Gerakan-gerakan totaliter terbentuk dari
kondisi-kondisi khusus massa yang teratomisasi dan menjadi individualistis.
Massa tumbuh dan berkembang dari kepingan-kepingan masyarakat yang telah
teratomisasi karena isolasi dan kurangnya relasi sosial yang normal. Mereka
berasal dari masyarakat dengan banyak kelas dari Negara-bangsa yang keretakannya
hanya dapat direkat oleh perasaan nasionalis.
Maka massa dalam ketidakberdayaannya menghadapi pengalaman baru ini cenderung kearah nasionalisme keras dalam mana para pemimpin massa menyerah kalah karena atas nama demagogi kendati hal itu bertentangan dengan naluri serta maksud-maksudnya. Mereka merekrut anggota-anggota-anggotanya dari massa yang kelihatannya acuh tak acuh, yang ditinggalkan oleh partai-partai lain karena dianggap terlalu apatis atau terlalu bodoh untuk diperhitungkan. Akibatnya ialah bahwa mayoritas anggotanya terdiri dari orang-orang yang sebelumnya belum pernah muncul di pentas politik atau yang tidak pernah disentuh dan “dimanja” oleh sistem kepartaian.
Maka massa dalam ketidakberdayaannya menghadapi pengalaman baru ini cenderung kearah nasionalisme keras dalam mana para pemimpin massa menyerah kalah karena atas nama demagogi kendati hal itu bertentangan dengan naluri serta maksud-maksudnya. Mereka merekrut anggota-anggota-anggotanya dari massa yang kelihatannya acuh tak acuh, yang ditinggalkan oleh partai-partai lain karena dianggap terlalu apatis atau terlalu bodoh untuk diperhitungkan. Akibatnya ialah bahwa mayoritas anggotanya terdiri dari orang-orang yang sebelumnya belum pernah muncul di pentas politik atau yang tidak pernah disentuh dan “dimanja” oleh sistem kepartaian.
Seperti, ketika NAZI dengan ideologi
antisemistis melakukan propaganda nasionalistik-nya bukan diarahkan kepada para
anggota yang memang yakin, namun diarahkan kepada para simpatisan.
“Nasionalisme” NAZI memiliki lebih dari hanya sebuah segi yang sama dengan
propaganda nasionalistis yang akhir-akhir ini dicanangkan di Uni Soviet, yang
juga hanya dipakai untuk mencekoki prasangka massa. Disini, kaum NAZI mengutuk
kepicikan nasionalisme, mengutuk provinsialisme dalam Negara kebangsaan dan
gerakan mereka yang berlingkup internasional. Dan puncaknya antisemistis
ditandai dengan rapuhnya sistem Negara kebangsaan Eropa.
Peristiwa terpenting yang terjadi di Eropa
sendiri pada periode imperialistik ini ialah emansipasi politik kaum borjuis,
yang hingga saat itu merupakan kelas pertama dalam sejarah yang berhasil meraih
keunggulan ekonomi tanpa punya minat untuk meraih kekuasaan politis. Kaum
Borjuis berkembang bersama Negara kebangsaan untuk memerintah dan mengatasi
masyarakat yang terbagi-bagi, dimana waktu itu kaum borjuis tidak memegang
keputusan politis, namun merupakan kelas penguasa. Ketika terjadi perkembangan
ekonomi kapitalis, Negara-kebangsaan tidak cocok lagi menjadi wadah, akhirnya
terjadi pertarungan kekuasaan antara kaum borjuis dan Negara. Lembaga-lembaga
nasional yang mencoba bertahan dengan aspirasi imperialistiknya dan usaha-usaha
kaum borjuis untuk menggunakan Negara dan aparatur kekerasannya demi
kepentingan ekonomi borjuis, senantiasa hanyalah setengah berhasil saja. Hal
ini berubah pada saat borjuis Jerman mempertaruhkan segalanya pada gerakan
Hitler dengan dukungan “massa” (mob). Kaum borjuis berhasil meluluhkan
Negara-kebangsaan, namun mereka kemudian mengganyang borjuasi dan semua kelas
serta institusi lain. Dan, prinsip dari Negara-kebangsaan—pertumbuhan tergeser
oleh ekspansi, prinsip penggerak era imperialistik.
Gerakan totaliter menghapus adanya
kepluralan manusia. Manusia dibentuk menjadi seragam. Refleksi menjadi hal yang
langka, apalagi dengan sikap kritis dan mempertanyakan kembali tindakan kita
atau hal apapun di sekitar kita. Segala tindakan terjadi atau dilakukan begitu
saja tanpa dipikirkan kembali. Segala tindakan menjadi rutin, tugas sehari-hari
yang harus dipenuhi dan dipatuhi. Segalanya dianggap “kebenaran” kosong yang
sudah menjadi biasa dan yang terjadi tindakan memasukan orang Yahudi dalam
kamar gas merupakan kerutinan yang benar. Dari situlah, Hannah Arendt
melahirkan konsep yang disebut banality of evil.
Dalam Negara Negara totaliter , propaganda
dan terror merupakan dua mata sisi uang
yang sama , namun hal ini hanya sebagian benar.(E, kohn bramsted : terror tanpa
propaganda akan banyak kehilangan efek psikologisnya , sedangkan propaganda
tanpa terror tidak mengandung pukulan
telak). Kapan pun totalitarisme memiliki control mutlak , maka propaganda dig
anti dengan indoktrinisasi dan penggunaan kekerasan bukan yang pertama
digunakan untuk menakuti orang (hal ini
dilakukan saat oposisi masih ada) namun lebih lebih untuk secara
terus menerus malakukan ajaran ideology dan mengumbar kebohongan.
Dunia luar yang menjadi sasaran propaganda
totaliter dapat diberlakukan secara berubah ubah, bahkan setelah merebut
kekuasaan, propaganda totaliter bisa saja memalingkan diri dari segmen
segmen penduduk sendiri yang
penggalangannya tidak ikuti indoktrinisasi yang cukup. Hubungan antara propaganda
dengan indoktrinisasi biasanya disatu pihak tergantung pada besarnya gerakan
dan dilain pihak pada tekanan dari luar,
makin kecil gerakan maka energi yang dikeluarkan untuk propaganda semakin
besar, semakin besar tekanan dari luar maka semakin aktif pula para dictator
totaliter dalam propaganda. Keharusan
propaganda ditentukan oleh dunia luar dan gerakan gerakan itu sendiri
sebenarnya tidak mengadakan propaganda ,
tetapi melakukan indoktrinisasi.
Propaganda
memang merupakan satu paket “ perang urat syaraf” tetapi terror lebih
dari itu. Terror tetap dilakukan oleh rezim totaliter meskipun sasaran psikologis telah tercapai. Propaganda
merupakan salah satu alat yang paling penting dari totalitarisme dengan
hubungan dengan dunia non totaliter ; sebaliknya terror justru justru merupakan
esensi bentuk pemerintahan, keberadaanya tergantung pada factor psikologis atau factor subjektif lainnya seperti hukum
dalam sebuah Negara yang diperintah
secara konstitusional tergantung dari jumlah orang yang melanggar.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.