Sebelum
menjelaskan mengenai masyarakat keturunan suku Madura, terlebih dahulu
dijelaskan mengenai pengertian dari masyarakat itu sendiri. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah “masyarakat” diartikan sebagai sekumpulan orang yang
mempunyai kesamaan tertentu dan hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah
dengan ikatan aturan tertentu. Ada beberapa pendapat yang mendefinisikan
istilah masyarakat, antara lain:
a.
Menurut
Selo Sumardjan (1968) (dalam Soekanto, S. 2004:24), masyarakat adalah
orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b.
Menurut
Ralph Linton (1936) (dalam Soekanto, S. 2004:24), masyarakat merupakan suatu
bentuk kelompok sosial yang telah hidup dan bekerja bersama dalam waktu yang
lama, sehingga terbentuk suatu kesatuan sosial yang memiliki aturan-aturan dan
batasan jelas
c.
Menurut Maclver dan
Page (1961) (dalam Soekanto, S.
2004:24), masyarakat adalah suatu sistem dari
kebiasaan-tata cara dan wewenang-kerjasama antara berbagai kelompok dan
penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia, yang secara
keseluruhan selalu mengalami perubahan.
d.
Menurut Wisadirana
(2004:23-24), masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan, atau disebut juga sekelompok orang yang mempunyai
kebudayaan yang sama atau mempunyai sebuah kebudayaan bersama yang dapat
dibedakan dari yang dipunyai oleh kelompok lain dan tinggal di satu daerah
wilayah tertentu, mempunyai perasaan untuk bersatu diantara anggota-anggota
masyarakat tersebut.
Dari
pengertian-pengertian yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekumpulan orang yang hidup bersama di suatu wilayah tertentu dan
memiliki kebudayaan yang sama, serta pranata sosial yang sudah disepakati
Dari
beberapa pengertian tentang masyarakat tersebut, dapat dikatakan ahwa
masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
a.
Manusia yang hidup
bersama. Hidup bersama disini menjelaskan terdiri dari dua orang atau lebih.
b.
Bersama untuk waktu
yang cukup lama sehingga menimbulkan generasi baru. Selain itu, timbul sistem
komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam
kelompok tersebut.
c.
Mereka sadar bahwa mereka
merupakan suatu kesatuan yang mempunyai ikatan-ikatan meliputi pranata, status,
dan peranan sosial.
d.
Mereka merupakan suatu
sistem hidup bersama yang kemudian menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap
anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. (Soekanto S.
2004:24-25)
Menurut
kaum fungsionalis, suatu masyarakat dapat dilihat melalui seluruh kegiatan
lembaga yang mendukung kegiatan dari masyarakat itu sendiri, terutama
lembaga-lembaga utama, seperti keluarga (sistem kekerabatan), agama, ekonomi,
negara, pendidikan (alih budaya) dan lembaga yang lain. Disamping itu,
masyarakat juga bisa dilihat melalui sektor jasa atau sektor produksi beserta
seluruh unsur pendukung, seperti sistem komunikasi, sistem informasi, sistem
transportasi, dan sistem yang lain. Sesuai dengan kerangka pikir Parsonian, sistem
sosial harus dilihat melalui skala sistem, diferensiasi sosial, dan model serta
derajat integrasi sistem. perkembangan sistem sosial sendiri perlu dibedakan
antara sistem sosial masyarakat yang homogen dengan sistem sosial masyarakat
yang heterogen. Masyarakat homogen memiliki kesadaran tentang ikatan bersama
secara mekanik, sedangkan masyarakat heterogen mempraktekkan ikatan kebersamaan
secara organik, yaitu setiap komponen masyarkat menjalankan fungsi yang
berbeda, tapi masing-masing komponen bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama
(PaEni, M.2009:3)
Kontak budaya antar kelompok memperlihatkan
perbedaan dari masing-masing kelompok, dari sini kemudian muncul istilah
kelompok-kelompok etnis. Dari kontak budaya antar kelompok etnik tersebut kemudian
melahirkan satu bangsa, yang kemudian hampir seluruh anggota masyarakat dari
berbagai kelompok etnis harus bisa menggunakan satu bahasa “lingua franca”
untuk berkomunikasi dengan anggota kelompok etnik yang lain (PaEni, M. 2009:12).
Istilah etnik sendiri mengacu kepada kelompok yang keanggotaannya berdasarkan
asal-usul keturunan. Bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik atau alat
identitas etnik. Keberadaan berbagai etnik dalam suatu negara dapat menimbulkan
masalah kebahasaan, terutama dalam hal pengajaran dan pemberitahuan tentang hal
yang umum. Hubungan antara bahasa dan etnik mungkin merupakan hubungan
sederhana yang bersifat kebiasaan yang dipertegas oleh rintangan sosial antar
kelompok. Bahkan bahasa Indonesia yang merupakan bahasa pengantar kadang
dipengaruhi oleh bahasa daerah, sehingga menggambarkan ragam bahasa yang
terlihat pada ciri fonetik atau lafal penutur (Soemarsono. 2002:70-74).
Istilah etnik sendiri dapat digantikan
dengan istilah suku pada saat dikaji sebagai satu bagian dari suatu bangsa.
Salah satu suku yang menjadi bagian dari Bangsa Indonesia adalah suku Madura. Suku
Madura merupakan masyarakat yang mendiami pulau Madura dalam waktu yang cukup
lama dan memiliki kebudayaan tersendiri. Suku Madura selalu dicitrakan oleh
“orang luar“ berdasarkan seperangkat pembawaan dan berperilaku negatif, mereka
yang begitu mudah mengcungkan celurit untuk mempertahankan harga diri dan
kehermotan, yang mana orang lain menggap hal yang dipertahankan adalah hal yang
sepele. Kegarangan yang diperlihatkan oleh Suku Madura bisa disebabkan oleh
karena keadaan alam Pulau Madura yang tandus dan gersang, karena hal ini pula Suku
Madura menjadi pekerja yang ulet, tabah, dan tidak takut menghadapi kesulitan.
Selain itu, orang-orang dari suku Madura dikenal sebagai penganut agama Islam
yang taat, kolot, dan fanatik, dan mereka suka berbicara dengan menggunakan
bahasa yang terkesan “garang” (Rifai, M.A. 2007:15-16).
Suku Madura memiliki bahasa tersendiri yang berfungsi sebagai identitas etnik, yaitu bahasa Madura yang termasuk dalam kelompok bahasa Austeronesia. Persebaran bahasa Madura cukup luas di seluruh Nusantara ini sebagai akibat budaya Migrasi yang dilakukan oleh suku Madura, menurut B.K. Purwo (2000) dalam buku berjudul “Bangkitnya Kebhinekaan Dunia Linguistik dan Pendidikan”, secara keseluruhan bahasa Madura dipakai oleh lebih dari 13 juta penutur atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Meskipun termasuk kedalam empat besar bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak, perkembangan dari bahasa Madura agak memprihatinkan karena tidak ada upaya pembinaan bahasa yang terlembaga (Rifai, M.A. 2007:50). Di pulau Madura sekarang terdapat empat dialek utama bahasa Madura, yaitu dialek Bangkalan dipakai di daerah Bangkalan dan Sampang barat, dialek Pamekasan yang dipergunakan di daerah Pamekasan dan Sampang Timur, dialek Sumenep yang dipakai di daerah Sumenep dan pulau-pulau di sekitar, dan dialek Kangean yang dipakai di pulau Kangean, serta beberapa dialek lain yang ditemukan di daerah pulau Bawean dan di daerah Jawa Timur. Dari kesemua dialek ini, dialek Madura sering dianggap yang paling halus dan jelas (Rifai, M.A. 2007:55). Dalam bahasa Madura yang terlihat agak berbeda dari bahasa yang lain adalah penyebutan warna biru sebagai hijau, bahkan sering kali dikatakan penyebutan warna biru sebagai hijau merupakan ciri khas budaya Madura.
Suku Madura merupakan salah satu etnik yang memiliki kebiasaan untuk merantau yang disebabkan keadaan pulau Madura yang tandus dan gersang, yang kemudian mereka berpindah di wilayah lain yang dirasa cocok untuk mereka dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat suku Madura di wilayah tersebut, serta membaur dengan masyarakat setempat sehingga mereka dapat terus mengalami perkembangan, dari perkembangan ini kemudian memunculkan masyarakat keturunan suku Madura. Masyarakat keturunan suku Madura sering disebut dengan istilah Pendhalungan.
Istilah Pendhalungan seringkali diartikan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan. Sejumlah pakar sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi (2005) memberikan definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa. Pengertian lain disampaikan oleh Kusnadi yang sejalan dengan makna kata ‘Pendhalungan’ yang diberikan oleh Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra Jawa-Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pendhalungan berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar”. Dalam konsep simbolik, ‘periuk besar’ bisa didefinisikan sebagai tempat bertemunya bermacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebudayaan kemudian saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang disebut Pendhalungan (Rahardjo. P. C. 2006: 199-200).
Dalam kajian ini lebih digunakan pengertian kedua, sehingga dalam kajian ini menggunakan istilah masyarakat keturunan suku Madura untuk menyebut objek penelitian. Dari pembauran dengan antara masyarakat keturunan suku Madura dengan masyarakat setempat, menjadikan masyarakat keturunan suku Madura membentuk masyarakat tutur bahasa Madura di dalam masyarakat yang mayoritas bertutur berbahasa lokal (yang dalam penelitian ini berbahasa Jawa-Malangan). Menurut Fishman (1968) (dalam Arifin, B.dkk. 2000: 4), dalam mengkaji pemakaian bahasa Madura dalam masyarakat keturunan suku Madura, dapat dilihat pada ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah kerja, ranah pendidikan, ranah agama dan ranah pemerintah.
Suku Madura memiliki bahasa tersendiri yang berfungsi sebagai identitas etnik, yaitu bahasa Madura yang termasuk dalam kelompok bahasa Austeronesia. Persebaran bahasa Madura cukup luas di seluruh Nusantara ini sebagai akibat budaya Migrasi yang dilakukan oleh suku Madura, menurut B.K. Purwo (2000) dalam buku berjudul “Bangkitnya Kebhinekaan Dunia Linguistik dan Pendidikan”, secara keseluruhan bahasa Madura dipakai oleh lebih dari 13 juta penutur atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Meskipun termasuk kedalam empat besar bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak, perkembangan dari bahasa Madura agak memprihatinkan karena tidak ada upaya pembinaan bahasa yang terlembaga (Rifai, M.A. 2007:50). Di pulau Madura sekarang terdapat empat dialek utama bahasa Madura, yaitu dialek Bangkalan dipakai di daerah Bangkalan dan Sampang barat, dialek Pamekasan yang dipergunakan di daerah Pamekasan dan Sampang Timur, dialek Sumenep yang dipakai di daerah Sumenep dan pulau-pulau di sekitar, dan dialek Kangean yang dipakai di pulau Kangean, serta beberapa dialek lain yang ditemukan di daerah pulau Bawean dan di daerah Jawa Timur. Dari kesemua dialek ini, dialek Madura sering dianggap yang paling halus dan jelas (Rifai, M.A. 2007:55). Dalam bahasa Madura yang terlihat agak berbeda dari bahasa yang lain adalah penyebutan warna biru sebagai hijau, bahkan sering kali dikatakan penyebutan warna biru sebagai hijau merupakan ciri khas budaya Madura.
Suku Madura merupakan salah satu etnik yang memiliki kebiasaan untuk merantau yang disebabkan keadaan pulau Madura yang tandus dan gersang, yang kemudian mereka berpindah di wilayah lain yang dirasa cocok untuk mereka dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat suku Madura di wilayah tersebut, serta membaur dengan masyarakat setempat sehingga mereka dapat terus mengalami perkembangan, dari perkembangan ini kemudian memunculkan masyarakat keturunan suku Madura. Masyarakat keturunan suku Madura sering disebut dengan istilah Pendhalungan.
Istilah Pendhalungan seringkali diartikan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan. Sejumlah pakar sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi (2005) memberikan definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa. Pengertian lain disampaikan oleh Kusnadi yang sejalan dengan makna kata ‘Pendhalungan’ yang diberikan oleh Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra Jawa-Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pendhalungan berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar”. Dalam konsep simbolik, ‘periuk besar’ bisa didefinisikan sebagai tempat bertemunya bermacam masyarakat yang berbeda etnis dan kebudayaan kemudian saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang disebut Pendhalungan (Rahardjo. P. C. 2006: 199-200).
Dalam kajian ini lebih digunakan pengertian kedua, sehingga dalam kajian ini menggunakan istilah masyarakat keturunan suku Madura untuk menyebut objek penelitian. Dari pembauran dengan antara masyarakat keturunan suku Madura dengan masyarakat setempat, menjadikan masyarakat keturunan suku Madura membentuk masyarakat tutur bahasa Madura di dalam masyarakat yang mayoritas bertutur berbahasa lokal (yang dalam penelitian ini berbahasa Jawa-Malangan). Menurut Fishman (1968) (dalam Arifin, B.dkk. 2000: 4), dalam mengkaji pemakaian bahasa Madura dalam masyarakat keturunan suku Madura, dapat dilihat pada ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah kerja, ranah pendidikan, ranah agama dan ranah pemerintah.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.