Thursday, November 15, 2012

Pergeseran Bahasa (QAHARRUDIN)




Pergeseran bahasa merupakan salah satu masalah dalam hal penggunaan bahasa yang dialami oleh suatu budaya, dimana dilakukan oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang berpindah dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur yang lain, yang kemudian mereka harus sedikit demi sedikit belajar menggunakan bahasa daerah setempat untuk keperluan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. 
Hal ini kemudian menjadikan mereka penutur bilingual, saat mereka berkomunikasi dengan kelompok asal mereka menggunakan bahasa asal daerah, tetapi untuk berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, dan wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang migrasi untuk mendatangi. (Chaer, A. & Agustina, L. 2004:142-144). Keterkaitan antara Industrialisasi dan migrasi dengan pergeseran bahasa adaah karena industrialisasi dan migrasi mempengaruhi keterpakaian praktis suatu bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi, dan hal yang lain. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi bertahan atau bergeser suatu bahasa adalah jumlah penutur, konsentrasi pemukiman, ada atau tidaknya proses pengalihan bahasa kepada generasi penerus, dan ada tidaknya faktor yang memaksa bagi seseorang untuk menggunakan bahasa tertentu, serta pengaruh pendidikan dan agama sebagai lembaga belajar masyarakat (Arifin, B. dkk. 2000: 2)
Ketidak berdayaan minoritas imigran dalam mempertahankan bahasa daerah asal di daerah perantauan disebabkan tekanan dari bahasa mayoritas yang dominan dan supraetnis. Menurut Lieberson (1972) (dalam Arifin, B, dkk. 200: 1), ketidak berdayaan bahasa minoritas dalam bersaing dengan bahasa mayoritas mengikuti pola yang sama, yaitu masyarakat minoritas menjadi dwibahasawan (masyarakat yang mampu menggunakan dua bahasa), kemudian terjadi persaingan dalam penggunaan bahasa tersebut, dan terakhir bahasa minoritas tergeser dari kehidupan masyarakat tersebut.
Fishman (1972) (dalam Chaer, A. & Agustina, L. 2004:144) melukiskan pergeseran bahasa para imigran dalam diagram sebagai berikut:




Dari diagram diatas dapat dijabarkan sebagai berikut: pada kotak pertama, monolingual atau penggunaan satu bahasa dalam berkomunikasi ada pada masyarakat di daerah asal. Kemudian ada kelompok masyarakat yang bermigrasi ke daerah lain sehingga menimbulkan bilingual bawahan (kotak kedua), yaitu penggunaan dua bahasa dalam komunikasi dimana bahasa ibu atau bahasa dari daerah asal dianggap memiliki prestise yang lebih tinggi dibanding bahasa daerah migrasi. Seiring perkembangan masyarakat dalam wilayah masyarakat lain, terjadi perubahan nilai-nilai sosial dan budaya, yang salah satu dampak yang bisa dirasakan adalah dianggap setara kedudukan antara bahasa daerah asal dengan bahasa daerah migrasi, bahkan kemudian bahasa daerah migrasi dianggap memiliki prestise lebih tinggi daripada bahasa daerah asal atau bahasa dari kebudayaan generasi tua (kotak ketiga dan kotak keempat). Dari penyusutan nilai budaya berbahasa dengan menggunakan bahasa daerah asal, menyebabkan pemudaran bahasa daerah asal dan menjadikan bahasa daerah migrasi sebagai bahasa tunggal (kotak kelima).
Pendapat Fishman tentang pergeseran bahasa diperjelas oleh Danie (1987) (dalam Chaer A.&Agustina L. 2004: 145) bahwa Pergeseran bahasa ini sendiri kemudian menyebabkan kepunahan suatu bahasa, hal itu bisa disebabkan (a) bahasa daerah setempat berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, (b) bahasa setempat dianggap memiliki prestise tinggi, (c) kebutuhan terhadap penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar bagi anak-anak saat sekolah maupun di tempat kerja formal, dan (d) perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Pergeseran bahasa masyarakat migran juga dipengaruhi pewarisan bahasa oleh generasi tua kepada generasi tua. Barrens dkk. (2000) (dalam PaEni, M. 2009:51) menyatakan bahwa hambatan dalam proses pewarisan bahasa ibu (tradisional) kepada generasi penerus merupakan salah satu faktor utama penyebab kepunahan bahasa. Akibat dari hambatan pewarisan bahasa ibu adalah semakin sedikit jumlah penutur bahasa ibu tersebut, hal ini bisa dikaitkan dengan klasifikasi kondisi kebahasaan menurut Wurm (1998) (dalam PaEni, M.2009:51) yaitu:
a.    Potentially Endangered Languages, yaitu bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas, serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi muda pengguna bahasa minoritas sudah mulai pindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa ibu.
b.   Endangered Languages, yaitu bahasa-bahasa yang dapat dianggap terancam punah adalah bahasa yang tidak mempunyai lagi generasi muda yang dapat berbahasa ibu. Penutur yang masih fasih hanya kelompok generasi menengah.
c.    Moribund Languages, yaitu bahasa-bahasa yang dianggap sekarat adalah bahasa yang dituturkan oleh beberapa orang tua berusia sekitar 70 tahun ke atas
d.   Extict Languages yaitu bahasa-bahasa yang dianggap punah adalah bahasa yang hanya mempunyai satu penutur sehingga tidak ada teman berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut, apalagi jika tidak ada penutur bahasa tersebut sama sekali.
Sebelum ini telah dijelaskan bahwa pergeseran bahasa terjadi pada masyarakat bilingual atau dwibahasa, Ditmar (1976) (dalam Alwasilah, A.C. 1993:106) menyatakan bahwa ada empat pertanyaan pokok dalam studii kedwibahasaan, yaitu:
a.       Sejauh mana seseorang berdwibahasa dan bagaimana penguasaan seseorang tersebut akan masing-masing bahasa.
b.      Dalam kondisi seperti apa masing-masing bahasa digunakan?
c.       Sejauh mana si penutur berpindah bahasa dan dalam hal apa penutur memilih bahasa
d.      Sejauh mana seseorang menggunakan dua bahasa secara terpisah dalam satu kesatuan sistem sosial dana bagaimana pengaruh pemakaian satu bahasa terhadap bahasa yang lain?
Dari sini dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat keturunan suku Madura di Dusun Meduran, dimana hubungan yang dilakukan secara fisik antara masyarakat keturunan suku Madura dengan masyarakat Jawa di Desa Blayu mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh pada masing-masing masyarakat, namun karena kebudayaan Jawa dianggap memiliki nilai prestice yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah proses imitai yaitu peniruan terhadap unsur-unsur kebudayaan yang memiliki prestice lebih tinggi, terutama yang ada pada generasi muda. Hal itu lebih disebabkan belum menetap atau kurang internalized unsur-unsur atau norma-norma budaya dalam jiwa generasi muda, sehingga menjadikan mereka lebih mudah menerima unsur-unsur baru (Soekanto. S. 2004: 193). Salah satu contoh adalah yang terjadi pada bahasa tradisional yang mulai ditinggalkan generasi muda. gerak budaya ini kemudian akan berujung pada kepunahan bahasa ataupun budaya Madura pada masyarakat keturunan suku Madura.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |