Wednesday, November 14, 2012

Perkembangan Agama Islam di Afrika Utara




Dinasti Fatimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M., sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasiyah. Dinasti Farimiyah didirikan oleh Sa'id ibn Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah, seorang Persia yang bernama 'Abdullah ibn Maymun.

Kemunculan Sa'id, penerus Ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini me­rupakan puncak dari propaganda sekte Ismailiyah yang terampil dan terorganisir dengan baik. Kesuksesan mereka itu sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte ini, yang pernah berhasil meng­goyang kekhalifahan Umayyah. Keberhasilan gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya personal dai (propagandis) utama sekte ini, yaitu Abu 'Abdullah al-Husayn al-Syi' Ia adalah seorang penduduk asli Shan'a Yam'an, yang menjelang awal abad ke-9 memprokla­mirkan dirinya sebagai pelopor Mahdi, dan menyebarkan hasutan di tengah suku Berber di Afrika Utara, khususnya suku Kitamah. Perkenalannya dengan anggora suku ini terjadi pada musim haji di Mekah. Wilayah Afrika Kecil-Tunisia dan Afrika Urara­kerika itu berada di bawah kekuasaan Aglabiyah.
Sepanjang kekuasaan Abu Manshur Nizar al-'Aziz (975-996), ke­rajaan Mesir senantiasa diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah­ Fatimiyah yang kelima dan khalifah pertama yang memulai pe­merintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannyalah Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebut­kan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekua­saannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, juga di masjid-masjid di Yaman, Mekah, Damaskus, bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasaannya meliputi wilayah yang sangat luas. Di bawah kekuasaannya, kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi kekhalifahan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifahan itu telah menenggelamkan penguasa Baghdad, dan ia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Al­'Azlz menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad berhasil ditaklukkan. Seperti pen­dahulunya, ia melirik wilayah Spanyol, tetapi khalifah Kordova yang percaya diri itu, ketika menerima surat yang pedas dari raja Fatimiyah memberikan balasan yang tegas. (Hitti,2006:791)
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-'Azlz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Berber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini. Adalah para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sircasse dan Turki yang kemudian merebut ke­kuasaan puncak dari tangan keluarga Fatimiyah, kemudian men­dirikan dinasti-dinasti baru.( Hitti,2006:792)
Pada tradisi-tradisi lain selain Islam, kemunculan dan kebangkitan suatu dinasti semacam Dinasti Mamluk merupakan satu fenomena yang sulit dipahami. Bahkan, dlalam tradisi Islam pun, fenomena ini terbilang ajaib, atau mungkin unik. Dinasti Mamluk, seba­gaimana ditunjukkan oleh namanya, merupakan dinasti para budak, yang berasal dari berbagai suku dan bangsa menciptakan satu tatanan oligarki militer di wilayah asing. Para sultan-budak ini menegaskan kekuasaan mereka atas wilayah Suriah-Mesir, yang sebelumnya dikuasai Tentara Salib. Selama beberapa waktu mereka berhasil menahan laju serangan pasukan Mongol pimpinan Hulagu dan Timurlenk. Seandainya mereka gagal bertahan, tentu seluruh tatanan sejarah dan kebudlayaan di Asia Barat dan Mesir akan berubah. Berkat kegigihan mereka, Mesir bisa bertahan, dan selamat dari serangan Mongol yang telah menghancurkan Suriah dan Irak, sehingga penduduk Mesir bisa tetap menyaksikan kesinambungan budaya dan institusi politis, suatu fenomena yang tidak dinikmati oleh negara-negara Islam lainnya di luar dataran Arab. Sekitar dua dan tiga perempat abad (1250-1517) dinasti-dinasti Mamluk menguasai satu kawasan paling "panas" di dunia, dan memelihara keutuhan daerah itu, meskipun mereka terdiri atas berbagai ras yang berbeda-beda. Meskipun secara umum me­reka tidak berbudaya, dan haus perang, mereka mengapresiasi dengan baik pembangunan dalam bidang arsitektur dan kesenian, sehingga dalam kedua bidang itu, Mesir boleh dibandingkan de­ngan dinasti-dinasti berbudaya lainnya. Bahkan Kairo hingga saat ini pun masih menjadi tempat paling indah di dunia muslim. Dan akhirnya, ketika mereka digulingkan pada 1517 oleh Khalifah Salim dari Dinasti Utsmani, dinasti lokal terakhir yang tumbuh di atas reruntuhan kekhalifahan Arab itu pun tumbang, merintis jalan baru untuk tumbuh berkembangnya kekhalifahan baru yang non-Arab, yakni Dinasti Turki Utsmani.
Fondasi kekuasaan Mamluk diletakkan oleh Syajar al-Durr, janda al-Shalih (w. 1249) dari Dinasti Ayyubiyah yang tadinya merupakan seorang budak dari Turki atau Armenia. Pada awalnya, ia adalah seorang pengurus rumah tangga, dan salah satu harem khalifah al-Musta'shim. Kemudian ia mengabdi pada al-Shalih, khalifah yang membebaskannya setelah ia melahirkan anak laki ­laki. Dikatakan bahwa berdasarkan pengetahuannya tentang ke­kuasaan tertinggi dari mantan suami-sekaligus-tuannya, ia pernah mengirimkan catatan penting kepada amir-amir di Mesir
Selama delapan puluh hari sultanah itu-satu-satunya penguasa wanita muslim di kawasan Afrika Utara dan Asia Barat-mem­pertahankan kedudukannya sebagai penguasa tunggal atas wilayah yang pernah melahirkan Cleopatra dan Zenobia. Ia pernah me­nerbitkan keping mata uang yang menyandang namanya, dan memerintahkan agar namanya disebutkan pada salat Jumat. Dan ketika para amir memilih kerabatnya, yang juga panglima utama kerajaan (atabeg al- askar) 'Izzuddin Aybak’ sebagai sultan, maka ia memutuskan untuk menikah dengannya. Pada tahun-tahun per­tama pemerintahannya, Aybak sibuk mengikis legitimasi Ayyubiyah di Suriah, memecat raja-cilik-al-Asyraf, dan mengatasi pengaruh seorang jenderalnya yang menyaingi kepopulerannya karena sukses melawan Louis IX. Pada saat yang bersamaan, ratu tidak hanya berbagi kekuasaan, tapi mendominasi Khalifah. Sepeninggal Syajar kekuasaan Mamluk mulai terpecah yakni menjadi Mamluk Bahrij dan Burji.(Hitti,2006:860)

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |