Wednesday, November 14, 2012

Perkembangan Pemukiman Etnis Tionghoa di Indonesia




Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.
Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga sering disebut sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja. Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.
Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik.
Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Secara lebih jelas perkembangan pemukiman china di Indonesia dijelaskan oleh copel; pemukiman kecil orang china sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang eropa, terutama disepanjang Bandar perdagangan di sepanjang pantai utara pulau jawa. Ketika belanda menanapkan kedudukannya diindonesia, penduduk china bertambah banyak dan tersebar luas,  penduduk china bertambah seiring dengan meningkatnya kegiatan Belanda untuk mengeksploitasi  sumber sumber kekayaan Indonesia.(Wibowo, 2000:194-195).
Klasifikasi dari gambaran umum pemukiman china di Indonesia dijelaskan oleh widodo pada masa pra colonial pemukiman china terbagai atas tiga segmen daerah hunian yaitu, 1) kelas pedagang, 2) kelompok fungsional,3) kelompok masyarakat biasa, kelompok pertama dan kudua biasanya menempati daerah perkotaan, yang paling mudah didatangi dan paling menguntungkan terutama dengan jalur transportasi utama.(wibowo, 2000:197)
Klenteng selalu ada dalam pemukiman china  dan biasanya terdapat pada  daerah unian masyarakat china  di luar kedua kelas itu, tetap dalam satu kompleks pemukiman, dan letaknya persilangan diantara tiga segmen tersebut. Klenteng menjadi  elemen penting da utama dalam pemukiman china karena fungsinya mengikat dan menyatukan ketiga elemen tersebut. Sedangkan elemen penting lainya adalah  pasar dan pelabuhan. Pelabuhan utama menjadi penghubung antara wilayah  itu dengan daerah luar, sedangkan pasar menjadi titik temu berbagai kelompok social, khususnya antara komunitas china dengan penduduk setempat, morfologi pemukiman ini kemudian berkembang sejak masa kolonial belanda, terutama ketika ditetapkan sitem tiga kelas masyarakat, yang berimbas pada terbentuknya pola pemukiman berdasarkan pembagian tersebut. .(wibowo, 2000:197-198)
G. William Skinner dalam artikelnya “The Chinese Minority” (1963) memberikan gambaran serta analisa sosial-historis mengenai kedatangan, perkembangan pemukiman dan peranan orang-orang Tionghoa di Indonesia sampai tahun 60-an (Tan 1981:1-29) Gambaran dan analisa Skinner tersebut mengenai asal orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara beserta ketrampilan mereka.
Skinner membagi daerah asal orang Tionghoa itu seperti orang Hokkian yang berasal dari provinsi Fukien, orang Teociu berasal dari sebelah selatan asal orang Hokkian, orang Hakka dari pedalaman Kwangtung, orang Kanton berasal dari sebelah barat orang Hakka dan selatan Tiongkok (Tan 1981:6-8)
Orang Hokkian memiliki kemampuan berdagang dan menyebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Pantai Barat Sumatera dan Indonesia Timur. Orang Teociu menyebar di luar Jawa, seperti Pantai Timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat (Pontianak). Mereka biasanya bekerja di perkebunan. Lalu orang Hakka yang menyebar di Kalimantan Barat, bekerja di pertambangan emas. Sejak akhir abad ke-19 mereka datang ke Jawa Barat karena tertarik pada pertumbuhan kota Batavia dan Priangan. Sementara itu orang Kanton menyebar di Sumatera. Misalnya bekerja di pertambangan di Bangka, Sumatera Tengah (Sekarang provinsi Riau, Jambi dan Sumbar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Namun, ada pula yang menyebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlah mereka jauh lebih kecil daripada kelompok orang Tionghoa lainnya (Tan 1981:6-8)
Hal yang menarik adalah meskipun secara jumlah jauh lebih kecil, orang Kanton datang dengan modal besar serta ketrampilan untuk bertukang dan berusaha dalam industri. Dengan demikian orang Kanton menempatkan dirinya di kota-kota di Indonesia sebagai tukang yang mahir, pekerja mesin, pemilik toko besi atau industri kecil. Mereka juga bekerja sebagai pengurus restoran atau hotel. Modal dan ketrampilan mereka ini karena mereka memanfaatkan hubungan yang erat antara daerah asal mereka dengan orang-orang Eropa, baik di Kanton maupun Hongkong (Tan 1981:8)



Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |