Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara
bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan
bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan
dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan
perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan
sebaliknya.
Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa
kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang
daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai
perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka
didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam kelompok tersebut
adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka bermukim
menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.
Gelombang
kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang.
Kedatangan mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga sering
disebut sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun
utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan
ditolaknya utusan tersebut oleh Raja. Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan
ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan
mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut,
dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam (sekarang
Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat disuatu tempat yang
Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian
mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai
masa sekarang.
Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta
munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka
keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah
Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada
laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho.
Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan
tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan
wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel,
Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan
Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi
wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem.
Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain,
yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut
Tuban dan Gresik.
Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan
tentang kedatangan etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina .
Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing
yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia
Tenggara dan anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para
agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien
melaporkan suatu kerajaan di Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke
India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk
belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama
Jñânabhadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut
suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang
Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga
mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Secara
lebih jelas perkembangan pemukiman china di Indonesia dijelaskan oleh copel;
pemukiman kecil orang china sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan
orang eropa, terutama disepanjang Bandar perdagangan di sepanjang pantai utara
pulau jawa. Ketika belanda menanapkan kedudukannya diindonesia, penduduk china
bertambah banyak dan tersebar luas,
penduduk china bertambah seiring dengan meningkatnya kegiatan Belanda
untuk mengeksploitasi sumber sumber
kekayaan Indonesia.(Wibowo, 2000:194-195).
Klasifikasi
dari gambaran umum pemukiman china di Indonesia dijelaskan oleh widodo pada
masa pra colonial pemukiman china terbagai atas tiga segmen daerah hunian
yaitu, 1) kelas pedagang, 2) kelompok fungsional,3) kelompok masyarakat biasa,
kelompok pertama dan kudua biasanya menempati daerah perkotaan, yang paling
mudah didatangi dan paling menguntungkan terutama dengan jalur transportasi
utama.(wibowo, 2000:197)
Klenteng
selalu ada dalam pemukiman china dan
biasanya terdapat pada daerah unian
masyarakat china di luar kedua kelas
itu, tetap dalam satu kompleks pemukiman, dan letaknya persilangan diantara
tiga segmen tersebut. Klenteng menjadi
elemen penting da utama dalam pemukiman china karena fungsinya mengikat
dan menyatukan ketiga elemen tersebut. Sedangkan elemen penting lainya
adalah pasar dan pelabuhan. Pelabuhan
utama menjadi penghubung antara wilayah
itu dengan daerah luar, sedangkan pasar menjadi titik temu berbagai kelompok
social, khususnya antara komunitas china dengan penduduk setempat, morfologi
pemukiman ini kemudian berkembang sejak masa kolonial belanda, terutama ketika
ditetapkan sitem tiga kelas masyarakat, yang berimbas pada terbentuknya pola
pemukiman berdasarkan pembagian tersebut. .(wibowo, 2000:197-198)
G.
William Skinner dalam artikelnya “The Chinese Minority” (1963) memberikan
gambaran serta analisa sosial-historis mengenai kedatangan, perkembangan
pemukiman dan peranan orang-orang Tionghoa di Indonesia sampai tahun 60-an (Tan
1981:1-29) Gambaran dan analisa Skinner tersebut mengenai asal orang-orang
Tionghoa yang datang ke Nusantara beserta ketrampilan mereka.
Skinner
membagi daerah asal orang Tionghoa itu seperti orang Hokkian yang berasal dari
provinsi Fukien, orang Teociu berasal dari sebelah selatan asal orang Hokkian,
orang Hakka dari pedalaman Kwangtung, orang Kanton berasal dari sebelah barat
orang Hakka dan selatan Tiongkok (Tan 1981:6-8)
Orang
Hokkian memiliki kemampuan berdagang dan menyebar di Jawa Timur, Jawa Tengah,
Pantai Barat Sumatera dan Indonesia Timur. Orang Teociu menyebar di luar Jawa,
seperti Pantai Timur Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat (Pontianak).
Mereka biasanya bekerja di perkebunan. Lalu orang Hakka yang menyebar di
Kalimantan Barat, bekerja di pertambangan emas. Sejak akhir abad ke-19 mereka datang
ke Jawa Barat karena tertarik pada pertumbuhan kota Batavia dan Priangan.
Sementara itu orang Kanton menyebar di Sumatera. Misalnya bekerja di
pertambangan di Bangka, Sumatera Tengah (Sekarang provinsi Riau, Jambi dan
Sumbar), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Namun, ada pula yang menyebar di
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlah mereka jauh lebih kecil daripada kelompok
orang Tionghoa lainnya (Tan 1981:6-8)
Hal
yang menarik adalah meskipun secara jumlah jauh lebih kecil, orang Kanton
datang dengan modal besar serta ketrampilan untuk bertukang dan berusaha dalam
industri. Dengan demikian orang Kanton menempatkan dirinya di kota-kota di
Indonesia sebagai tukang yang mahir, pekerja mesin, pemilik toko besi atau
industri kecil. Mereka juga bekerja sebagai pengurus restoran atau hotel. Modal
dan ketrampilan mereka ini karena mereka memanfaatkan hubungan yang erat antara
daerah asal mereka dengan orang-orang Eropa, baik di Kanton maupun Hongkong
(Tan 1981:8)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.