap ditulis dalam buku. Karenanya perbedaan pendapat selalu ada mengenai masa dulu. Aceh merupakan suatu bagian dari apa yang disebut "Suvar­nabhumi" (Tanah Emas) di mana para pedagang Hindu datang berlayar dalam jumlah yang besar. Rempah-rempah (merica, cengkeh dan pala), kapur barus. dan kayu yang berbau harum dari In­donesia zaman dulu sangat menarik pedagang-pedagang dari negeri jauh sebelah barat Aceh. Mula-mula orang-orang India yang beragama Hindu dan Budha dan beberapa abad kemudian orang­-orang Arab yang beragama Islam dan orang-orang Eropa yang beragama Kristen. [1]
Karena kedudukan geografisnya, Aceh berperan dalam pelayaran antara India, Arab dan eropa di satu pihak, Kamboja dan Cina di lain pihak hulu Aceh selalu dikunjungi kapal yang berlayar di dua jurusan antara bagian dunia. Zaman pemerintahan kerajaan- Budha §ri;ijaya di Sumatera, sumber-sumber Cina dan Arab menyebut adanya suatu kerajaan yang sangat berkuasa di Aceh bernama LA W-WU-LI atau Lamuri dan dalam bahasa Aceh sekarang ini mungkin dimaksudkan LAMBARIH sebuah  kampung kecil tidak begitu jauh dari Banda Aceh.[2] 
Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Sumatera yang pernah men­capai kedudukan yang cukup tinggi dalam politik dunia . Kesultanan Aceh Darussalam mengalami masa keemasan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda di abad ke-17. Aceh saat itu tidak hanya dikenal di bumi Nusantara tetapi juga di kawasan Eropa dan Timur Tengah. Mungkin hanya Aceh satu-satunya kerajaan di bumi Nusantara yang pada tahun 1600an sudah menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Kerajaan Turki, Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris serta merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, bersama dengan Kerajaan Isfahan (Iran), Kerajaan Maroko, Kerajaan Agra (India), dan Kerajaan Turki. Pada tahun 1800an Aceh sudah mempunyai perwakilan diplomatik (duta besar) di Turki, Penang dan Singapura.
Kerajaan Aceh mempunyai peran yang cukup pennting dalam membantu sriwijaya menghalau serangan raja rajindra cola 1 pada tahun 1025. serangan kerajaan cola yang dikomandoi Rajindracola I memulai serangannya dengan menyusuri  Sungai Musi, lalu menyerang kota Palembang, menangkap ra­janya dan melarikan harta kekayaan kerajaannya. Dalam gerakannya ke utara mereka tidak hanya menyerang seluruh pantai Sumatera, sepanjang pantai bagian barat di selat malaka juga diserang oleh kerajaan cola. Dan aceh yang pada saat itu telah memiliki persenjataan melakukan perlawanan sengit..
"Iamuiri-decam yang kekuatannya bangkit bernyala-nyala di masa perang," demikianlah bunyi sebuah prasasti tua Tanjore pada tahun 1030. Mungkin karena pameran kekuatan dan perlawanan sengit yang diberikannya atau karena kedudukan strategisnya pada pintu masuk menuju Selat Malaka, tidak jelas bagi kita, namun serangan-serangan Cola yang nampaknya berbahaya itu tidak disusul oleh pendudukan yang efektif. Mungkin sekali Sriwijaya dan Lamuri kemudian mufakat un.tuk bersama-sama melawan ancaman-ancaman perang yang sering datang dari pihak Cola. Seperti tercatat dalam sejarah, Lamuri (Aceh) juga turut membantu Sriwijaya dalam serangan balas­an Srilangka dalam tahun 1278. [3]
Pada masa itu  kemerosotan kekuasaan pusat dengan agama hindunya  mempercepat disintegrasi politik bersamaan dengan degenerasi cultural  dengan demikian terciptalah kondisi yang baik bagi pelabuhan  untuk melakukan perubahan, serta ada orientasi besar terhadap nilai nilai baru .[4]  kemerosotan yang terjadi mengantarkan kota kota dagang kecil mulai berkembang pesat dan pada kahirnya melahirkan kerajaan kerajaan kecil yang bercorak islam, dan secara terus menerus membuat hegemoni kerajaan pusat melui runtuh.
Secara pasti mengenai tanggal berapa islam masuk ke nusantara, tentu cukup sulit namun iformasi mengenai masuknya islam ke nusantara dapat kita peroleh dari interaksi masyarakat pribumi dalam aktivitas perdagangan. Interaksi tersebut dalam beberapa sumber menyebutkan peran pedagang arab dan daerah timur tengah lainnya.
Pada permulaan, abad ketujuh belas tarih masehi, perdagangan dengan Cina melalui Srilangka sangat pesat sehingga pada pertengahan abad kedelapan belas pedagang-pedagang Arab Islam sudah dijumpai di Kanton dalam jumlah yang besar, sedangkan sejak abad 10 sampai 15 hingga kedatangan bangsa Portugis mereka adalah penguasa-penguasa yang tak ada tandingannya di bidang per­dagangan dengan Asia Tenggara dan Timur. [5]
Oleh sebab itu kita dapat menyimpulkan dengan cukup bahwa orang-orang Arab juga telah mendirikan perkampungan-perkam­pungan perdagangan di beberapa tempat di pinggir. pantai Aceh. atau Sumatera pada zaman dulu. Sekalipun perkampungan-perkampungan dipinggir laut ini titik tersebut dalam tulisan para ahli ilmu bumi bangsa Arab, sebelum abad ke-9, namun dalam catatan sejarah Cina tahun 674 s.M. terdapat suatu penjelasan mengenai seorang pemim­pin Arab yang menurut catatan-catatan kemudian diduga merupakan kepala dari suatu perkampungan orang Arab di pantai Barat Sumatera. Catatan Sejarah Melayu memberi tempat kehormatan ke­pada seorang Arab yang bernama Abdullah Arif, yang dikatakan sebagai penyebar agama Islam yang pertama ke Aceh dan mengunjungi negeri itu kira-kira pad a pertengahan abad ke-12. [6]
Salah seorang dari muridnya, Burhanuddin dikabarkan te­lah menyebarkan ajaran-ajaran Islam sampai pantai Barat Su­matera sejauh Pariaman. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam sudah giat dilakukan penyebar-penyebar agama Islam agaknya sudah sampai juga ke Aceh dari India bagian selatan, melihat dari kenyataan hingga sampai saat ini semua orang Aceh adalah pengikut-pensikut teguh mazhab safiyyah yang sampai sekarang masih merupakan aliran yang dominan di  sepanjang pantai Coromendel sampai Malabar. Mereka tidak datang sebagai penakluk seperti orang-orang Spanyol di abad 16, atau menggunakan senjata pedang untuk memaksa menukar agama. Tidak pula mereka menuntut hak-hak istimewa sebagai bangsa yang lebih tinggi atau berkuasa d.engan merendahkan dan menindas penduduk asli. Mereka datang sebagai pedagang dan meng­gunakan kecakapan dan peradaban mereka yang lebih maju dalam tugas pengembangan agama mereka. Mereka datang bukan untuk mencari keagungan pribadi atau untuk menumpuk kekayaan. [7]
Adalah usaha pedagang-pedagang Arab dan India ini di satu pihak dan penyebar-penyebar agama Islam yang sesungguhnya di lain pi­hak, yang membuat lebih dari 6 abad yang lalu semua raja-raja ber­sama-sama rakyat dari semua kerajaan kecil-kecil di Aceh menjadi pemeluk agama Islam baik secara perorangan maupun secara bersama sama.[8]
Raja yang pertama beragama Islam adalah Sultan Malik As­salih dari Samudra Pasai (1270-1297) dan raja yang pertama beragama Islam dari Aceh adalah Ali Muchajat Shah (1514-1528). Raja yang disebut terakhir inilah yang mengambil prakarsa dan kemudian dilanjutkan pengganti-penggantinya untuk mempersatukan semua kerajaan-kerajaan yang ada disebelah barat dan utara aceh menjadi satu negara islam yang kuat di asia tenggara, yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan islam Aceh.[9]


[1] Raliby, osman . (Suny, ismail. Bunga rampai tentang aceh.1980. Jakarta. Bhratara karya aksara. Hal : 28)

[2] Ibid. hal : 28-29
[3] Ibid. hal : 29
[4] Kartodirjo, Sartono. Pengantar sejarah Indonesia baru : 1500-1900. 1999. Jakarta; Gramedia. hal : 21
[5] Raliby, Osman op.cit. hal : 30
[6] Ibid.
[7] Raliby, osman . . hal : 31
[8] Ibid.
[9] Ibid.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |