Wednesday, November 14, 2012

Kehidupan Etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde lama dan orde baru





 Kehidupan  Etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde lama dan orde baru
(Bashofi)
Pasca kemerdekaan friksi antara Etnis Tionghoa dengan pribumi kembali memuncak ketika pemerintahan presiden Soekarno (yang didukung oleh PKI) dalam kebijakan luar negerinya berporos ke Peking yang tentunya menguntungkan mereka dan ini adalah sikap yang wajar mengingat Tiongkok adalah tanah leluhur mereka, kondisi ini pada akhirnya mambawa kerugian bagi Etnis Tionghoa. Ketika peristiwa yang menjadi puncak atau anti klimak dari hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi, yaitu meletusnya peristiwa G 30. S/PKI yang dilanjutkan dengan turunnya Presiden Soekarno sejak itu orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia diisolasikan dari kegiatan politik (Tan 1981:22).
Pemerintah Soekarno sebelum tahun 1950 membuat kebijakan positif buat orang Tionghoa mengenai status kewarganegaraan mereka, yaitu dengan jus soli atau “sistem Pasif” menyatakan bahwa warga negara Indonesia adalah orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga secara otomatis masyarakat Tionghoa di indonesia menjadi warga negara Indonesi,a walaupun mereka tetap pasif dalam artian tidak melakukan apapun untuk mereaksi adanya undang-undang tersebut (Vinia, 2005 :14)
Sedang menurut suryadinata alasan mengapa Etnis Tinghoa lebih memilih menjadi WNA. Pertama, sebagai Warga Negara Asing yang dalam hal ini lebih mengarah kepada Warga Negara RRC maka secara hukum mereka akan selalu dijaga dan dilindungi oleh pemerintah RRC walaupun sudah berada di luar wilayah negaranya. Kedua, dipandang dari sudut ekonomi mereka akan lebih mudah menjalin hubungan dagang dengan penduduk Etnis Tionghoa khususnya bagi yang sering bepergian ke luar negeri. (Vinia, 2005:3-4)
Pada tahun 1945 penguasa mulai mengganti kebijakan kewarganegaraan yang lebih mengikat dengan menerapkan azas jus soli dua generasi(pengganti jus soli sebelumnya di tahun 1950) dimana system ini mensyarakat adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia. Dimana dalam sistem ini nantinya warga tionghoa keturunan Indonesia akan kehilangan kewarganegaraan jika tidak bisa menunjukan atau memenuhi salah satu hal berikut :
1.      Memberikan bukti bahwa orang tua mereka telah tinggal diindonesia selama 10 tahun
2.      Menyatakan secara tidak resmi menolak kewarganegaraan china.(Suryadinata,1984:117-118)
Selain itu terdapat beberapa perauturan tambahan yang dicantumkan dalan undang undang kwarganegaraan pada tahun 1955 dan terus di revisi 1958 :
1.      Mereka harus menaati peraturan undang-undang di Indonesia agar menjadi warga negara Indonesia.
2.      orang Tionghoa kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiam dan lahir di Indonesia boleh mengajukan diri untuk menjadi warga negara Indonesia apabila telah berumur 18 tahun
3.      seseorang yang berumur lebih dari 18 tahun orang tuanya tidak lahir di Indonesia orang tersebut harus mengajukan permohonan naturalisasi (Vinia, 2005:3-4)
Soekarno yang melihat kelompok bumiputera yang semakin tersisih dalam bidang ekonomi di karena dikuasai oleh etnis tionghoa membuat keputusan PP No. 10 tahun 1959 yang berisi larangan terhadap Etnis Tionghoa untuk melakukan perdagangan didaerah pedesaan, hal ini dilakukan dengan maksud agar para pedagang dan petani di desa dapat berkembang tanpa ada cukong yang akan membeli hasil pertanian mereka.
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin). ( kakarisah, 2010: - )
Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,
·         Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.
·          Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
·         Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
·         Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.
·         Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
·         Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia ( kakarisah, 2010: - )

SUMBER :



Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |