Sebagaimana diketahui Aceh merupakan wilayah yang dulu dikenal
sebagai Kerajaan Aceh dan wilayahnya termasyhur dengan Nangroe Aceh Negeri
Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh meliputi hampir seluruh Pulau Sumatra sampai ke
Sernenanjung Malaka/Malaysia.Kerajaan Aceh sejak dulu sudah dikenal di
mancanegara dengan keperkasaan armada dan pasukan militernya, sehingga
negara-negara asing mengaguminya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh adalah semasa
Sultan Iskardar Muda yang memegang tampuk pimpinan Kerajaan Aceh dari tahun
1607-1638. Di samping itu sebagaimana masyarakat yang berperadaban, Aceh rnempunyai
struktur atau lembaga kemasyarakatan tersendiri.
Kerajaan Aceh mempunyai pengaruh, baik di Selat Malaka maupun di
dunia Barat. Demikian juga Kerajaan Aceh pada masa kejayaannya mempunyai
peranan penting dalam percaturan politik dunia terutama di bidang perdagangan,
karena kerajaan tersebut terletak di wilayah Selat Malaka. Kerajaan Aceh juga
rnengikat perjanjian dan membina hubungan dengan negara-negara yang berdaulat
di dunia ini baik dari barat maupun dari timur. Di samping itu keperkasaan dan
kekuatan militer serta keberanian rakyatnya membuat para kolonialis sangat
segan terhadap Aceh. Oleh karena itu kedaulatan tidak akan diganggu oleh siapa
pun. Akan tetapi Belanda mencoba untuk mendudukinya, namun tidak sampai
menjajahnya ratusan tahun. Belanda hanya mengadakan ekspansi, akan tetapi tidak
aman menduduki Aceh karena setiap hari mendapat perlawanan baik dari penguasa
maupun dari masyakat kecil. Kemasyhuran Kerajaan Aceh selain mempunyai
peradaban yang tinggi juga mempunyai struktur pemerintahan serta keteraturan
sistern pemerintahan sehingga masyarakat dapat mengembangkan dirinya
sebagaimana masyarakat lainnya di dunia ini. Struktur pemerintahan Aceh atau
struktur masyarakat Aceh dapat membentuk suatu sistem masyarakat yang stabil
dan menjadi lembaga yang dapat menjaga atau sebagai pengendalian sosial dalam masyarakat.
[1]
Seperti disebutkan dalam Kanun Meukuta Alam AI-Asyi, bahwa Kerajaan
Aceh Darussalam tersusun dari Gampong (kampung/ Kelurahan), Mukim (federasi
gampong-gampong), Nanggroe (kecamatan), Sagou (federasi dan beberapa nanggroe
dan kerajaan/ negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini:
1.
Gampong, yang disebut juga
Meunasah, dipimpin oleh seorang Keusyik (kepala desa) dan seorang Imam Rawatib
dengan dibantu oleh sebuah staf yang bernama Tuha Peut. Pemerintahan Gampong
ini mendapatkan hak otonomi yang luas.
2.
Mukim, yaitu federasi dari
beberapa Gampong, paling kurang delapan Gampong. Mukim dipimpin oleh seorang
fmeum Mukim dan seorang Kadhi Mukim serta dibantu oleh beberapa orang waki.
Dalam tiap-tiap Mukiln didirikan sebuah Mesjid lum'at.
3.
Nanggroe, yang disebutjuga
daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim, empat Mukim, lima Mukim, tujuh
Mukim, delapan Mukim dan sembi Ian Mukim. Ia dipimpin oleh seorang Uleebalang
dan dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonom dalam
batas-batas tertentu.
4.
Sagou, yaitu federasi dari
beberapa Nanggroe, yang hanya ada di Aceh Rayeuk, banyaknya tiga Sagou,
sehingga disebut juga Aceh lhe Sagou, yaitu:
·
Sagou Teungoh Leeploh, yang
terdiri 25 Mukim, yang dipimpin seorang panglima Sagou, yang bergelar Kadhi
Malikul Alam Sri Setia Ulama, dan dibantu oleh seorang Kadhi Sagou
yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil
·
Sagou Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim, yang dipimpin seorang Panglima Sagou,
yang bergelar Sri Imam Muda OR dan dibantu seorang Kadhi Sagou yang
bergelar Kadhi Rabbul Jalil.
·
Sagou Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim, yang dipimpin seorang Panglima
Polem Sri Mud a Perkasa, dan dibantu seorang Kadhi Sagou yang bergelar
Kadhi Rabbul J alii
5.
Kerajaan, yang nama lengkapnya
Kerajaan Aceh Darussalam, dengan ibukota negara: Banda Aceh Darussalam, yang
kadang-kadang disebut Bandar Darussalam dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin
seorang Raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu oleh seorang
Kadhi Kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adil. [2]
Struktur Kerajaan Aceh Darussalam merupakan suatu struktur masyarakat
yang sangat sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur kerajaan atau sistem
lembaga masyarakat Aceh dapat memenuhi kebutuhan untuk mengendalikan perilaku
masyarakat. Kehadiran lembaga tersebut sebagai pengontrol dan pengendali
terhadap sosial keagamaan y'ang ada dalam masyarat Aceh. Dalam hal ini strata
sosial dalam masyarakat Aceh ada lima
yaitu Gampong, Mukim, Nanggroe, Sagou dan Kerajaan atau negara yang disebut
sekarang adalah Nangrou Aceh Darussalam.
Gampong dalam masyarakat Aceh, merupakan suatu sistem kemasyarakatan
yang dapat mengatur diri sendiri sekaligus gampong sebagai suatu kesatuan yang
mengorganisasikan masyarakat yang berdomisili di lingkungan administrasi atau
lingkungan hukum desa. Struktur kepemimpinan Gampong sampai saat ini masih
berlaku atau berfungsi sebagaimana sediakala.
Di samping itu antara atau beberapa gampong-gampong dipimpin oleh
seorang Mukim. Hasil dari federasi atau kesatuan gamponggampong tersebut maka
yang membawahi kesatuan gamponggampong tersebut dikepalai oleh seorang Mukim
atau imeum Mukim. Seorang Imeum Mukim dibantu oleh Kadhi Mllkim dan dibantu
oleh beberapa orang staf. Imeum Mukim pada Kerajaan Aceh Darussalam atau
sebelum kemerdekaan sangat berpengaruh dan berwibawa. Akan tetapi setelah Indonesia
merdeka pengaruh Mukim cenderung menurun, karena tidak diberi wewenang mengatur
wilayahnya lagi. Hurgronje, menyebutkan: Para
Imeum itu sesungguhnya adalah pembesar adat tanpa sifat keagamaan. Ada di antaranya yang
telah mencapai kedudukan mandiri sederajat dengan Uleebalang (Hurgonje, 1985:
96). Dalam struktur masyarakat Aceh Mukim merupakan suatu pemimpin yang dapat
menjaga dan mengayomi masyarakat, terutama tempat berkonsultasi serta temp at
bertanya bagai masyarakat setempat. [3]
Di samping itu pada pemerintahan Kerajaan
Aceh, Mukim merupakan bawahan atau di bawah kedudukan Uleebalang. Dengan
kata lain Kepala Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Uleebalang. Dalam
wilayah kekluasaan Mukim yang merupakan kesatuan dari gampong, didirikan
sebuah Mesjid Kemukiman. Mesjid Kemukiman dapat menampung ribuan jamaah. Karena
di Aceh umumnya dulu pengikut Imam Syafi' i, maka sembahyang Jumat dianggap sah
setelah mencapai paling sedikitnya 40 orang. Wewenang kepala Mukim dulu
sangat besar namun kini sudah menurun peranannya, walaupun demikian Kepala Mukim
sampai sekarang masih berpengaruh terutama dalam pengangkatan camat-camat
di kecamatan. Kebijakan camat saat ini apabila tidak disetujui oleh Kepala Mukim,
tidak dapat dijalankan. [4]
Sedangkan Nanggroe yang disebut juga
daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim atau lebih. Uleebalang
dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe. Dalam hal ini Nanggroe merupakan
daerah otonom dalam hal tertentu. Uleebalang adalah kepala wilayah
tertentu. Seorang Uleebalang berkedudukan sangat tinggi pada zaman
kerajaan. Para Uleebalang atau kepala
wilayah kadang-kadang disebut dengan Raja diangkat oleh Sultan Aceh. Oleh
karena itu para Uleebalang mempunyai hak otonom mengurusi daerah-daerah
dalam hal tertentu, asal tidak bertentangan dengan Kanun Al-Asyi atau
Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam hal ini di wilayah kekuasaan Uleebalang
tidak terdapat nama khas seperti nama Mukim, atau Gampong, akan
tetapi disebut dengan Nanggrou. [5]
Nanggroe, merupakan
suatu wilayah yang dipimpin oleh seorang Uleebalang. Nanggroe mempunyai
wilayah secara strukturdan hllkum. Artinya Nanggroe merupakan wilayah-wilayah
yang dikomandoi oleh Uleebalang Namun dernikian kebijakan-kebijakan yang
dicanangkan atall diputuskan oleh Uleebalang tidak boleh bertentangan
dengan hukum yang berlakll di Kerajaan Aceh. Di samping itu Nanggroe merupakan
wilayah perillasan dari Uleebalang yang telah ditentukan oleh Kerajaan
Aceh. Pada suatu wilayah rnisalnya, sebelumnya tidak mempunyai penduduk akan
tetapi setelah berkonsultasi dengan kerajaan maka para pendudllk beserta
seorang Uleebalang membuka suatu pemukiman baru, maka seorang Uleebalang
terse but dapat memerintah dengan keputusan Kerajaan Aceh. [6]
Uleebalang merupakan
pembantu sultan dalam mengurus kebijakan atau ketentuan-ketentuan yang telah
diputuskan oleh sultan bersama
hakim. Sedangkan kebijakan Uleebalang tidak dapat dibantah oleh Uleebalang
yang lainnya kecllali sultan. Menurut Hurgronje para Uleebalang selain
dibantu oleh Kadhi dan Imeum juga di bantu oleh Banta. Para
pembantu atau disebut dengan banta biasanya adik kandung dari Uleebalang,
ataupun kerabat yang dapat dipercaya. Di samping para pembantu ada yang
disebut dengan Kawom rakan, yaitu pembantu Uleebalang, biasanya
berdekatan dengan rumah Uleebalang. Dan para pembantu lain disebut
dengan panglima perang yang dipercaya oleh Uleebalang. [7]
Sedangkan Sagou yaitu federasi dari beberapa Nangroe. Wilayah
Sagou yang dipimpin oleh panglima Sagou hanya ada di Aceh
BesarPanglima Sagou dibantu oleh Kadhi Rabul Jalil. Wewenang panglima Sagou
hanya terbatas pad a kepentingan bersama an tara
beberapa Orang Uleebalang. Peranan panglima sagou tidaklah
otonom dibandingkan dengan Uleebalang, akan tetapi kebijakan dari
Panglima Sagou untuk kepentingan bersama dalam beberapa Mukim dan
wilayah Uleebalang. Sagou merupakan suatu wilayah yang terdiri dari
beberapa Nanggroe yang di dalamnya terdapat beberapa Uleebalang. Sagoul adalah
wilayah yang tidak otonom dibandingkan dengan Nanggroe. Demikian juga Sagou juga
tidak terdapat di seluruh Aceh. Namun demikian Sagou yang dipimpin oleh
Panglima Sagou mempunyai peranan dalam memberikan masukan terhadap para Uleebalang
yang memerintah di beberapa Nanggroe di wilayah Panglima Sagou. [8]
Terakhir adalah kerajaan, yaitu sistem
kenegaran yang mempunyai wilayah undang-undang serta batas-batas wilayah.
Kekuasasan Kerajaan Aceh mulai di ujung barat Pulau Sumatra
sampai ke bengkulu dan Semenanjung Malaka. Kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang
raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu oleh seorang Kadhi
kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adi!. Kerajaan Aceh merupakan kerajaan
yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, terutama pada abad ke-14 sampai abad
ke-18. Kerajaan Aceh adalah suatu kerajaan yang berdasarkan Undang-Undang Kanun
AI-Asyi, yang bersumberkan pada ajaran Islam atau suatu kerajaan yang berciri
khas Islam. Demikian juga pada Kerajaan Aceh, walaupun berbentuk kerajaan
kebijakan tidaklah berbentuk diktator. Buktinya pada Kerajaan Aceh selain
dipimpin oleh seorang Raja, juga ada beberapa Sulthanah seperti Ratu
Safiatuddin[9]
Terakhir adalah suatu sistem sosial dalam masyarakat atau dalam
organisasi masyarakat baik rumah tangga desa atau kecamatan setelah mempunyai
peraturan undang-undang, mempunyai pemimpin dan mempunyai rambu-rambu atau
batas-batasnya maka, untuk menjalankannya dibutuhkan media atau alat guna
sampainya tujuan dari organisasi tersebut. Dalam pepatah Aceh disimbolkan
dengan Pukat Meukadja. Pukat adalah (alat penangkap ikan tradisional)
sejenis nyaring yang digunakan untuk menangkap ikan di laut. Dengan kata lain
media atau alat untuk mencapai tujuan tersebut semestinya dirancang sedemikian
rupa sehingga pesan yang akan disampaikan dapat langsung diterima masyarakat.
Dalam hal ini pukat meukaja dapat juga disimbolkan dengan manajemen
dalam suatu organisasi. Artinya, dalam suatu organisasi, katakanlah di desa,
tentunya para pemimpin desa harus mempunyai sistem pelaksanaan dan pengontrolan
guna memimpin masyarakat tersebut. Manajemen dan pengorganisasian merupakan
suatu syarat yang mutlak penting sehingga sistem masyarakat berjalan
sebagaimana mestinya.[10]
Sebagaimana diketahui di dalam masyarakat
terdapat seperangkat lembaga sosial guna mengatur sistem masyarakat yang telah
dicanangkan oleh para pemimpin dan para ulama tempo dulu. Keberadaan lembaga
tersebut dapat membatu kelancaran roda pemerintahan, baik di tingkat desa,
pemukiman, nanggroe, Sagou sampai tingkat negara atau kerajaan.
Menurut Hasjmy dalam Kanun
AI-Asyi lembaga sosial atau lembaga kerajaan diistilahkan dengan Balai baik
lembaga eksekutif, yudikatif mauplln legislatif, baik pada tingkat wazirah. (Departemen)
maupun pada tingkat idarah Qawatan). Di antara lembaga-lembaga yang
termaktub dalam Kanuri Meukuta alam Al-Asyi yaitu sebagai berikut:
1.Balai Imam
Malikul Islam, yaitu kantor Sultan (semacam Bina Graha dalam Republik Indonesia).
2.Balai Kadli
Malikul Adil, kantor Kadli Mu'adham (kira-kira Mahkamah Agung dalam Republik Indonesia).
3.Balai Rama
Setia, kantor Wazir Rama Setia Katibul Muluk (kirakira Sekretariat Negara
dalam Republik Indonesia).
4.Balai Furdhah, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Wazir Tijarah
(kira-kira Departemen Perdagangan dalam Republik Indonesia).
5.Balai
Lakseumana, yang dipimpin Paduka Diraja Wazir AI Harb (kira-kira Departemen
Pertahanan dalam Republik Indonesia).
6.Balai Majlis Mahkamah, yang dipimpin Sri Raja Panglima Wazir Mizan
(kira-kira departemen kehakiman dalam Republik Indonesia).
7.Balai Baitul Mal, yang dipimpin Orangkaya Bendahara Raja Wazir
Derham (kira-kira Departemen Keuangan dalam Republik Indonesia).
8. Balai Mangkubumi, yang dipimpin Sri Maharaja Wazir Mangkubumi, yang
mengurus Hulubalang-Hulubalang (kira-kira Departemen Dalam Negeri dalam
Republik Indonesia).
8.Balai Badhul Muluk, yang dipimpin Paduka Diraja Wazir Badlul Mliluk,
yang mengurus perutusan dari luar negeri dan perutusan Aceh ke luar negeri
(kira-kira Departemen Luar Negeri dalam Republik Indonesia).
10.Balai Kun
Diraja, yang dipimpin Sri Maharaja Kun Diraja, yang
bertugas mengurus urusan-urusan Dalam (Kraton) dan merangkap menjadi
Syahbandar Besar Ibukota Negara Banda Aceh Darussalam.
11.Balai
Gurah, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Wazir Gurah, yang bertugas mengurusi
urusan-urusan hutan, tanaman dan hasil-hasil laut (kira-kira Departemen
Pertanian/Kehutanan dalam Repllblik Indonesia).
12.Maharaja
Garut, yang dipimpin oleh Keujrllen Maharaja Plirba Wazir Paduka raja, yang
mengurllsi urusan Istana Darud Dunya.[11]
Lembaga sosial di Aceh sebenarnya telah lengkap, sebagaimana negara
dan kerajaan-kerajaan lain di dunia. Akan tetapi istilah lembaga sosial dan
institusi sosial tersebut disesuaikan dengan ideologi dan agama masyarakat.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari istilah-istilah yang dipakai pada lembaga
yang ada di Aceh. Istilah lembaga-lembaga tersebut selain diberi nama dengan
sebutan Aceh juga diberi nama dengan istilah bahasa Arab, karena pengaruh Timur
Tengah atau dunia Arab sangat dominan dalam masyarakat Aceh. Realitas tersebut
sebelum Indonesia
merdeka atau pada mas a kejayaan Aceh, Kerajaan Aceh mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan dunia Islam. Di samping itu hampir semua masyarakat Aceh
yang pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu ke luar negeri ke Persia, Mesir, Irak dan India.[12]
[1] Usman, Rani. Sejarah peradapan aceh. 2003. Jakarta
: yayasan obor Indonesia.
Hal 43-44
[2] Rani, usman. Op.cit. hal 44-45
[3] Rani, usman. Op.cit. hal 47
[4] Ibid. hal 48
[7] Rani, Usman. Op. cit hal 49
[8].Ibid. hal 49-50
[9] Ibid. hal. 50
[10] Rani, Usman. Op. cit hal 58
[11] Rani, Usman. Op. cit hal
58-59
[12] Rani, Usman. Op. cit hal 59
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.