Saturday, November 24, 2012

Perkembangan Politik Australia Pasca- PD II




Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan pihak sekutu yang terdiri dari Inggris, Perncis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Kemenangan yang diraih pihak sekutu itu tidak terlepas dari peran Amerika Serikat. Pasukan sekutu yang mendapat bantuan tentara, perlengkapan, dan persenjataan dari Amerika Serikat menganggap bahwa peran Amerika Serikat sangat menentukan dalam kemenangan yang diraih oleh pihak sekutu. Di medan perang Asia-Pasifik, pemboman terhadap Hiroshima (6 Agustus1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) jelas mempercepat menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu.

Sedang di medan perang Eropa, pasukan Amerika Serikat bersama pasukan Inggris dan Perancis berhasil mendesak pertahanan Jerman dan Italia serta memaksa kedua negara tersebut menyerah kepada pihak sekutu. Pada pasca perang, peranan Amerika Serikat sangat besar dalam memberikan bantuan kepada negara-negara Eropa Barat untuk membangun kembali perekonomiannya.
Uni Soviet juga turut berperan terhadap kemenangan pasukan sekutu, yaitu dengan melakukan pembebasan Eropa bagian timur dari tangan Jerman. Uni Soviet juga mempergunakan kesempatan untuk meluaskan pengaruhnya, dengan cara mensponsori terjadinya terjadinya perebutan kekuasaan di berbagai negara Eropa Timur seperti Bulgaria, Albania, Hongaria, Rumania, Polandia, dan Cekoslowakia, sehingga negara-negara tersebut masuk ke dalam pengaruh pemerintahan komunis Uni Soviet.[1]
Australia adalah satu-satunya negara anggota Persemakmuran Inggris (the British Commonwealth) yang paling lama menggantungkan diri kepada Inggris. Meskipun sebagaian besar negara-negara anggota persemakmuran telah lama melepaskan pengaruh dari tuannya, Australia dalam waktu yang lama menjadikan kebijakan politik luar negerinya di bawah bayang-bayang Inggris. Bahkan sampai tahun 1970an lagu God Save the Queen selalu dinyanyikan setiap kali mengawali pemutaran film di gedung-gedung bioskop negeri Australia. Pada saat dinyanyikan lagi ini tentu saja para penonton diharuskan untuk berdiri tanda hormat kepada sang Ratu.
Pada periode ini hampir semua aspek kehidupan di Australia termasuk dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya mengacu sepenuhnya kepada Inggris. Ketika Perang Dunia I misalnya, Australia berperang untuk Inggris. Baru kemudian setelah Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan baru pada Perang Dunia II (1941) mengalahkan Jepang, Australia di bawah pemerintahan Perdana Menteri John Curtin menjadikan AS sebagai pelindung barunya. Konsekuensinya Australia harus menunjukkan pelayanannya  ke AS. Keterlibatan Australia dalam Perang di Korea dan Vietnam adalah bukti kesetiaan Australia kepada AS.
Pada tanggal  1 september 1951, pemerintah Australia yang saat itu posisi perdana menteri dipegang percy spender menandatangani pakta bersama yang terkenal dengan nama ANZUS TREATY yang terdiri atas Australia, New Zealang dan Amerika serikat, kesepakatan yang ditandatangani oleh austrlaia tersebut tidak lepas dari peran amerika dalam menjaga keamanan wilayah Australia sehingga, Australia perlu menjalin hubungan yang jauh lebih inten dengan amerika terutama dalam hal pertahanan. Perjanjian ini pula menunjukan bahwa Australia berusaha lepas dari Inggris dalam hal keamanan.[2]
Sesudah perang dunia kedua kekuatan kekuatan baru yang muncul , membuat asutralia khawatir terutama keberadaan komunis  yang dating dari daratan asia. Untuk mencegah pennyebaran komunis kewilayah asia pasifik Australia mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi pakta pertahanan antikomunis  di asia tenggara yang terkenal dengan nama SEATO. Negara Negara yang etrgabung dalam SEATO diantaranya ; Australia, Amerika Serikat, Inggris Perancis, New Zealand, Pakistan, Pillipina , Thailand, Kamboja, Laos dan Vietnam.[3]
Sesudah tahun 1949 ausrtralia mulai mengambil bagian penting dalam percaturan politik di sekitar samudra pasifik. Hubungan dengan Negara Negara yang ada disekitar samudera pasifik terus ditingkatkan, selain meningkatkan hubungan politik, Australia juga berusaha  masuk kedalam bidang  ekonomi dan social budaya. Pada tahun 1950 Australia merupakan salah satu Negara pemberi inisiatis utama dalam pembentukan  Colombo Plan.[4]
Colombo Plan didirikan tahun 1951, pada awalnya bernama “Colombo Plan for Cooperative Economic Development in South and Southeast Asia”.  Kini Colombo Plan, yang semula beranggotakan 7 negara anggota Persemakmuran, telah berkembang menjadi suatu organisasi internasional dengan 25 negara anggota terdiri dari negara berkembang dan negara maju yaitu, Afghanistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Fiji, India, Indonesia, Iran, Jepang, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Myanmar, Nepal, Selandia Baru, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam. Seiring dengan perkembangan tersebut, nama Colombo Plan juga berubah menjadi “The Colombo Plan for Cooperative Economic and Social Development in Asia and Pacific” untuk mencerminkan komposisi geografis keanggotaan dan ruang lingkup aktifitasnya yang semakin luas. Pada saat ini fokus kegiatan Colombo Plan adalah pembangunan sumber daya manusia di kawasan Asia dan Pasifik. Indonesia menjadi anggota Colombo Plan tahun 1953.[5]
Tujuan utama Colombo Plan adalah mendukung pembangunan ekonomi dan sosial negara anggota, memajukan kerjasama teknik serta membantu alih teknologi antar negara anggota, memfasilitasi transfer dan berbagi pengalaman pembangunan antar negara anggota sekawasan dengan penekanan pada konsep kerjasama Selatan-Selatan. Struktur Organisasi Colombo Plan terdiri dari Consultative Committee yang merupakan badan utama dan bertemu sekali dalam dua tahun, Colombo Plan Council  merupakan bandan pelaksana keputusan Consultative Committee, dan Colombo Plan Secretariat. Biaya administrasi Sekretariat Colombo Plan dan Dewan Colombo Plan ditanggung secara rata oleh semua negara anggota melalui kontribusi tahunan. Sementara biaya pelatihan dan pendidikan didanai secara sukarela oleh negara donor baik anggota maupun non-anggota Colombo Plan.
Sekretariat CP memiliki lima program yaitu:
1.                  Programme for Public Administration (PPA)
Program ini bertujuan untuk pembangunan human capital sektor publik di negara anggota melalui program pelatihan dan Lokakarya.
2.                  Programme for Private Sector Development (PPSD)
Program ini difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi negara anggota melalui capacity building of small and medium enterprises yang meliputi pelatihan transfer of technology, business management, WTO Trade Policies, dan isu-isu perdagangan internasional.
3.                  Drug Advisory Programme (DAP)
Dimulai sejak tahun 1973, program ini merupakan program pertama yang menangani drug abuse di kawasan Asia Pasifik. Program ini memberikan kontribusi signifikan kepada para negara anggota dengan peningkatan capacity building staf pemerintah dan organisasi masyarakat yang berhubungan dengan penanganan drug abuse.
4.                  Long-term Fellowship Programme (LFP)
Program pendidikan jangka panjang baik untuk master degree atau non-degree untuk sektor pemerintah negara anggota.
5.                  Programme on Environment (ENV)
Program ini disetujui pembentukannya pada tahun 2005 dan pemerintah Thailand telah memberikan komitmen untuk memberikan dana awal kegiatan selama 3 tahun pertama (2005-2008). Program ini akan memberikan pelatihan jangka panjang dan pendek di bidang lingkungan. 
Indonesia telah menerima banyak bantuan pendidikan dan pelatihan yang ditawarkan oleh CP. Berdasarkan data Sekretariat Colombo Plan, selama kurun waktu 1995-2007, jumlah peserta Indonesia dalam berbagai program Colombo Plan tercatat sekitar 1131 orang, yang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua terbesar (setelah Afghanistan), yang menerima bantuan Colombo Plan.[6]
Dari hasil kerja sama dari organisasi Colombo plan , dapat dilihat bahwa palan ini merupakan suatu kerja sama internasional  yang dapat dimangfaatkan oleh Negara-negara asia selatan dan asia tenggara untuk meningkatkan laju pembangunannya.[7]
Australia  sendiri masih  bersama sama dengan inggris dalam british commontwealth of nations, dan masih mengakui raja/ratu inggris  sebagai raja/ratunya juga , namun setelah perang dunia kedua berakhir hubungan diantara keduanya mulai longgar. Inggris tidak lagi menjadi patner dagang Australia, hubungan dagang Australia mulai menagrah pada  Negara Negara di asia tenggara. krisis politik terjadi di Australia, dimana terjadi terjadi aksi saling serang antara partai liberal dengan ALP. krisis politik atau krisis konstitusional terjadi di Australia pada masa-masa akhir pemerintahan Gough Whitlam sebagai Perdana Menteri Australia, yaitu pada bulan Oktober-November 1975. Banyak pula pihak yang menganggap bahwa hal ini merupakan konspirasi yang dilakukan oleh Ratu Inggris, Gubernur Jenderal, dan juga Liberal yang tidak menginginkan Australia menjadi negara yang solider terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh Gough Whitlam.[8]
Disaat John Malcolm Fraser (1930-sekarang) dari golongan oposisi menolak untuk melancarkan daftar persediaan di dalam Senat sampai pemilihan di House of Representatives diadakan, Whitlam menolak pula hal ini dan akhirnya terjadi sebuah kebuntuan. Gubernur Jenderal saat itu, Sir John Kerr , sangat mengintervensi atau turut campur dalam permasalahan ini. Kerr mendengar bahwa Whitlam tidak bermaksud untuk menjalankan pemilihan umum / election lagi untuk House of Representatives. Maka dari itu, Kerr mengirimkan surat pemberhentian tugas kepada Whitlam pada tanggal 11 November 1975 dan Fraser diminta untuk mengambil alih posisi sebagai Perdana Menteri. Fraser sendiri menjabat sebagai Perdana Menteri Australia mulai 11 November 1975 hingga 11 Maret 1983.[9]
Publik Australia kaget dengan keputusan Gubernur Jenderal. Namun publik tidak menunjukkan ‘amarah’nya hingga hari pemungutan suara berlangsung. Kasus ini merupakan tamparan berat bagi Australia karena turut campurnya Inggris lewat Gubernur Jenderalnya terhadap masalah dalam negeri yang sedang dialami oleh Australia. Hal ini membuat Australia menjadi makin tidak berwibawa di mata dunia karena Australia bagaikan ‘anak kecil’ yang belum dewasa dan masih dirawat oleh ‘ibu’nya.[10] Akhir semenjak peristiwa pemecatan PM oleh Gibernur jendral tersebut australia semakian giat dalam memperoleh kemerdekaan seutuhnya dari inggris.


[1] http://hasheem.wordpress.com/
[2] Simboro, J. op. cit. hal. 163.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal 164
[5] http://www.deplu.go.id
[6] http://www.deplu.go.id
[7] Simboro, J. op. cit. hal. 165.
[8] http://rinusmuntu.wordpress.com/2009/12/23/gough-whitlam-dan-perjalanan-politiknya-di-australia-1945-1978/
[9] ibid
[10] ibid

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |