Kehidupan Etnis Tionghoa di Indonesia pada masa orde lama dan orde baru
(Bashofi)
Pasca
kemerdekaan friksi antara Etnis Tionghoa dengan pribumi kembali memuncak ketika
pemerintahan presiden Soekarno (yang didukung oleh PKI) dalam kebijakan luar
negerinya berporos ke Peking yang tentunya menguntungkan mereka dan ini adalah
sikap yang wajar mengingat Tiongkok adalah tanah leluhur mereka, kondisi ini
pada akhirnya mambawa kerugian bagi Etnis Tionghoa. Ketika peristiwa yang
menjadi puncak atau anti klimak dari hubungan antara orang-orang Tionghoa
dengan pribumi, yaitu meletusnya peristiwa G 30. S/PKI yang dilanjutkan dengan
turunnya Presiden Soekarno sejak itu orang-orang Tionghoa yang berada di
Indonesia diisolasikan dari kegiatan politik (Tan 1981:22).
Pemerintah
Soekarno sebelum tahun 1950 membuat kebijakan positif buat orang Tionghoa
mengenai status kewarganegaraan mereka, yaitu dengan jus soli atau “sistem Pasif” menyatakan bahwa warga negara
Indonesia adalah orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia. Sehingga
secara otomatis masyarakat Tionghoa di indonesia menjadi warga negara Indonesi,a
walaupun mereka tetap pasif dalam artian tidak melakukan apapun untuk mereaksi
adanya undang-undang tersebut (Vinia, 2005 :14)
Sedang
menurut suryadinata alasan mengapa Etnis Tinghoa lebih memilih menjadi WNA. Pertama,
sebagai Warga Negara Asing yang dalam hal ini lebih mengarah kepada Warga
Negara RRC maka secara hukum mereka akan selalu dijaga dan dilindungi oleh
pemerintah RRC walaupun sudah berada di luar wilayah negaranya. Kedua,
dipandang dari sudut ekonomi mereka akan lebih mudah menjalin hubungan dagang
dengan penduduk Etnis Tionghoa khususnya bagi yang sering bepergian ke luar
negeri. (Vinia, 2005:3-4)
Pada
tahun 1945 penguasa mulai mengganti kebijakan kewarganegaraan yang lebih
mengikat dengan menerapkan azas jus soli
dua generasi(pengganti jus soli
sebelumnya di tahun 1950) dimana system ini mensyarakat adanya pernyataan
penerimaan kewarganegaraan Indonesia. Dimana dalam sistem ini nantinya warga
tionghoa keturunan Indonesia akan kehilangan kewarganegaraan jika tidak bisa
menunjukan atau memenuhi salah satu hal berikut :
1. Memberikan
bukti bahwa orang tua mereka telah tinggal diindonesia selama 10 tahun
2. Menyatakan
secara tidak resmi menolak kewarganegaraan china.(Suryadinata,1984:117-118)
Selain
itu terdapat beberapa perauturan tambahan yang dicantumkan dalan undang undang
kwarganegaraan pada tahun 1955 dan terus di revisi 1958 :
1. Mereka
harus menaati peraturan undang-undang di Indonesia agar menjadi warga negara
Indonesia.
2. orang
Tionghoa kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiam dan lahir di Indonesia
boleh mengajukan diri untuk menjadi warga negara Indonesia apabila telah
berumur 18 tahun
3. seseorang
yang berumur lebih dari 18 tahun orang tuanya tidak lahir di Indonesia orang
tersebut harus mengajukan permohonan naturalisasi (Vinia, 2005:3-4)
Soekarno
yang melihat kelompok bumiputera yang semakin tersisih dalam bidang ekonomi di
karena dikuasai oleh etnis tionghoa membuat keputusan PP
No. 10 tahun 1959 yang berisi larangan terhadap Etnis Tionghoa untuk melakukan perdagangan
didaerah pedesaan,
hal ini dilakukan dengan maksud agar para pedagang dan petani di desa dapat
berkembang tanpa ada cukong yang akan membeli hasil pertanian mereka.
Pada tahun 1965
terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian
orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai
Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di
Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang
segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam
Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat
keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah
leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.
Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat
keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping
Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
( kakarisah, 2010: - )
Ada beberapa
peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,
·
Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996
tentang masalah ganti nama.
·
Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya
dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di
lingkungan Bakin.
·
Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.
SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup
pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah
terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI
keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
·
Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967
tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah
nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak
daripada murid-murid WNA Cina.
·
Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968
tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
·
Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika
No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/
iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang
berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah
Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia
harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara
nasional. Bahkan pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah
atau nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali
dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari
kebijakan orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak
dapat menikmati kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka,
perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari
komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia ( kakarisah, 2010: - )SUMBER :
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.