Perang Dunia II berakhir dengan kemenangan pihak sekutu yang terdiri
dari Inggris, Perncis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Kemenangan yang diraih
pihak sekutu itu tidak terlepas dari peran Amerika Serikat. Pasukan sekutu yang
mendapat bantuan tentara, perlengkapan, dan persenjataan dari Amerika Serikat
menganggap bahwa peran Amerika Serikat sangat menentukan dalam kemenangan yang
diraih oleh pihak sekutu. Di medan perang
Asia-Pasifik, pemboman terhadap Hiroshima (6
Agustus1945) dan Nagasaki
(9 Agustus 1945) jelas mempercepat menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu.
Sedang di medan
perang Eropa, pasukan Amerika Serikat bersama pasukan Inggris dan Perancis
berhasil mendesak pertahanan Jerman dan Italia serta memaksa kedua negara
tersebut menyerah kepada pihak sekutu. Pada pasca perang, peranan Amerika
Serikat sangat besar dalam memberikan bantuan kepada negara-negara Eropa Barat
untuk membangun kembali perekonomiannya.
Uni Soviet juga turut berperan terhadap kemenangan pasukan sekutu,
yaitu dengan melakukan pembebasan Eropa bagian timur dari tangan Jerman. Uni
Soviet juga mempergunakan kesempatan untuk meluaskan pengaruhnya, dengan cara
mensponsori terjadinya terjadinya perebutan kekuasaan di berbagai negara Eropa
Timur seperti Bulgaria, Albania, Hongaria, Rumania, Polandia, dan Cekoslowakia,
sehingga negara-negara tersebut masuk ke dalam pengaruh pemerintahan komunis
Uni Soviet.[1]
Australia adalah satu-satunya negara anggota Persemakmuran Inggris (the British Commonwealth) yang paling lama menggantungkan
diri kepada Inggris. Meskipun sebagaian besar negara-negara anggota
persemakmuran telah lama melepaskan pengaruh dari tuannya, Australia dalam
waktu yang lama menjadikan kebijakan politik luar negerinya di bawah
bayang-bayang Inggris. Bahkan sampai tahun 1970an lagu God Save the Queen
selalu dinyanyikan setiap kali mengawali pemutaran film di gedung-gedung
bioskop negeri Australia.
Pada saat dinyanyikan lagi ini tentu saja para penonton diharuskan untuk berdiri
tanda hormat kepada sang Ratu.
Pada periode ini hampir semua aspek kehidupan di Australia termasuk dalam bidang
politik, ekonomi, sosial dan budaya mengacu sepenuhnya kepada Inggris. Ketika
Perang Dunia I misalnya, Australia
berperang untuk Inggris. Baru kemudian setelah Amerika Serikat muncul sebagai
kekuatan baru pada Perang Dunia II (1941) mengalahkan Jepang, Australia
di bawah pemerintahan Perdana Menteri John Curtin menjadikan AS sebagai
pelindung barunya. Konsekuensinya Australia harus menunjukkan
pelayanannya ke AS. Keterlibatan Australia
dalam Perang di Korea dan Vietnam
adalah bukti kesetiaan Australia
kepada AS.
Pada tanggal 1 september
1951, pemerintah Australia yang saat itu posisi perdana menteri dipegang percy
spender menandatangani pakta bersama yang terkenal dengan nama ANZUS TREATY
yang terdiri atas Australia, New Zealang dan Amerika serikat, kesepakatan yang
ditandatangani oleh austrlaia tersebut tidak lepas dari peran amerika dalam
menjaga keamanan wilayah Australia sehingga, Australia perlu menjalin hubungan
yang jauh lebih inten dengan amerika terutama dalam hal pertahanan. Perjanjian
ini pula menunjukan bahwa Australia
berusaha lepas dari Inggris dalam hal keamanan.[2]
Sesudah perang dunia kedua kekuatan kekuatan baru yang muncul ,
membuat asutralia khawatir terutama keberadaan komunis yang dating dari daratan asia.
Untuk mencegah pennyebaran komunis kewilayah asia pasifik Australia mengambil inisiatif untuk mendirikan
organisasi pakta pertahanan antikomunis
di asia tenggara yang terkenal dengan
nama SEATO. Negara Negara yang etrgabung dalam SEATO diantaranya ; Australia,
Amerika Serikat, Inggris Perancis, New Zealand, Pakistan, Pillipina , Thailand,
Kamboja, Laos dan Vietnam.[3]
Sesudah tahun 1949 ausrtralia mulai mengambil bagian penting dalam
percaturan politik di sekitar samudra pasifik. Hubungan dengan Negara Negara
yang ada disekitar samudera pasifik terus ditingkatkan, selain meningkatkan
hubungan politik, Australia
juga berusaha masuk kedalam bidang ekonomi dan social budaya. Pada tahun 1950 Australia
merupakan salah satu Negara pemberi inisiatis utama dalam pembentukan Colombo Plan.[4]
Colombo Plan didirikan tahun 1951, pada awalnya bernama “Colombo
Plan for Cooperative Economic Development in South and Southeast
Asia”. Kini Colombo Plan, yang semula beranggotakan 7 negara
anggota Persemakmuran, telah berkembang menjadi suatu organisasi internasional
dengan 25 negara anggota terdiri dari negara berkembang dan negara maju yaitu,
Afghanistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Fiji, India, Indonesia, Iran,
Jepang, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Myanmar, Nepal,
Selandia Baru, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Sri Lanka,
Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam. Seiring dengan perkembangan tersebut,
nama Colombo Plan juga berubah menjadi “The Colombo Plan for Cooperative
Economic and Social Development in Asia and Pacific”
untuk mencerminkan komposisi geografis keanggotaan dan ruang lingkup
aktifitasnya yang semakin luas. Pada saat ini fokus kegiatan Colombo Plan
adalah pembangunan sumber daya manusia di kawasan Asia
dan Pasifik. Indonesia
menjadi anggota Colombo Plan tahun 1953.[5]
Tujuan utama Colombo Plan adalah mendukung pembangunan ekonomi dan
sosial negara anggota, memajukan kerjasama teknik serta membantu alih teknologi
antar negara anggota, memfasilitasi transfer dan berbagi pengalaman pembangunan
antar negara anggota sekawasan dengan penekanan pada konsep kerjasama
Selatan-Selatan. Struktur Organisasi Colombo Plan terdiri dari Consultative
Committee yang merupakan badan utama dan bertemu sekali dalam dua tahun,
Colombo Plan Council merupakan bandan pelaksana keputusan Consultative
Committee, dan Colombo Plan Secretariat. Biaya administrasi Sekretariat Colombo
Plan dan Dewan Colombo Plan ditanggung secara rata oleh semua negara anggota
melalui kontribusi tahunan. Sementara biaya pelatihan dan pendidikan didanai secara
sukarela oleh negara donor baik anggota maupun non-anggota Colombo Plan.
Sekretariat CP memiliki lima program yaitu:
Sekretariat CP memiliki lima program yaitu:
1.
Programme for Public
Administration (PPA)
Program ini bertujuan untuk pembangunan human capital sektor publik di negara anggota melalui program pelatihan dan Lokakarya.
Program ini bertujuan untuk pembangunan human capital sektor publik di negara anggota melalui program pelatihan dan Lokakarya.
2.
Programme for Private Sector
Development (PPSD)
Program ini difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi negara anggota melalui capacity building of small and medium enterprises yang meliputi pelatihan transfer of technology, business management, WTO Trade Policies, dan isu-isu perdagangan internasional.
Program ini difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi negara anggota melalui capacity building of small and medium enterprises yang meliputi pelatihan transfer of technology, business management, WTO Trade Policies, dan isu-isu perdagangan internasional.
3.
Drug Advisory Programme (DAP)
Dimulai sejak tahun 1973, program ini merupakan program pertama yang menangani drug abuse di kawasan Asia Pasifik. Program ini memberikan kontribusi signifikan kepada para negara anggota dengan peningkatan capacity building staf pemerintah dan organisasi masyarakat yang berhubungan dengan penanganan drug abuse.
Dimulai sejak tahun 1973, program ini merupakan program pertama yang menangani drug abuse di kawasan Asia Pasifik. Program ini memberikan kontribusi signifikan kepada para negara anggota dengan peningkatan capacity building staf pemerintah dan organisasi masyarakat yang berhubungan dengan penanganan drug abuse.
4.
Long-term Fellowship Programme
(LFP)
Program pendidikan jangka panjang baik untuk master degree atau non-degree untuk sektor pemerintah negara anggota.
Program pendidikan jangka panjang baik untuk master degree atau non-degree untuk sektor pemerintah negara anggota.
5.
Programme on Environment (ENV)
Program ini disetujui pembentukannya pada tahun 2005 dan pemerintah Thailand telah memberikan komitmen untuk memberikan dana awal kegiatan selama 3 tahun pertama (2005-2008). Program ini akan memberikan pelatihan jangka panjang dan pendek di bidang lingkungan.
Program ini disetujui pembentukannya pada tahun 2005 dan pemerintah Thailand telah memberikan komitmen untuk memberikan dana awal kegiatan selama 3 tahun pertama (2005-2008). Program ini akan memberikan pelatihan jangka panjang dan pendek di bidang lingkungan.
Indonesia telah menerima banyak bantuan pendidikan dan pelatihan
yang ditawarkan oleh CP. Berdasarkan data Sekretariat Colombo Plan, selama kurun
waktu 1995-2007, jumlah peserta Indonesia dalam berbagai program Colombo Plan
tercatat sekitar 1131 orang, yang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua
terbesar (setelah Afghanistan), yang menerima bantuan Colombo Plan.[6]
Dari hasil kerja sama dari organisasi Colombo
plan , dapat dilihat bahwa palan ini merupakan suatu kerja sama
internasional yang dapat dimangfaatkan
oleh Negara-negara asia selatan dan asia
tenggara untuk meningkatkan laju pembangunannya.[7]
Australia sendiri masih bersama sama dengan inggris dalam british
commontwealth of nations, dan masih mengakui raja/ratu inggris sebagai raja/ratunya juga , namun setelah
perang dunia kedua berakhir hubungan diantara keduanya mulai longgar. Inggris
tidak lagi menjadi patner dagang Australia,
hubungan dagang Australia
mulai menagrah pada Negara Negara di asia tenggara. krisis politik terjadi di Australia,
dimana terjadi terjadi aksi saling serang antara partai liberal dengan ALP. krisis politik atau krisis konstitusional
terjadi di Australia pada
masa-masa akhir pemerintahan Gough Whitlam sebagai Perdana Menteri Australia,
yaitu pada bulan Oktober-November 1975. Banyak pula pihak yang menganggap bahwa
hal ini merupakan konspirasi yang dilakukan oleh Ratu Inggris, Gubernur
Jenderal, dan juga Liberal yang tidak menginginkan Australia menjadi negara yang
solider terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh Gough Whitlam.[8]
Disaat John Malcolm Fraser (1930-sekarang) dari
golongan oposisi menolak untuk melancarkan daftar persediaan di dalam Senat sampai
pemilihan di House of Representatives diadakan, Whitlam menolak pula hal ini
dan akhirnya terjadi sebuah kebuntuan. Gubernur Jenderal saat itu, Sir John
Kerr , sangat mengintervensi atau turut campur dalam permasalahan ini. Kerr
mendengar bahwa Whitlam tidak bermaksud untuk menjalankan pemilihan umum /
election lagi untuk House of Representatives. Maka dari itu, Kerr mengirimkan surat pemberhentian tugas
kepada Whitlam pada tanggal 11 November 1975 dan Fraser diminta untuk mengambil
alih posisi sebagai Perdana Menteri. Fraser sendiri menjabat sebagai Perdana
Menteri Australia
mulai 11 November 1975 hingga 11 Maret 1983.[9]
Publik Australia kaget dengan keputusan
Gubernur Jenderal. Namun publik tidak menunjukkan ‘amarah’nya hingga hari
pemungutan suara berlangsung. Kasus ini merupakan tamparan berat bagi Australia karena turut campurnya Inggris lewat
Gubernur Jenderalnya terhadap masalah dalam negeri yang sedang dialami oleh Australia. Hal
ini membuat Australia menjadi makin tidak berwibawa di mata dunia karena
Australia bagaikan ‘anak kecil’ yang belum dewasa dan masih dirawat oleh
‘ibu’nya.[10]
Akhir semenjak peristiwa pemecatan PM oleh Gibernur jendral tersebut australia
semakian giat dalam memperoleh kemerdekaan seutuhnya dari inggris.
[1] http://hasheem.wordpress.com/
[2] Simboro, J. op. cit. hal. 163.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal 164
[5] http://www.deplu.go.id
[6] http://www.deplu.go.id
[7] Simboro, J. op. cit. hal. 165.
[8] http://rinusmuntu.wordpress.com/2009/12/23/gough-whitlam-dan-perjalanan-politiknya-di-australia-1945-1978/
[9] ibid
[10] ibid
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.