Wednesday, November 14, 2012

Pokok Pokok Pemikiran Karl Marx




Pengaruh Hegel yang seorang idealis dengan dialektikanya, juga Feuerbach yang humanis dan menekankan pada materialisme, membuat pemikiran Marx dapat diketegorikan menjadi dua kategori yaitu Materialisme Dialektika dan Materialisme Historis. Materialisme dalam konteks filsafat sering dilawankan dengan idealisme,[1] sebab dalam materialisme ada anggapan bahwa kenyataan berada di luar persepsi manusia, dan kenyataan obyektif diakui sebagai penentu terakhir dari ide. Sementara dalam idealisme menyatakan bahwa adanya kesadaran ada karena ide-ide manusia, di mana di belakang ide-ide itu tidak ada realitas. Materialisme di sebut juga aliran kebendaan. [2]

1. Dialektika Materialisme
Filosofi Marxisme, secara keseluruhan oleh pengikutnya disebut dialektika materialisme. Disebut dialektika karena berasal dari filsafat Hegel tentang dialektika sebagai proses perubahan. Proses dialektika itu bermula dari adanya thesis (posisi pertama), kemudian muncul antithesis (posisi kedua), dan akhirnya synthesis (kebenaran), ia kemudian akan menjadi thesis baru yang meneruskan proses tersebut sampai akhimya mencapai kebenaran mutlak, dan pada akhimya harus juga berhadapan dengan negasi baru sesuai dengan zamannya. filsafat dialektika yang dikembangkan Hegel bersifat abstrak. Proses tersebut, menurut Hegel hanya ,ada dalam cita-cita serta pikiran,saja. Inilah yang kemudian dibalik oleh Marx. Menurut Marx, yang tergambar dalam cita-cita (the ideal) itu tidak lain dari dunia nyata (material world) yang direfleksikan oleh pikiran manusia, dan dipindahkan menjadi buah pikiran. Dengan kata lain, pikiran atau cita-cita itu menurut Marx dibentuk oleh materi atau benda. Manusia harus hidup dulu baru ia dapat berpikir. Oleh sebab itu, bukan pikiran atau cita-cita yang mengubah sejarah melainkan cara berproduksi .[3]
Marx tertarik pada hokum dialektikanya hegel karena ada unsur kemajuan melalui konflik dan pertentangan. Meskipun marx menolak proses dialektika, lalu dia balik dialektikanya hegel dengan dialektika materi. Unsur kemajuan dan konflik yang dia temukan dalam karya Hegel  digunakannya untuk menerangkan proses perkembangan masyarakat  melalui revolusi. Kendati Marx tidak memberikan penjelasan yang tuntas namun Marx telah meletakkan hukum social yang kemudian hari disempurnakan oleh Lenin, yang menyimpulkan bahwa materialisme dialektis merupakan hukum dalam revolusi sosial yang secara pasti berkembang kearah masyarakat komunis, jadi masyarakat komunis niscaya sampai lewat dialektika.  Dengan  hukum dialektika masyarakat kapitalis  telah mengandung dalam dirinya sendi-sendi kehancuran. Dan dengan proses revolusi proses menuju masyarakat komunistis dapat segera di capai.[4]
Inti dalam materialisme dialektika secara sederhana dapat kita paparkan sebagai berikut,  Marx mengambil dua unsur dari gagasan Hegel  yaitu gagasan mengenai pertentangan  antara segi segi yang berlawanan, dan yang kedua dapat terus berkembang tanpa henti. Jika menurut Hegel dialektika itu  berlaku dalam dunia abstrak maka Marx menandaskan hukum dialektika itu berlaku di dalam dunia materi, sesuai dengan pandangannya ini Engels menyebutnya materialisme. Marx mengatakan bahwa dalam setiap benda atau keadaan, dalam tubuhnya sendiri menimbulkan  segi segi yang berlawanan, bertentangan satu sama lain, dan ini dinamakan kontradiksi. Dari pergumulan inilah nantinya timbul keseimbangan dan dikatakan bahwa benda atau keadaan itu telah dinegasikan. [5]
Menurut Engels, “ materi bergerak dalam siklus abadi, yang melengkapi perjalanannya dalam sebuah periode yang sangat panjang, dan jika dibandingkan  dengan tahun-tahun bumi kita tidak ada apa-apanya; didalam sebuah siklus dimana periode kehidupan organik dengan prestasinya yang tinggi- kesadaran diri-merupakan sebuah ruangan sebagaimana suatu yang relatif kecil dam sejarah kehidupan dan kesadaran diri; seperti sebuah siklus dimana partikularia membentuk eksistensi materi- baik ia matahri maupun nebula, suatu partikularia binatang atau spesies binatang, kombinasi kimia dekomposisi-adalah sama-sama dalam transisi ; dalam sebuah siklus dimana tidak ada yang abadi kecuali materi yang bergerak secara abadi dan hukum-hukum gerakannya dan perubahannya.[6]
Sesuai dengan hukum dialektika, gerak itu terus terjadi  sehingga setiap kali ditimbulkan suatu negasi yang lebih baru  setiap negasi dianggap sebuah kemenangan  dan yang baru atas yang lama, suatu kemenangan yang dihasilkan atas kontradiksi-kontradiksi dalam tubuhnya sendiri. Jadi setiap objek atau keadaan atau benda  melahirkan benih benih untuk penghancuran  diri sendiri, untuk selanjutnya diubah dengan sesuatu yang lebih tinggi mutunya. Negasi dianggap suatu penghancuran diri yang lama , sebagai hasil dari perkembangan sendiri yang diakibatkan oleh  kontradiksi-kontradiksi intern. Jadi setiap fenomena bergerak dari taraf yang rendah menuju ketaraf yang lebih tinggi, bergerak dari keadaan yang sederhana menuju ke-keadaan yang lebih kompleks.dengan tercapainya negasi yang tertinggi (masyarakat komunis), maka selesailah proses dialektis.[7]
Berkaitan dengan penjelasan hukum dialektika, Tan Malaka menerangkan dalam Madilog (Materialisme, dialektika, logika) dengan membedakannya dengan logika yang berisi hukum berpikir logis. Logika adalah metode berpikir untuk menetapkan suatu identitas. Dimana wilayah kerja logika adalah ketika berhadapan dengan satu persoalan yang sederhana yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Dimana logika ‘ya’ adalah ‘ya’ dan ‘ya’ adalah “bukan tidak”. Hukum keduanya tidak bisa dicampuradukkan. Hukum yang lazim dipakai logika dalam pengertian ini adalah A = A. Sedangkan A bukan non A (tidak A).
Beberapa hukum pokok dialektika juga diutarakan Tan Malaka dalam beberapa persoalan berikut contohnya dalam kehidupan sehari – hari, yaitu :
1.      Hukum dialektika selalu berkaitan dengan waktu.
2.      Hukum dialektika selalu berkaitan dengan perpaduan di luar dirinya.
3.      Hukum dialektika selalu berkaitan dengan hukum kontradiksi.
4.      Hukum dialektika selalu berkaitan dengan gerak.
Melawankan hukum dialektika idealis milik Hegel dengan dialektika milik Karl Marx dan Engels, Tan Malaka tampak menaruh keberpihakan jelas terhadapnya. Keberpihakan yang sangat ideologis sehingga tampak sebagai penjabaran dogma secara rasional, tanpa kritisisme tertentu. Disebutkannya, bagi Marx Dialektika itu bukanlah semata-mata hukum gerakan pikiran sebagai cermin realitas, melainkan hukum kebenaran berpikir ketika bertitik tolak dari benda yang sebenarnya. Adanya hukum pertentangan dan perpaduan sendiri juga diakui oleh Marx dan Engels, cuma dalam pengertian sebagai perjuangan tanpa damai dua benda nyata, pertentangan dua kelas dalam masyarakat. Pertentangan dalam masyarakat itu antara kelas yang berpunya yang ditentukan oleh corak produksi masyarakatnya. Dengan adanya kemajuan teknik dalam corak produksi masyarakat yang membuat orang kaya dan berkuasa semakin bertambah kaya dan kuasa. Sedangkan di pihak yang miskin dan tak kuasa semakin terpuruk dalam lembah yang miskin dan tak ada kuasa. Perpaduan baru sintesis ini berupa “hak milik bersama” atas alat-alat produksi yang menghasilkan bagi “kemakmuran bersama”. Sistesis inilah yang kemudian membayang dalam otak sebagai suatu yang bertolak dari realitas objektif (materialisme).[8]
2. Materialisme Historis
Telah banyak diketahui bahwa sebelurn Marx, sejarah ditafsirkan lewat berbagai pendekatan. Di antara tafsiran itu misalnya mengatakan bahwa sumber penggerak dari seluruh kejadian adalah berlakunya ketentuan Tuhan. Ragam serta corak perkembangan segala kemajuan manusia tidak lain adalah melaksanakan kehendak Tuhan. Inilah penafsiran sejarah yang disebut tinjauan agamis, dan salah satu kekurangan pendekatan ini adalah tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan bahwa manusia tidak pernah secara pasti mengetahui kemauan Tuhan. [9]
Penafsiran sejarah sebelum Marx selanjutnya adalah secara politis, yakni dengan mengatakan bahwa penggerak sejarah adalah kaisar-kaisar, raja, para ksatria dan serdadu, pembuat undang­-undang serta politisi. Erat kaitannya dengan pe­nafsiran ini adalah pendekatan dari sudut ke­pahlawanan. Thomas Carlyle adalah orang ter­sohor yang memasyarakatkan tafsiran jenis ini. Rumusannya yang terkenal adalah,” sejarah dunia hanyalah biografi dari orang-orang besar”. Ke­lompok ini dapat mengambil bentuk berupa manusia yang bertindak sebagai dewa, sebagai nabi, orang sud, penyair, penulis dan sebagai raja. Kelemahan utama penafsiran sejarah macam ini karena terlalu menekankan peranan sosok perse­orangan dan akibatnya melalaikan aspek kultural, ekonomi, sosial dan agama. Cara penafsiran sejarah sebelum Marx berikut­nya adalah dengan mengedepankan peranan ide­ide dan gagasan sebagai sebab utama timbulnya proses sejarah. Terakhir, yaitu penafsiran sejarah dengan melihat pergolakan dan peperangan yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.[10]
Jika  dalam materialisme dialektis Marx lebih berbicara mengenai hukum perkembangan yang berlaku dalam dunia, maka dalam materialisme historis  marx lebih berbicara mengenai siapa penentu arah perkembangan  sejarah. Berkaitan dengan itu, Engels menyebut teori Marx tentang masyarakat dengan istilah "materialisme historis". yang menekankan pentingnya aspek ekonomi dalam kehidupan. Pandangan materialisme historis merupakan dasar klaim Marx bahwa sosialismenya adalah ilmiyah . marx merasa telah menghilangkan  segala kesewenangan dan unsur kebetulan  sebagai factor penentu sejarah, karena ia menghilangkan kebebasan kehendak manusia sebagai factor perubahan masyarakat yang relevan, yang akhirnya akan ditentukan  oleh faktor objektif, yaitu tenaga-tenaga produksi.[11]Menurut Marx, kondisi teknologi produksi, dan pertukaran barang (kekuatan produksi) bersama-sama dengan sistem pemilikan pribadi (relasi­ relasi produksi), menentukan dasar pembagian masyarakat ke dalam dua kelas, dan menentukan pula dasar-dasar pemerintahan, agama, serta kebudayaan masyarakat. Karena itu, Marxisme boleh dikata menganut determinisme ekonomi. Marx menyatakan bahwa, situasi ekonomi mendasari pembentukan sistem sosial, politik, hukum, dan lembaga-lembaga keagamaan.[12]
Superstruktur masing-masing masyarakat, mengembangkan apa yang disebut sebagai "ideologi", seperangkat keyakinan resmi atau doktrin agama yang membenarkan eksistensi kelas yang berkuasa. Marx juga pemah mengartikan ideologi sebagai "a false conscious­ness", dengan kata lain sebuah pandangan dunia yang terdistorsi oleh kepentingan kelas penghisap, dan dibangun untuk menjustifikasi kepentingan kelas tersebut. Dalam Marx memahami sejarah perkembangan masyarakat, dan negara. Menurut Marx, pada mulanya dalam kehidupan komunal di mana alat-alat produksi dimiliki bersama (primitive communism), penghisapan manusia oleh manusia (exploitation l'home par l'home) tidak terjadi. Tidak ada pembagian kelas, karena itu tidak ada penindasan. Dalam masyarakat tidak ada yang namanya.kekuasaan. Karena itu, negara tidak diperlukan. [13]
Dalam tulisn karl Marx mengenai sejarah  perkembangan masya­rakat, yaitu sejarah kemanusiaan yang berubah dari satu formasi sosial ekonomi ke formasi yang lebih baru. Diamana didalamnya terjadi lompatan lompatan yang cukup revolusioner, berikut ini mengenai Tahap perkembangan sejarah kemanusiaan:
Pertama, masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya sangat sederhana. Alat produksi itu bukan milik pribadi (perseorangan), tetapi menjadi milik komunal. Patut dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi di atas tingkat konsumsi, karena setiap orang masih mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi - periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan alat produksi pada saat yang sama menimbul­kan perubahan-perubahan sosial; pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai ber­kembang luas, meski mekanisme pasar yang di ciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat, diperlukan kemudian kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti mulai tercipta hubungan produksi (relation of pro­duction) dalam masyarakat komunal itu.
Kedua, masyarakat perbudakan (slavery), ter­cipta berkat hubungan produksi antara orang-­orang yang memiliki alat-alat produksi dengan orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Bermula dari cara kerja model ini menyebabkan ber­lipat gandanya keuntungan pemilik produksi. Budak yang bekerja diberi upah yang minim untuk mempertahankan tingkat kerjanya dan supaya tidak mati. Bila pembagian kerja dan spesialisasi menerobos bidang-bidang kehidupan seperti pe­kerjaan tangan dan pertanian, maka spesialisasi itu sekaligus mendorong meningkatkan keteram­pilan dan perbaikan alat-alat produksi. Marx menilai bahwa pada tingkat perkem­bangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula budak makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul ketidakpuasan atas kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini men­jadi awal perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.
Ketiga, tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah runtuhnya masyarakat per­budakan. Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya. Pemilik­an alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini men­dorong adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas didalam masyarakat yang akan menjelma dalam sistem kapitalis - yaitu kelas feodal tuan tanah yang menguasai perhuhungan sosial dan kelas petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud. Kepentingan kedua kelas ini berbeda-beda, kaum feudal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor (bidang usaha) penghasilannya lewat pend irian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-peda­gang yang mencari pasar dan melemparkan hasil ­hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki hapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh segala cara untuk terbentuknya pasar bebas - yang menyangkut di dalamnya baik sektor buruh ­sistem kerja dan penggajian - maupun ketentuan tarif pertukaran barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses dialektika sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang tidak mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis.
Keempat, masyarakat kapitalis, seperti telah disebutkan menghendaki kebebasan dalam mekanisme perekonomian. Hubungan produksi dalam sistem  didasarkan pada pemilikan indi­vidual (private ownership) masing-masing orang terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan kaum buruh yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya fenomena baru yaitu, hubungan produksi yang memungkinkan terus-menerus meningkatkan alat produksi, caranya adalah memperbaharui pabrik-pabrik, moderni­sasi mesin-mesin dengan menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran hasil produksi menjadi tugas utama kaum kapitalis, sedang pada saat yang sama upah dan kesejahteraan yang tidak kunjung datang menjadi dambaan kaum pekerja. Pada analisis selanjutnya, ditemukan dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan kelas borjuis yang mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak yang artinya muncul apa yang disebut dengan pertentangan kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir dengan ter­bentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas (classless society). Ciri utama masyarakat ini adalah pemilikan yang sifatnya sosial terhadap alat-alat produksi.
 Kelima, masyarakat sosialis - yang dipahami sebagai formulasi terakhir dari lima tahap per­kembangan sejarah Marx .adalah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandar­kan atas hak milik sosial (social ownership). Hubung­an produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia mencapai harkatnya tanpa penindasan. Dengan lain, kata sebuah sistem yang mengingin­kan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.[14]
Dari uraian diatas, arah perkembangan sejarah  bukan ditentukan oleh manusia  tetapi oleh perkembangan sarana sarana produksi material. Meskipun sarana sarana produksi tersebut buatan manusia  namun arah perkembangan sejarah tidak tergantung atas kehendak manusia, manusia memang mengadakan sejarah tetapi manusia tidak bebas  mengadakan sejarahnya.  Sama halnya dengan materi sejarah juga  dideterminasi secara dialektis yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas.[15]
Menurut Marx sarana-sarana produksi menentukan produksi. Dengan hubungan produksi dimaksudkan hubungan manusia yang satu dengan yang lain  atas dasar kedudukannya dalam proses produksi. Ternyata perubahan atau perkembangan sarana produksi membawa dampak terhadap  perubahan produksi juga.  Sebagai contoh, hubungan produksi dalam sepeda motor  ditepi jalan Ambarawa, berbeda dengan di bengkel mobil seperti Raja Garda di jalan Surabaya : karena sarana produksi yang ada didalamnya memang berbeda. Perbedaan sarana produksi dibengkel kecil dengan di bengkel besar membawa perbedaan hubungan manusia  pula di kedua bengkel tersebut. Menurut Marx hubungan produksi menentukan semua hubungan sosial lainnya. Dan nyata-nyata sarana produksi itu  bersama-sama dengan hubungan hubungan produksi membentuk  basis ekonomi yang justru membentuk bangunan di atasnya, yang meliputi unsur-unsur institusional  seperti kebudayaan, hukum, agama, dan ideology. Seluruh bangunan atas itu mencerminkan  basis ekonomi yang menjadi  dasarnya.[16]
Dalam pandangan Marx, seluruh arah perkembangan sejarah  menuju pada hubungan-hubungan produksi yang tidak lagi cocok dengan keadaan sarana produksi yang bersifat material itu.. dengan kata lain dalam basis ekonomi akan timbul suatu pertentangan kontradiksi, karena ketidak cocokan hubungan-hubungan produksi dengan sarana-sarana produksi. Oleh karena itu kontradiksi dalam basis ekonomi akan nampak juga dalam bangunan atas . bagi Marx hal ini nampak dalam masyarakat industrialis kapitalistis di Eropa pada abad-19. buktinya dalam masyarakat tersebut terdapak dua  kelas yang bertentangan, yaitu kaum kapitalis yang memiliki sarana produksi dan kaum buruh yang menjual tenaga kerjanya  kepada kaum kapitalis. Dalam masyarakat industrialis kapitalis itu kaum buruh telah terasing dari dirinya, dari pekerjaanya, dan sesamanya. Keterasingan buruh menambah ketidak beresan  dalam struktur masyarakat industrialis kapitalistis, dan hal itu tidak akan mampu meredam permusuhan diatara kedua belah pihak tersebut. Dalam pandangan Marx perjuangan kelas tidak dapat dihindari sampai menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas, dimana sarana produksi menjadi milik bersama. Dengan kata lain perjuangan kelas mutlak dilakukan untuk menuju masyarakat yang komunistis.[17]


[1] Penjelasan mengenai  istilah ini tercemin dalam  suatu dalal hegel yang terkenal : semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real. Maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan  luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran atau “ide” yang memikirkan dirinya sendiri ( lihat : kristo, irving. 2001. hal xvii)
[2] Lihat , http://jumbomadonna.multiply.com/Karl_Marx_dan_Pengaruh_Feuerbach
[3] Hartisekar, Markonis, op.cit., hal. 31
[4] Adisusilo,Sutarjo. Sejarah Pemikiran Barat. .(Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.2007) hal 159.

[5] Ibid
[6] Hawton,Hector. Filsafat Yang menghibur. .(Yogyakarta: Ikon Teralitera.2003) hal 155-156.
[7] Adisusilo,Sutarjo, op.cit., hal. 160.
[8] Layuk, Judsriani. Makalah Materialisme histories.(Samarinda : Universitas mulawarman. 2007) hal 6-7
[9] Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektika & Materialisme Historis.( Yogyakarta: LKIS, 2004) hal 131-132.
[10] Ramly, Andi Muawiyah, Op.cit.,hal.132-133
[11] Magnis-suseno, Franz, Op.cit., hal. 151.
[12] Hartisekar, Markonis, op.cit., hal. 31-32
[13] Ibid ., hal. 32-33
[14] Ramly, Andi Muawiyah, op. cit., hal.134-139
[15] Adisusilo,Sutarjo, op.cit., hal. 160
[16] Adisusilo,Sutarjo, op.cit., hal. 160-161
[17] Ibid., hal. 161

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |