Saturday, November 24, 2012

Struktur atau Lembaga Pemerintahan Kerajaan Aceh (ferdi)




Sebagaimana diketahui Aceh merupakan wilayah yang dulu dikenal sebagai Kerajaan Aceh dan wilayahnya termasyhur dengan Nangroe Aceh Negeri Aceh. Wilayah kekuasaan Aceh meliputi hampir seluruh Pulau Sumatra sampai ke Sernenanjung Malaka/Malaysia.Kerajaan Aceh sejak dulu sudah dikenal di mancanegara dengan keperkasaan armada dan pasukan militernya, sehingga negara-negara asing mengaguminya. Puncak kejayaan Kerajaan Aceh adalah semasa Sul­tan Iskardar Muda yang memegang tampuk pimpinan Kerajaan Aceh dari tahun 1607-1638. Di samping itu sebagaimana masyarakat yang berperadaban, Aceh rnempunyai struktur atau lembaga kemasya­rakatan tersendiri.

Kerajaan Aceh mempunyai pengaruh, baik di Selat Malaka maupun di dunia Barat. Demikian juga Kerajaan Aceh pada masa kejayaannya mempunyai peranan penting dalam percaturan politik dunia terutama di bidang perdagangan, karena kerajaan tersebut terletak di wilayah Selat Malaka. Kerajaan Aceh juga rnengikat perjanjian dan membina hubungan dengan negara-negara yang berdaulat di dunia ini baik dari barat maupun dari timur. Di samping itu keperkasaan dan kekuatan militer serta keberanian rakyatnya membuat para kolonialis sangat segan terhadap Aceh. Oleh karena itu kedaulatan tidak akan diganggu oleh siapa pun. Akan tetapi Belanda mencoba untuk mendudukinya, namun tidak sampai menjajahnya ratusan tahun. Belanda hanya mengadakan ekspansi, akan tetapi tidak aman menduduki Aceh karena setiap hari mendapat perlawanan baik dari penguasa maupun dari masyakat kecil. Kemasyhuran Kerajaan Aceh selain mempunyai peradaban yang tinggi juga mempunyai struktur pemerintahan serta keteraturan sistern pemerintahan sehingga masyarakat dapat mengembangkan dirinya sebagaimana masyarakat lainnya di dunia ini. Struktur pemerintahan Aceh atau struktur masyarakat Aceh dapat membentuk suatu sistem masyarakat yang stabil dan menjadi lembaga yang dapat menjaga atau sebagai pengendalian sosial dalam masyarakat. [1]
Seperti disebutkan dalam Kanun Meukuta Alam AI-Asyi, bahwa Kerajaan Aceh Darussalam tersusun dari Gampong (kampung/ Kelurahan), Mukim (federasi gampong-gampong), Nanggroe (kecamatan), Sagou (federasi dan beberapa nanggroe dan kerajaan/ negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini:
1.      Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang Keusyik (kepala desa) dan seorang Imam Rawatib dengan dibantu oleh sebuah staf yang bernama Tuha Peut. Pemerintahan Gampong ini mendapatkan hak otonomi yang luas.
2.      Mukim, yaitu federasi dari beberapa Gampong, paling kurang delapan Gampong. Mukim dipimpin oleh seorang fmeum Mukim dan seorang Kadhi Mukim serta dibantu oleh beberapa orang waki. Dalam tiap-tiap Mukiln didirikan sebuah Mesjid lum'at.
3.      Nanggroe, yang disebutjuga daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim, empat Mukim, lima Mukim, tujuh Mukim, delapan Mukim dan sembi Ian Mukim. Ia dipimpin oleh seorang Uleebalang dan dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonom dalam batas-batas tertentu.
4.      Sagou, yaitu federasi dari beberapa Nanggroe, yang hanya ada di Aceh Rayeuk, banyaknya tiga Sagou, sehingga disebut juga Aceh lhe Sagou, yaitu:
·         Sagou Teungoh Leeploh, yang terdiri 25 Mukim, yang dipimpin seorang panglima Sagou, yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri Setia Ulama, dan dibantu oleh seorang Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil
·         Sagou Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim, yang dipimpin seorang Panglima Sagou, yang bergelar Sri Imam Muda OR dan dibantu seorang Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil.
·         Sagou Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim, yang dipimpin seorang Panglima Polem Sri Mud a Perkasa, dan dibantu seorang Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul J alii
5.      Kerajaan, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam, dengan ibukota negara: Banda Aceh Darussalam, yang kadang­-kadang disebut Bandar Darussalam dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin seorang Raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu oleh seorang Kadhi Kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adil. [2]

Struktur Kerajaan Aceh Darussalam merupakan suatu struktur masyarakat yang sangat sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh dapat memenuhi kebutuhan untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Kehadiran lembaga tersebut sebagai pengontrol dan pengendali terhadap sosial keagamaan y'ang ada dalam masyarat Aceh. Dalam hal ini strata sosial dalam masyarakat Aceh ada lima yaitu Gampong, Mukim, Nanggroe, Sagou dan Kerajaan atau negara yang disebut sekarang adalah Nangrou Aceh Darussalam.
Gampong dalam masyarakat Aceh, merupakan suatu sistem kemasyarakatan yang dapat mengatur diri sendiri sekaligus gampong sebagai suatu kesatuan yang mengorganisasikan masyarakat yang berdomisili di lingkungan administrasi atau lingkungan hukum desa. Struktur kepemimpinan Gampong sampai saat ini masih berlaku atau berfungsi sebagaimana sediakala.
Di samping itu antara atau beberapa gampong-gampong dipimpin oleh seorang Mukim. Hasil dari federasi atau kesatuan gampong­gampong tersebut maka yang membawahi kesatuan gampong­gampong tersebut dikepalai oleh seorang Mukim atau imeum Mukim. Seorang Imeum Mukim dibantu oleh Kadhi Mllkim dan dibantu oleh beberapa orang staf. Imeum Mukim pada Kerajaan Aceh Darussalam atau sebelum kemerdekaan sangat berpengaruh dan berwibawa. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka pengaruh Mukim cenderung menurun, karena tidak diberi wewenang mengatur wilayahnya lagi. Hurgronje, menyebutkan: Para Imeum itu sesungguhnya adalah pembesar adat tanpa sifat keagamaan. Ada di antaranya yang telah mencapai kedudukan mandiri sederajat dengan Uleebalang (Hurgonje, 1985: 96). Dalam struktur masyarakat Aceh Mukim merupakan suatu pemimpin yang dapat menjaga dan mengayomi masyarakat, terutama tempat berkonsultasi serta temp at bertanya bagai masyarakat setempat. [3]
Di samping itu pada pemerintahan Kerajaan Aceh, Mukim merupakan bawahan atau di bawah kedudukan Uleebalang. Dengan kata lain Kepala Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Uleebalang. Dalam wilayah kekluasaan Mukim yang merupakan kesatuan dari gampong, didirikan sebuah Mesjid Kemukiman. Mesjid Kemukiman dapat menampung ribuan jamaah. Karena di Aceh umumnya dulu pengikut Imam Syafi' i, maka sembahyang Jumat dianggap sah setelah mencapai paling sedikitnya 40 orang. Wewenang kepala Mukim dulu sangat besar namun kini sudah menurun peranannya, walaupun demikian Kepala Mukim sampai sekarang masih berpengaruh terutama dalam pengangkatan camat-camat di kecamatan. Kebijakan camat saat ini apabila tidak disetujui oleh Kepala Mukim, tidak dapat dijalankan. [4]
Sedangkan Nanggroe yang disebut juga daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim atau lebih. Uleebalang dibantu oleh seorang Kadhi Nanggroe. Dalam hal ini Nanggroe merupakan daerah otonom dalam hal tertentu. Uleebalang adalah kepala wilayah tertentu. Seorang Uleebalang berkedudukan sangat tinggi pada zaman kerajaan. Para Uleebalang atau kepala wilayah kadang-kadang disebut dengan Raja diangkat oleh Sultan Aceh. Oleh karena itu para Uleebalang mempunyai hak otonom mengurusi daerah-daerah dalam hal tertentu, asal tidak bertentangan dengan Kanun Al-Asyi atau Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam hal ini di wilayah kekuasaan Uleebalang tidak terdapat nama khas seperti nama Mukim, atau Gampong, akan tetapi disebut dengan Nanggrou. [5]
Nanggroe, merupakan suatu wilayah yang dipimpin oleh seorang Uleebalang. Nanggroe mempunyai wilayah secara strukturdan hllkum. Artinya Nanggroe merupakan wilayah-wilayah yang dikomandoi oleh Uleebalang Namun dernikian kebijakan-kebijakan yang dicanangkan atall diputuskan oleh Uleebalang tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlakll di Kerajaan Aceh. Di samping itu Nanggroe merupakan wilayah perillasan dari Uleebalang yang telah ditentukan oleh Kerajaan Aceh. Pada suatu wilayah rnisalnya, sebelumnya tidak mempunyai penduduk akan tetapi setelah berkonsultasi dengan kerajaan maka para pendudllk beserta seorang Uleebalang membuka suatu pemukiman baru, maka seorang Uleebalang terse but dapat memerintah dengan keputusan Kerajaan Aceh. [6]
Uleebalang merupakan pembantu sultan dalam mengurus kebijakan atau ketentuan-ketentuan yang telah diputuskan oleh sul­tan bersama hakim. Sedangkan kebijakan Uleebalang tidak dapat dibantah oleh Uleebalang yang lainnya kecllali sultan. Menurut Hurgronje para Uleebalang selain dibantu oleh Kadhi dan Imeum juga di bantu oleh Banta. Para pembantu atau disebut dengan banta biasanya adik kandung dari Uleebalang, ataupun kerabat yang dapat dipercaya. Di samping para pembantu ada yang disebut dengan Kawom rakan, yaitu pembantu Uleebalang, biasanya berdekatan dengan rumah Uleebalang. Dan para pembantu lain disebut dengan panglima perang yang dipercaya oleh Uleebalang. [7]
Sedangkan Sagou yaitu federasi dari beberapa Nangroe. Wilayah Sagou yang dipimpin oleh panglima Sagou hanya ada di Aceh BesarPanglima Sagou dibantu oleh Kadhi Rabul Jalil. Wewenang panglima Sagou hanya terbatas pad a kepentingan bersama an tara beberapa Or­ang Uleebalang. Peranan panglima sagou tidaklah otonom dibandingkan dengan Uleebalang, akan tetapi kebijakan dari Panglima Sagou untuk kepentingan bersama dalam beberapa Mukim dan wilayah Uleebalang. Sagou merupakan suatu wilayah yang terdiri dari beberapa Nanggroe yang di dalamnya terdapat beberapa Uleebalang. Sagoul adalah wilayah yang tidak otonom dibandingkan dengan Nanggroe. Demikian juga Sagou juga tidak terdapat di seluruh Aceh. Namun demikian Sagou yang dipimpin oleh Panglima Sagou mempunyai peranan dalam memberikan masukan terhadap para Uleebalang yang memerintah di beberapa Nanggroe di wilayah Panglima Sagou. [8]
Terakhir adalah kerajaan, yaitu sistem kenegaran yang mempunyai wilayah undang-undang serta batas-batas wilayah. Kekuasasan Kerajaan Aceh mulai di ujung barat Pulau Sumatra sampai ke bengkulu dan Semenanjung Malaka. Kerajaan Aceh dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu oleh seorang Kadhi kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adi!. Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, terutama pada abad ke-14 sampai abad ke-18. Kerajaan Aceh adalah suatu kerajaan yang berdasarkan Undang-Undang Kanun AI-Asyi, yang bersumberkan pada ajaran Islam atau suatu kerajaan yang berciri khas Islam. Demikian juga pada Kerajaan Aceh, walaupun berbentuk kerajaan kebijakan tidaklah berbentuk diktator. Buktinya pada Kerajaan Aceh selain dipimpin oleh seorang Raja, juga ada beberapa Sulthanah seperti Ratu Safiatuddin[9]
Terakhir adalah suatu sistem sosial dalam masyarakat atau dalam organisasi masyarakat baik rumah tangga desa atau kecamatan setelah mempunyai peraturan undang-undang, mempunyai pemimpin dan mempunyai rambu-rambu atau batas-batasnya maka, untuk menjalankannya dibutuhkan media atau alat guna sampainya tujuan dari organisasi tersebut. Dalam pepatah Aceh disimbolkan dengan Pukat Meukadja. Pukat adalah (alat penangkap ikan tradisional) sejenis nyaring yang digunakan untuk menangkap ikan di laut. Dengan kata lain media atau alat untuk mencapai tujuan tersebut semestinya dirancang sedemikian rupa sehingga pesan yang akan disampaikan dapat langsung diterima masyarakat. Dalam hal ini pukat meukaja dapat juga disimbolkan dengan manajemen dalam suatu organisasi. Artinya, dalam suatu organisasi, katakanlah di desa, tentunya para pemimpin desa harus mempunyai sistem pelaksanaan dan pengontrolan guna memimpin masyarakat tersebut. Manajemen dan pengorganisasian merupakan suatu syarat yang mutlak penting sehingga sistem masyarakat berjalan sebagaimana mestinya.[10]
Sebagaimana diketahui di dalam masyarakat terdapat seperangkat lembaga sosial guna mengatur sistem masyarakat yang telah dicanangkan oleh para pemimpin dan para ulama tempo dulu. Keberadaan lembaga tersebut dapat membatu kelancaran roda pemerintahan, baik di tingkat desa, pemukiman, nanggroe, Sagou sampai tingkat negara atau kerajaan.
Menurut Hasjmy dalam Kanun AI-Asyi lembaga sosial atau lembaga kerajaan diistilahkan dengan Balai baik lembaga eksekutif, yudikatif mauplln legislatif, baik pada tingkat wazirah. (Departemen) maupun pada tingkat idarah Qawatan). Di antara lembaga-lembaga yang termaktub dalam Kanuri Meukuta alam Al-Asyi yaitu sebagai berikut:
1.Balai Imam Malikul Islam, yaitu kantor Sultan (semacam Bina Graha dalam Republik Indonesia).
2.Balai Kadli Malikul Adil, kantor Kadli Mu'adham (kira-kira Mahkamah Agung dalam Republik Indonesia).
3.Balai Rama Setia, kantor Wazir Rama Setia Katibul Muluk (kira­kira Sekretariat Negara dalam Republik Indonesia).
4.Balai Furdhah, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Wazir Tijarah (kira-kira Departemen Perdagangan dalam Republik Indonesia).
5.Balai Lakseumana, yang dipimpin Paduka Diraja Wazir AI Harb (kira-kira Departemen Pertahanan dalam Republik Indonesia).
6.Balai Majlis Mahkamah, yang dipimpin Sri Raja Panglima Wazir Mizan (kira-kira departemen kehakiman dalam Republik Indo­nesia).
7.Balai Baitul Mal, yang dipimpin Orangkaya Bendahara Raja Wazir Derham (kira-kira Departemen Keuangan dalam Republik Indonesia).
8. Balai Mangkubumi, yang dipimpin Sri Maharaja Wazir Mangkubumi, yang mengurus Hulubalang-Hulubalang (kira-kira Departemen Dalam Negeri dalam Republik Indonesia).
8.Balai Badhul Muluk, yang dipimpin Paduka Diraja Wazir Badlul Mliluk, yang mengurus perutusan dari luar negeri dan perutusan Aceh ke luar negeri (kira-kira Departemen Luar Negeri dalam Republik Indonesia).
10.Balai Kun Diraja, yang dipimpin Sri Maharaja Kun Diraja, yang
bertugas mengurus urusan-urusan Dalam (Kraton) dan merangkap menjadi Syahbandar Besar Ibukota Negara Banda Aceh Darussalam.
11.Balai Gurah, yang dipimpin oleh Sri Maharaja Wazir Gurah, yang bertugas mengurusi urusan-urusan hutan, tanaman dan hasil-hasil laut (kira-kira Departemen Pertanian/Kehutanan dalam Repllblik Indonesia).
12.Maharaja Garut, yang dipimpin oleh Keujrllen Maharaja Plirba Wazir Paduka raja, yang mengurllsi urusan Istana Darud Dunya.[11]
Lembaga sosial di Aceh sebenarnya telah lengkap, sebagaimana negara dan kerajaan-kerajaan lain di dunia. Akan tetapi istilah lembaga sosial dan institusi sosial tersebut disesuaikan dengan ideologi dan agama masyarakat. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari istilah-istilah yang dipakai pada lembaga yang ada di Aceh. Istilah lembaga-lembaga tersebut selain diberi nama dengan sebutan Aceh juga diberi nama dengan istilah bahasa Arab, karena pengaruh Timur Tengah atau dunia Arab sangat dominan dalam masyarakat Aceh. Realitas tersebut sebelum Indonesia merdeka atau pada mas a kejayaan Aceh, Kerajaan Aceh mempunyai hubungan yang sangat erat dengan dunia Islam. Di samping itu hampir semua masyarakat Aceh yang pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu ke luar negeri ke Persia, Mesir, Irak dan India.[12]


[1] Usman, Rani. Sejarah peradapan aceh. 2003. Jakarta : yayasan obor Indonesia. Hal 43-44
[2] Rani, usman. Op.cit. hal 44-45
[3] Rani, usman. Op.cit. hal 47
[4] Ibid. hal 48
[5]
[6]
[7] Rani, Usman. Op. cit hal 49
[8].Ibid. hal 49-50
[9] Ibid. hal. 50
[10] Rani, Usman. Op. cit hal 58
[11]  Rani, Usman. Op. cit hal 58-59
[12] Rani, Usman. Op. cit hal 59

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |