Friday, November 23, 2012

Gerakan Totalitarisme ; Menghapus Kelas-kelas Masyarakat (FERDINAN)




       Gerakan-gerakan totaliter terbentuk dari kondisi-kondisi khusus massa yang teratomisasi dan menjadi individualistis. Massa tumbuh dan berkembang dari kepingan-kepingan masyarakat yang telah teratomisasi karena isolasi dan kurangnya relasi sosial yang normal. Mereka berasal dari masyarakat dengan banyak kelas dari Negara-bangsa yang keretakannya hanya dapat direkat oleh perasaan nasionalis.
Maka massa dalam ketidakberdayaannya menghadapi pengalaman baru ini cenderung kearah nasionalisme keras dalam mana para pemimpin massa menyerah kalah karena atas nama demagogi kendati hal itu bertentangan dengan naluri serta maksud-maksudnya.  Mereka merekrut anggota-anggota-anggotanya dari massa yang kelihatannya acuh tak acuh, yang ditinggalkan oleh partai-partai lain karena dianggap terlalu apatis atau terlalu bodoh untuk diperhitungkan. Akibatnya ialah bahwa mayoritas anggotanya terdiri dari orang-orang yang sebelumnya belum pernah muncul di pentas politik atau yang tidak pernah disentuh dan “dimanja” oleh sistem kepartaian.
       Seperti, ketika NAZI dengan ideologi antisemistis melakukan propaganda nasionalistik-nya bukan diarahkan kepada para anggota yang memang yakin, namun diarahkan kepada para simpatisan. “Nasionalisme” NAZI memiliki lebih dari hanya sebuah segi yang sama dengan propaganda nasionalistis yang akhir-akhir ini dicanangkan di Uni Soviet, yang juga hanya dipakai untuk mencekoki prasangka massa.  Disini, kaum NAZI mengutuk kepicikan nasionalisme, mengutuk provinsialisme dalam Negara kebangsaan dan gerakan mereka yang berlingkup internasional. Dan puncaknya antisemistis ditandai dengan rapuhnya sistem Negara kebangsaan Eropa.
      Peristiwa terpenting yang terjadi di Eropa sendiri pada periode imperialistik ini ialah emansipasi politik kaum borjuis, yang hingga saat itu merupakan kelas pertama dalam sejarah yang berhasil meraih keunggulan ekonomi tanpa punya minat untuk meraih kekuasaan politis. Kaum Borjuis berkembang bersama Negara kebangsaan untuk memerintah dan mengatasi masyarakat yang terbagi-bagi, dimana waktu itu kaum borjuis tidak memegang keputusan politis, namun merupakan kelas penguasa. Ketika terjadi perkembangan ekonomi kapitalis, Negara-kebangsaan tidak cocok lagi menjadi wadah, akhirnya terjadi pertarungan kekuasaan antara kaum borjuis dan Negara. Lembaga-lembaga nasional yang mencoba bertahan dengan aspirasi imperialistiknya dan usaha-usaha kaum borjuis untuk menggunakan Negara dan aparatur kekerasannya demi kepentingan ekonomi borjuis, senantiasa hanyalah setengah berhasil saja. Hal ini berubah pada saat borjuis Jerman mempertaruhkan segalanya pada gerakan Hitler dengan dukungan “massa” (mob). Kaum borjuis berhasil meluluhkan Negara-kebangsaan, namun mereka kemudian mengganyang borjuasi dan semua kelas serta institusi lain. Dan, prinsip dari Negara-kebangsaan—pertumbuhan tergeser oleh ekspansi, prinsip penggerak era imperialistik.
       Gerakan totaliter menghapus adanya kepluralan manusia. Manusia dibentuk menjadi seragam. Refleksi menjadi hal yang langka, apalagi dengan sikap kritis dan mempertanyakan kembali tindakan kita atau hal apapun di sekitar kita. Segala tindakan terjadi atau dilakukan begitu saja tanpa dipikirkan kembali. Segala tindakan menjadi rutin, tugas sehari-hari yang harus dipenuhi dan dipatuhi. Segalanya dianggap “kebenaran” kosong yang sudah menjadi biasa dan yang terjadi tindakan memasukan orang Yahudi dalam kamar gas merupakan kerutinan yang benar. Dari situlah, Hannah Arendt melahirkan konsep yang disebut banality of evil.
       Dalam Negara Negara totaliter , propaganda dan terror  merupakan dua mata sisi uang yang sama , namun hal ini hanya sebagian benar.(E, kohn bramsted : terror tanpa propaganda akan banyak kehilangan efek psikologisnya , sedangkan propaganda tanpa terror  tidak mengandung pukulan telak). Kapan pun totalitarisme memiliki control mutlak , maka propaganda dig anti dengan indoktrinisasi dan penggunaan kekerasan bukan yang pertama digunakan untuk menakuti  orang (hal ini dilakukan saat oposisi masih ada) namun lebih lebih untuk  secara  terus menerus malakukan ajaran ideology dan mengumbar kebohongan.
       Dunia luar yang menjadi sasaran propaganda totaliter dapat diberlakukan secara berubah ubah, bahkan setelah merebut kekuasaan, propaganda totaliter bisa saja memalingkan diri dari segmen segmen  penduduk sendiri yang penggalangannya tidak ikuti indoktrinisasi yang cukup. Hubungan antara propaganda dengan indoktrinisasi biasanya disatu pihak tergantung pada besarnya gerakan dan dilain pihak pada  tekanan dari luar, makin kecil gerakan maka energi yang dikeluarkan untuk propaganda semakin besar, semakin besar tekanan dari luar maka semakin aktif pula para dictator totaliter dalam propaganda.  Keharusan propaganda ditentukan oleh dunia luar dan gerakan gerakan itu sendiri sebenarnya  tidak mengadakan propaganda , tetapi melakukan indoktrinisasi.
Propaganda  memang merupakan satu paket “ perang urat syaraf” tetapi terror lebih dari itu. Terror tetap dilakukan oleh rezim totaliter meskipun  sasaran psikologis telah tercapai. Propaganda merupakan salah satu alat yang paling penting dari totalitarisme dengan hubungan dengan dunia non totaliter ; sebaliknya terror justru justru merupakan esensi bentuk pemerintahan, keberadaanya tergantung pada factor psikologis  atau factor subjektif lainnya seperti hukum dalam sebuah Negara  yang diperintah secara konstitusional tergantung dari jumlah orang yang melanggar.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |