Pengaruh Hegel yang seorang idealis dengan dialektikanya, juga
Feuerbach yang humanis dan menekankan pada materialisme, membuat pemikiran Marx
dapat diketegorikan menjadi dua kategori yaitu Materialisme Dialektika dan
Materialisme Historis. Materialisme dalam konteks filsafat sering dilawankan
dengan idealisme,[1]
sebab dalam materialisme ada anggapan bahwa kenyataan berada di luar persepsi
manusia, dan kenyataan obyektif diakui sebagai penentu terakhir dari ide.
Sementara dalam idealisme menyatakan bahwa adanya kesadaran ada karena ide-ide
manusia, di mana di belakang ide-ide itu tidak ada realitas. Materialisme di
sebut juga aliran kebendaan. [2]
1. Dialektika Materialisme
Filosofi Marxisme, secara keseluruhan oleh pengikutnya disebut
dialektika materialisme. Disebut dialektika karena berasal dari filsafat Hegel
tentang dialektika sebagai proses perubahan. Proses dialektika itu bermula dari
adanya thesis (posisi pertama), kemudian muncul antithesis (posisi kedua), dan
akhirnya synthesis (kebenaran), ia kemudian akan menjadi thesis baru yang
meneruskan proses tersebut sampai akhimya mencapai kebenaran mutlak, dan pada
akhimya harus juga berhadapan dengan negasi baru sesuai dengan zamannya.
filsafat dialektika yang dikembangkan Hegel bersifat abstrak. Proses tersebut,
menurut Hegel hanya ,ada dalam cita-cita serta pikiran,saja. Inilah yang
kemudian dibalik oleh Marx. Menurut Marx, yang tergambar dalam cita-cita (the
ideal) itu tidak lain dari dunia nyata (material world) yang direfleksikan oleh
pikiran manusia, dan dipindahkan menjadi buah pikiran. Dengan kata lain,
pikiran atau cita-cita itu menurut Marx dibentuk oleh materi atau benda.
Manusia harus hidup dulu baru ia dapat berpikir. Oleh sebab itu, bukan pikiran
atau cita-cita yang mengubah sejarah melainkan cara berproduksi .[3]
Marx tertarik pada hokum dialektikanya hegel karena ada unsur
kemajuan melalui konflik dan pertentangan. Meskipun marx menolak proses
dialektika, lalu dia balik dialektikanya hegel dengan dialektika materi. Unsur
kemajuan dan konflik yang dia temukan dalam karya Hegel digunakannya untuk menerangkan proses
perkembangan masyarakat melalui
revolusi. Kendati Marx tidak memberikan penjelasan yang tuntas namun Marx telah
meletakkan hukum social yang kemudian hari disempurnakan oleh Lenin, yang
menyimpulkan bahwa materialisme dialektis merupakan hukum dalam revolusi sosial
yang secara pasti berkembang kearah masyarakat komunis, jadi masyarakat komunis
niscaya sampai lewat dialektika.
Dengan hukum dialektika
masyarakat kapitalis telah mengandung
dalam dirinya sendi-sendi kehancuran. Dan dengan proses revolusi proses menuju
masyarakat komunistis dapat segera di capai.[4]
Inti dalam materialisme dialektika secara sederhana dapat kita
paparkan sebagai berikut, Marx mengambil
dua unsur dari gagasan Hegel yaitu
gagasan mengenai pertentangan antara
segi segi yang berlawanan, dan yang kedua dapat terus berkembang tanpa henti.
Jika menurut Hegel dialektika itu berlaku
dalam dunia abstrak maka Marx menandaskan hukum dialektika itu berlaku di dalam
dunia materi, sesuai dengan pandangannya ini Engels menyebutnya materialisme.
Marx mengatakan bahwa dalam setiap benda atau keadaan, dalam tubuhnya sendiri
menimbulkan segi segi yang berlawanan,
bertentangan satu sama lain, dan ini dinamakan kontradiksi. Dari pergumulan
inilah nantinya timbul keseimbangan dan dikatakan bahwa benda atau keadaan itu
telah dinegasikan. [5]
Menurut Engels, “ materi bergerak dalam siklus abadi, yang
melengkapi perjalanannya dalam sebuah periode yang sangat panjang, dan jika
dibandingkan dengan tahun-tahun bumi
kita tidak ada apa-apanya; didalam sebuah siklus dimana periode kehidupan organik
dengan prestasinya yang tinggi- kesadaran diri-merupakan sebuah ruangan
sebagaimana suatu yang relatif kecil dam sejarah kehidupan dan kesadaran diri;
seperti sebuah siklus dimana partikularia membentuk eksistensi materi- baik ia
matahri maupun nebula, suatu partikularia binatang atau spesies binatang,
kombinasi kimia dekomposisi-adalah sama-sama dalam transisi ; dalam sebuah
siklus dimana tidak ada yang abadi kecuali materi yang bergerak secara abadi
dan hukum-hukum gerakannya dan perubahannya.[6]
Sesuai dengan hukum dialektika, gerak itu terus terjadi sehingga setiap kali ditimbulkan suatu negasi
yang lebih baru setiap negasi dianggap
sebuah kemenangan dan yang baru atas
yang lama, suatu kemenangan yang dihasilkan atas kontradiksi-kontradiksi dalam
tubuhnya sendiri. Jadi setiap objek atau keadaan atau benda melahirkan benih benih untuk
penghancuran diri sendiri, untuk
selanjutnya diubah dengan sesuatu yang lebih tinggi mutunya. Negasi dianggap
suatu penghancuran diri yang lama , sebagai hasil dari perkembangan sendiri
yang diakibatkan oleh
kontradiksi-kontradiksi intern. Jadi setiap fenomena bergerak dari taraf
yang rendah menuju ketaraf yang lebih tinggi, bergerak dari keadaan yang
sederhana menuju ke-keadaan yang lebih kompleks.dengan tercapainya negasi yang
tertinggi (masyarakat komunis), maka selesailah proses dialektis.[7]
Berkaitan dengan penjelasan hukum dialektika, Tan Malaka
menerangkan dalam Madilog (Materialisme,
dialektika, logika) dengan membedakannya dengan logika yang berisi hukum
berpikir logis. Logika adalah metode berpikir untuk menetapkan suatu identitas.
Dimana wilayah kerja logika adalah ketika berhadapan dengan satu persoalan yang
sederhana yang hanya membutuhkan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Dimana logika ‘ya’
adalah ‘ya’ dan ‘ya’ adalah “bukan tidak”. Hukum keduanya tidak bisa
dicampuradukkan. Hukum yang lazim dipakai logika dalam pengertian ini adalah A
= A. Sedangkan A bukan non A (tidak A).
Beberapa hukum pokok dialektika juga diutarakan Tan
Malaka dalam beberapa persoalan berikut contohnya dalam kehidupan sehari –
hari, yaitu :
1.
Hukum dialektika selalu
berkaitan dengan waktu.
2.
Hukum dialektika selalu
berkaitan dengan perpaduan di luar dirinya.
3.
Hukum dialektika selalu
berkaitan dengan hukum kontradiksi.
4.
Hukum dialektika selalu
berkaitan dengan gerak.
Melawankan hukum dialektika idealis milik Hegel dengan dialektika
milik Karl Marx dan Engels, Tan Malaka tampak menaruh keberpihakan jelas
terhadapnya. Keberpihakan yang sangat ideologis sehingga tampak sebagai
penjabaran dogma secara rasional, tanpa kritisisme tertentu. Disebutkannya,
bagi Marx Dialektika itu bukanlah semata-mata hukum gerakan pikiran sebagai
cermin realitas, melainkan hukum kebenaran berpikir ketika bertitik tolak dari
benda yang sebenarnya. Adanya hukum pertentangan dan perpaduan sendiri juga
diakui oleh Marx dan Engels, cuma dalam pengertian sebagai perjuangan tanpa
damai dua benda nyata, pertentangan dua kelas dalam masyarakat. Pertentangan
dalam masyarakat itu antara kelas yang berpunya yang ditentukan oleh corak
produksi masyarakatnya. Dengan adanya kemajuan teknik dalam corak produksi
masyarakat yang membuat orang kaya dan berkuasa semakin bertambah kaya dan
kuasa. Sedangkan di pihak yang miskin dan tak kuasa semakin terpuruk dalam
lembah yang miskin dan tak ada kuasa. Perpaduan baru sintesis ini berupa “hak
milik bersama” atas alat-alat produksi yang menghasilkan bagi “kemakmuran
bersama”. Sistesis inilah yang kemudian membayang dalam otak sebagai suatu yang
bertolak dari realitas objektif (materialisme).[8]
2. Materialisme Historis
Telah banyak
diketahui bahwa sebelurn Marx, sejarah ditafsirkan lewat berbagai pendekatan.
Di antara tafsiran itu misalnya mengatakan bahwa sumber penggerak dari seluruh
kejadian adalah berlakunya ketentuan Tuhan. Ragam serta
corak perkembangan segala kemajuan manusia tidak lain adalah melaksanakan kehendak
Tuhan. Inilah penafsiran sejarah yang disebut tinjauan agamis, dan salah satu
kekurangan pendekatan ini adalah tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan
bahwa manusia tidak pernah secara pasti mengetahui kemauan Tuhan. [9]
Penafsiran sejarah sebelum Marx selanjutnya adalah secara politis,
yakni dengan mengatakan bahwa penggerak sejarah adalah kaisar-kaisar, raja,
para ksatria dan serdadu, pembuat undang-undang serta politisi. Erat kaitannya
dengan penafsiran ini adalah pendekatan dari sudut kepahlawanan. Thomas
Carlyle adalah orang tersohor yang memasyarakatkan tafsiran jenis ini.
Rumusannya yang terkenal adalah,” sejarah dunia hanyalah biografi dari
orang-orang besar”. Kelompok ini dapat mengambil bentuk berupa manusia yang
bertindak sebagai dewa, sebagai nabi, orang sud, penyair, penulis dan sebagai
raja. Kelemahan utama penafsiran sejarah macam ini karena terlalu menekankan
peranan sosok perseorangan dan akibatnya melalaikan aspek kultural, ekonomi,
sosial dan agama. Cara penafsiran sejarah sebelum Marx berikutnya adalah
dengan mengedepankan peranan ideide dan gagasan sebagai sebab utama timbulnya
proses sejarah. Terakhir, yaitu penafsiran sejarah dengan melihat pergolakan
dan peperangan yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia.[10]
Jika dalam materialisme
dialektis Marx lebih berbicara mengenai hukum perkembangan yang berlaku dalam
dunia, maka dalam materialisme historis
marx lebih berbicara mengenai siapa penentu arah perkembangan sejarah. Berkaitan dengan itu, Engels
menyebut teori Marx tentang masyarakat dengan istilah "materialisme
historis". yang menekankan pentingnya aspek ekonomi dalam kehidupan. Pandangan
materialisme historis merupakan dasar klaim Marx bahwa sosialismenya adalah
ilmiyah . marx merasa telah menghilangkan
segala kesewenangan dan unsur kebetulan
sebagai factor penentu sejarah, karena ia menghilangkan kebebasan
kehendak manusia sebagai factor perubahan masyarakat yang relevan, yang
akhirnya akan ditentukan oleh faktor
objektif, yaitu tenaga-tenaga produksi.[11]Menurut
Marx, kondisi teknologi produksi, dan pertukaran barang (kekuatan produksi)
bersama-sama dengan sistem pemilikan pribadi (relasi relasi produksi),
menentukan dasar pembagian masyarakat ke dalam dua kelas, dan menentukan pula
dasar-dasar pemerintahan, agama, serta kebudayaan masyarakat. Karena itu,
Marxisme boleh dikata menganut determinisme ekonomi. Marx menyatakan bahwa, situasi
ekonomi mendasari pembentukan sistem sosial, politik, hukum, dan lembaga-lembaga
keagamaan.[12]
Superstruktur masing-masing masyarakat, mengembangkan apa yang disebut
sebagai "ideologi", seperangkat keyakinan resmi atau doktrin agama
yang membenarkan eksistensi kelas yang berkuasa. Marx juga pemah mengartikan
ideologi sebagai "a false consciousness", dengan kata lain
sebuah pandangan dunia yang terdistorsi oleh kepentingan kelas penghisap, dan
dibangun untuk menjustifikasi kepentingan kelas tersebut. Dalam Marx memahami
sejarah perkembangan masyarakat, dan negara. Menurut Marx, pada mulanya dalam
kehidupan komunal di mana alat-alat produksi dimiliki bersama (primitive
communism), penghisapan manusia oleh manusia (exploitation l'home par
l'home) tidak terjadi. Tidak ada pembagian kelas, karena itu tidak ada
penindasan. Dalam masyarakat tidak ada yang namanya.kekuasaan. Karena itu,
negara tidak diperlukan. [13]
Dalam tulisn karl
Marx mengenai sejarah perkembangan masyarakat,
yaitu sejarah kemanusiaan yang berubah dari satu formasi sosial ekonomi ke
formasi yang lebih baru. Diamana didalamnya terjadi lompatan lompatan yang
cukup revolusioner, berikut ini mengenai Tahap perkembangan sejarah
kemanusiaan:
Pertama, masyarakat komunal
primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya
sangat sederhana. Alat produksi itu bukan milik pribadi (perseorangan), tetapi
menjadi milik komunal. Patut dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum
dikenal surplus produksi di atas tingkat konsumsi, karena setiap orang masih
mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsung lama sebab
masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi -
periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan
alat produksi pada saat yang sama menimbulkan perubahan-perubahan sosial; pada
titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari.
Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meski mekanisme pasar yang di
ciptakan masih sederhana. Akhirnya keperluan menghasilkan barang-barang yang
dibutuhkan orang lain meningkat, diperlukan kemudian kaum pekerja dalam rangka
produksi. Hal ini berarti mulai tercipta hubungan produksi (relation of production) dalam masyarakat
komunal itu.
Kedua, masyarakat
perbudakan (slavery), tercipta berkat
hubungan produksi antara orang-orang yang memiliki alat-alat produksi dengan
orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Bermula dari cara kerja model ini
menyebabkan berlipat gandanya keuntungan pemilik produksi. Budak yang bekerja
diberi upah yang minim untuk mempertahankan tingkat kerjanya dan supaya tidak
mati. Bila pembagian kerja dan spesialisasi menerobos bidang-bidang kehidupan
seperti pekerjaan tangan dan pertanian, maka spesialisasi itu sekaligus
mendorong meningkatkan keterampilan dan perbaikan alat-alat produksi. Marx menilai bahwa
pada tingkat perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah
standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau
memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula budak
makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul
ketidakpuasan atas kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini
menjadi awal perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat
produksi.
Ketiga, tingkat
perkembangan masyarakat feodal bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan.
Masyarakat baru ini ditandai dengan pertentangan yang muncul di dalamnya.
Pemilikan alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah.
Para buruh tani yang berasal dari kelas budak
yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah
itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong
adanya perbaikan produksi dan cara produksi di sektor pertanian, maksudnya agar
petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal
sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua
golongan kelas didalam masyarakat yang akan menjelma dalam sistem kapitalis -
yaitu kelas feodal tuan tanah yang menguasai perhuhungan sosial dan kelas
petani yang bertugas melayani tuan tanah dimaksud. Kepentingan kedua kelas ini
berbeda-beda, kaum feudal lebih memikirkan keuntungan yang lebih besar karena
itu mereka memperlebar sektor (bidang usaha) penghasilannya
lewat pend irian pabrik-pabrik. Akibatnya muncul pedagang-pedagang yang
mencari pasar dan melemparkan hasil hasil produksi yang selalu bertambah.
Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat
produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki hapusnya masyarakat feodalisme.
Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh
segala cara untuk terbentuknya pasar bebas - yang menyangkut di dalamnya baik
sektor buruh sistem kerja dan penggajian - maupun ketentuan tarif pertukaran
barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodalis. Proses dialektika
sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang
tidak mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis.
Keempat, masyarakat
kapitalis, seperti telah disebutkan menghendaki kebebasan dalam mekanisme
perekonomian. Hubungan produksi dalam sistem didasarkan pada pemilikan individual (private ownership) masing-masing orang
terhadap alat-alat produksi. Kelas kapitalis mempekerjakan kaum buruh yang
terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi
lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya fenomena baru yaitu,
hubungan produksi yang memungkinkan terus-menerus meningkatkan alat produksi,
caranya adalah memperbaharui pabrik-pabrik, modernisasi mesin-mesin dengan
menggunakan tenaga uap dan listrik. Akibat langsung dari sistem macam ini
adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran
hasil produksi menjadi tugas utama kaum kapitalis, sedang pada saat yang sama
upah dan kesejahteraan yang tidak kunjung datang menjadi dambaan kaum pekerja.
Pada analisis selanjutnya, ditemukan dua kelas dalam masyarakat yang
kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan kelas borjuis yang
mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin
lama makin memuncak yang artinya muncul apa yang disebut dengan pertentangan
kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir dengan terbentuknya
masyarakat tanpa perbedaan kelas (classless society). Ciri utama masyarakat ini adalah pemilikan yang
sifatnya sosial terhadap alat-alat produksi.
Kelima, masyarakat sosialis - yang dipahami sebagai formulasi
terakhir dari lima
tahap perkembangan sejarah Marx .adalah masyarakat dengan sistem pemilikan
produksi yang disandarkan atas hak milik sosial (social ownership). Hubungan produksi
merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan
diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap-tahap perkembangan
sejarah masyarakat sebelumnya adalah, dalam masyarakat sosialis alat-alat
produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi.
Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia mencapai
harkatnya tanpa penindasan. Dengan lain, kata sebuah sistem yang menginginkan
hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.[14]
Dari uraian diatas, arah perkembangan sejarah bukan ditentukan oleh manusia tetapi oleh perkembangan sarana sarana
produksi material. Meskipun sarana sarana produksi tersebut buatan manusia namun arah perkembangan sejarah tidak
tergantung atas kehendak manusia, manusia memang mengadakan sejarah tetapi
manusia tidak bebas mengadakan
sejarahnya. Sama halnya dengan materi
sejarah juga dideterminasi secara
dialektis yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh
kontradiksi-kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas.[15]
Menurut Marx sarana-sarana produksi menentukan produksi. Dengan
hubungan produksi dimaksudkan hubungan manusia yang satu dengan yang lain atas dasar kedudukannya dalam proses produksi.
Ternyata perubahan atau perkembangan sarana produksi membawa dampak
terhadap perubahan produksi juga. Sebagai contoh, hubungan produksi dalam
sepeda motor ditepi jalan Ambarawa,
berbeda dengan di bengkel mobil seperti Raja Garda di jalan Surabaya : karena sarana produksi yang ada
didalamnya memang berbeda. Perbedaan sarana produksi dibengkel kecil dengan di
bengkel besar membawa perbedaan hubungan manusia pula di kedua bengkel tersebut. Menurut Marx
hubungan produksi menentukan semua hubungan sosial lainnya. Dan nyata-nyata
sarana produksi itu bersama-sama dengan
hubungan hubungan produksi membentuk
basis ekonomi yang justru membentuk bangunan di atasnya, yang meliputi
unsur-unsur institusional seperti
kebudayaan, hukum, agama, dan ideology. Seluruh bangunan atas itu
mencerminkan basis ekonomi yang
menjadi dasarnya.[16]
Dalam pandangan Marx, seluruh arah perkembangan sejarah menuju pada hubungan-hubungan produksi yang
tidak lagi cocok dengan keadaan sarana produksi yang bersifat material itu..
dengan kata lain dalam basis ekonomi akan timbul suatu pertentangan kontradiksi,
karena ketidak cocokan hubungan-hubungan produksi dengan sarana-sarana
produksi. Oleh karena itu kontradiksi dalam basis ekonomi akan nampak juga
dalam bangunan atas . bagi Marx hal ini nampak dalam masyarakat industrialis
kapitalistis di Eropa pada abad-19. buktinya dalam masyarakat tersebut terdapak
dua kelas yang bertentangan, yaitu kaum
kapitalis yang memiliki sarana produksi dan kaum buruh yang menjual tenaga
kerjanya kepada kaum kapitalis. Dalam
masyarakat industrialis kapitalis itu kaum buruh telah terasing dari dirinya,
dari pekerjaanya, dan sesamanya. Keterasingan buruh menambah ketidak
beresan dalam struktur masyarakat
industrialis kapitalistis, dan hal itu tidak akan mampu meredam permusuhan
diatara kedua belah pihak tersebut. Dalam pandangan Marx perjuangan kelas tidak
dapat dihindari sampai menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas, dimana sarana
produksi menjadi milik bersama. Dengan kata lain perjuangan kelas mutlak
dilakukan untuk menuju masyarakat yang komunistis.[17]
[1] Penjelasan mengenai istilah
ini tercemin dalam suatu dalal hegel
yang terkenal : semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional
bersifat real. Maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah
proses pemikiran atau “ide” yang memikirkan dirinya sendiri ( lihat : kristo, irving. 2001. hal xvii)
[2] Lihat , http://jumbomadonna.multiply.com/Karl_Marx_dan_Pengaruh_Feuerbach
[3] Hartisekar, Markonis, op.cit.,
hal. 31
[4] Adisusilo,Sutarjo. Sejarah
Pemikiran Barat. .(Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.2007) hal 159.
[5] Ibid
[6] Hawton,Hector. Filsafat Yang
menghibur. .(Yogyakarta: Ikon
Teralitera.2003) hal 155-156.
[7] Adisusilo,Sutarjo, op.cit.,
hal. 160.
[8] Layuk, Judsriani. Makalah
Materialisme histories.(Samarinda : Universitas mulawarman. 2007) hal 6-7
[9] Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme
Dialektika & Materialisme Historis.( Yogyakarta: LKIS, 2004) hal 131-132.
[10] Ramly, Andi Muawiyah, Op.cit.,hal.132-133
[11] Magnis-suseno, Franz, Op.cit.,
hal. 151.
[12] Hartisekar, Markonis, op.cit.,
hal. 31-32
[13] Ibid ., hal. 32-33
[14] Ramly, Andi Muawiyah, op. cit., hal.134-139
[15] Adisusilo,Sutarjo, op.cit.,
hal. 160
[16] Adisusilo,Sutarjo, op.cit.,
hal. 160-161
[17] Ibid., hal. 161
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.