Pergeseran bahasa merupakan salah satu
masalah dalam hal penggunaan bahasa yang dialami oleh suatu budaya, dimana
dilakukan oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang berpindah dari
suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain, yang kemudian mereka
harus sedikit demi sedikit belajar menggunakan bahasa daerah setempat untuk keperluan
berkomunikasi dengan masyarakat setempat.
Hal ini kemudian menjadikan mereka penutur bilingual, saat mereka berkomunikasi dengan kelompok asal mereka menggunakan bahasa asal daerah, tetapi untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, dan wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang migrasi untuk mendatangi. (Chaer, A. & Agustina, L. 2004:142-144). Keterkaitan antara Industrialisasi dan migrasi dengan pergeseran bahasa adaah karena industrialisasi dan migrasi mempengaruhi keterpakaian praktis suatu bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi, dan hal yang lain. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi bertahan atau bergeser suatu bahasa adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, ada atau tidaknya proses pengalihan bahasa kepada generasi penerus, dan ada tidaknya faktor yang memaksa bagi seseorang untuk menggunakan bahasa tertentu, serta pengaruh pendidikan dan agama sebagai lembaga belajar masyarakat (Arifin, B. dkk. 2000: 2)
Hal ini kemudian menjadikan mereka penutur bilingual, saat mereka berkomunikasi dengan kelompok asal mereka menggunakan bahasa asal daerah, tetapi untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, dan wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang migrasi untuk mendatangi. (Chaer, A. & Agustina, L. 2004:142-144). Keterkaitan antara Industrialisasi dan migrasi dengan pergeseran bahasa adaah karena industrialisasi dan migrasi mempengaruhi keterpakaian praktis suatu bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi, dan hal yang lain. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi bertahan atau bergeser suatu bahasa adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, ada atau tidaknya proses pengalihan bahasa kepada generasi penerus, dan ada tidaknya faktor yang memaksa bagi seseorang untuk menggunakan bahasa tertentu, serta pengaruh pendidikan dan agama sebagai lembaga belajar masyarakat (Arifin, B. dkk. 2000: 2)
Ketidak berdayaan minoritas imigran
dalam mempertahankan bahasa daerah asal di daerah perantauan disebabkan tekanan
dari bahasa mayoritas yang dominan dan supraetnis. Menurut Lieberson (1972)
(dalam Arifin, B, dkk. 200: 1), ketidak berdayaan bahasa minoritas dalam
bersaing dengan bahasa mayoritas mengikuti pola yang sama, yaitu masyarakat
minoritas menjadi dwibahasawan (masyarakat yang mampu menggunakan dua bahasa),
kemudian terjadi persaingan dalam penggunaan bahasa tersebut, dan terakhir
bahasa minoritas tergeser dari kehidupan masyarakat tersebut.
Fishman (1972) (dalam Chaer, A. &
Agustina, L. 2004:144) melukiskan pergeseran bahasa para imigran dalam diagram
sebagai berikut:
Dari
diagram diatas dapat dijabarkan sebagai berikut: pada kotak pertama,
monolingual atau penggunaan satu bahasa dalam berkomunikasi ada pada masyarakat
di daerah asal. Kemudian ada kelompok masyarakat yang bermigrasi ke daerah lain
sehingga menimbulkan bilingual bawahan (kotak kedua), yaitu penggunaan dua
bahasa dalam komunikasi dimana bahasa ibu atau bahasa dari daerah asal dianggap
memiliki prestise yang lebih tinggi
dibanding bahasa daerah migrasi. Seiring perkembangan masyarakat dalam wilayah
masyarakat lain, terjadi perubahan nilai-nilai sosial dan budaya, yang salah
satu dampak yang bisa dirasakan adalah dianggap setara kedudukan antara bahasa
daerah asal dengan bahasa daerah migrasi, bahkan kemudian bahasa daerah migrasi
dianggap memiliki prestise lebih tinggi daripada bahasa daerah asal atau bahasa
dari kebudayaan generasi tua (kotak ketiga dan kotak keempat). Dari penyusutan
nilai budaya berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah asal, menyebabkan
pemudaran bahasa daerah asal dan menjadikan bahasa daerah migrasi sebagai
bahasa tunggal (kotak kelima).
Pendapat Fishman tentang pergeseran
bahasa diperjelas oleh Danie (1987) (dalam Chaer A.&Agustina L. 2004: 145)
bahwa Pergeseran bahasa ini sendiri kemudian menyebabkan kepunahan suatu
bahasa, hal itu bisa disebabkan (a) bahasa daerah setempat berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, (b) bahasa
setempat dianggap memiliki prestise tinggi, (c) kebutuhan terhadap penguasaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar bagi anak-anak saat sekolah maupun di
tempat kerja formal, dan (d) perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara dan bahasa nasional. Pergeseran bahasa masyarakat migran juga
dipengaruhi pewarisan bahasa oleh generasi tua kepada generasi tua. Barrens dkk.
(2000) (dalam PaEni, M. 2009:51) menyatakan bahwa hambatan dalam proses
pewarisan bahasa ibu (tradisional) kepada generasi penerus merupakan salah satu
faktor utama penyebab kepunahan bahasa. Akibat dari hambatan pewarisan bahasa
ibu adalah semakin sedikit jumlah penutur bahasa ibu tersebut, hal ini bisa
dikaitkan dengan klasifikasi kondisi kebahasaan menurut Wurm (1998) (dalam
PaEni, M.2009:51) yaitu:
a. Potentially Endangered
Languages, yaitu bahasa-bahasa yang dianggap
berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi
tergolong minoritas, serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa
mayoritas. Generasi muda pengguna bahasa minoritas sudah mulai pindah ke bahasa
mayoritas dan jarang menggunakan bahasa ibu.
b. Endangered Languages,
yaitu bahasa-bahasa yang dapat dianggap terancam punah adalah bahasa yang tidak
mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa ibu. Penutur yang masih fasih
hanya kelompok generasi menengah.
c. Moribund Languages,
yaitu bahasa-bahasa yang dianggap sekarat adalah bahasa yang dituturkan oleh
beberapa orang tua berusia sekitar 70 tahun ke atas
d. Extict Languages
yaitu bahasa-bahasa yang dianggap punah adalah bahasa yang hanya mempunyai satu
penutur sehingga tidak ada teman berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut,
apalagi jika tidak ada penutur bahasa tersebut sama sekali.
Sebelum ini telah dijelaskan bahwa
pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat bilingual atau dwibahasa, Ditmar
(1976) (dalam Alwasilah, A.C. 1993:106) menyatakan bahwa ada empat pertanyaan
pokok dalam studii kedwibahasaan, yaitu:
a. Sejauh
mana seseorang berdwibahasa dan bagaimana penguasaan seseorang tersebut akan
masing-masing bahasa.
b. Dalam
kondisi seperti apa masing-masing bahasa digunakan?
c. Sejauh
mana si penutur berpindah bahasa dan dalam hal apa penutur memilih bahasa
d. Sejauh
mana seseorang menggunakan dua bahasa secara terpisah dalam satu kesatuan
sistem sosial dana bagaimana pengaruh pemakaian satu bahasa terhadap bahasa
yang lain?
Dari sini dapat diaplikasikan dalam
kehidupan masyarakat keturunan suku Madura di Dusun Meduran, dimana hubungan
yang dilakukan secara fisik antara masyarakat keturunan suku Madura dengan
masyarakat Jawa di Desa Blayu mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh
pada masing-masing masyarakat, namun karena kebudayaan Jawa dianggap memiliki
nilai prestice yang lebih tinggi,
maka yang terjadi adalah proses imitai yaitu peniruan terhadap unsur-unsur
kebudayaan yang memiliki prestice
lebih tinggi, terutama yang ada pada generasi muda. Hal itu lebih disebabkan
belum menetap atau kurang internalized
unsur-unsur atau norma-norma budaya dalam jiwa generasi muda, sehingga
menjadikan mereka lebih mudah menerima unsur-unsur baru (Soekanto. S. 2004: 193).
Salah satu contoh adalah yang terjadi pada bahasa tradisional yang mulai
ditinggalkan generasi muda. gerak budaya ini kemudian akan berujung pada
kepunahan bahasa ataupun budaya Madura pada masyarakat keturunan suku Madura.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.