Wednesday, November 14, 2012

Sarana dan Prasarana Penunjang Pendidikan pada masa Hindu-Budha




3.1. Tempat berlansungnya pendidikan
Berdasarkan uraian yang ditulis oleh kuntoyo dan sutjiatiningsih (1981:14) pendidikan pada masa hindu budha memmiliki sarana dan prasarana pendidikan berupa tempat menimba ilmu. Lembaga lembaga pendidikan tersebut dikenal dengan : padepokan.peguron kraton, peguron pertapaan, asrama dan biara


a.Padepokan
Pada hakekatnya padepokan adalah rumah pendeta/ brahmana/ pertapa dengan beberapa ruang yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat untuk belajar mengajar. Lembaga pendidikan ini berjiwa kerakyatan dengan cita-cita ingin mengangkat derajat rakyat. Terbukti bahwa para murid tidak dipungut biaya melainkan berupa bantuan secara sukarela.

b.Peguron/Paguron
Secara harafiah kata peguron/paguron berarti rumah tempat tinggal guru, tempat orang datang berguru, maguru. Pada masa Hindu-Budha kata peguron/paguron sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tempat yaitu peguron kraton dan peguron pertapaan. Peguron kraton adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan di dalam kraton/istana dengan murid para ksatria, pangeran dan kerabat kerajaan. ,Sedangkan peguron pertapaan adalah lembaga pendidikan yang didirikan di pertapaan yang biasanya di hutan dengan cantrik. cekel sebagai muridnya.

c.Asrama
Asrama merupakan lembaga pendidikan yang bercorak Hindu. Biasanya bangunan tersebut terletak di dekat bangunan suci misalnya candi. Bangunan ini merupakan rumah besar yang terdiri dari banyak ruangan. Antara guru dan murid tinggal bersama­sama dalam rumah tersebut. Yang menjadi ciri utama dalam lembaga pendidikan ini adalah persiapan diri bagi murid untuk menghadapi kehidupan sesudah mati.

d.      Biara atau Vihara
Lembaga ini mempunyai corak Budha. Biara atau Vihara ini ditempati oleh para pendeta dan calon pendeta, upasaka dan upasika


3.2. Konsep Guru dan Murid

a. Guru
Guru yaitu memberikan sesuatu kepada anak didiknya. Yang diberikan oleh guru yaitu kekayaan budaya, berupa ilmu kepandaian dan kecakapan sesuai dengan nilai budaya suatu masyarakat. Yang dimaksud dengan nilai budaya disini, ialah hal-hal yang menjadi prinsip sebagai garis kelakuan dan garis berpikir. Oleh karenanya nilai budaya itu terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga maayarakat. Konsep mana adalah mengenai hal-hal yang harua mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Nilai budaya itu biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dengan demikian apabila nilai budaya suatu masyarakat berubah, akan berubah pula tujuan pendidikan yang diberikan.
Dalam masyarakat Hindu, agama menjiwai segala aspek kehidupan, termasuk kebudayaan. Urusan agama adalah milik monopoli kaum brahmana. Dari sumber naskah diketahui bahwa brahmana memegang jabatan sebagai guru. Dalam kitab Sarasamuccaya dapat disimpulkan bahwa, "dharma seorang brahmana ialah mangajya (memberi pelajaran), Mayajna (membuat persajian), mawehadanapunya (memberi dana punya),. magelema tirtha, amaraha (memberi petunjuk)". (Gonggong, 1991:33)
Agama Hindu dimana saja diseluruh dunia bersumber dari kitab suci Veda. Dan dalam perkembangannya ajaran Hindu pecah menjadi dua kelompok utama, yaitu :
1.      Kelompok Mimamsa atau kelompok Brahmana. Ajarannya  adalah  tentang  Upacara  (Yadnya).   Sehingga tidak heran dalam kelompok ini terdapat banyak Yadnya,  yang pada perkembangan selanjutnya menjadi banyak  banten dan binatang yang dikorbankannya, mulai dari Banten Saiban, Mesegeh, Caru dan   puncaknya  adalah   Tawur,    dalam   tingkatan Kanista,  Madya  dan  Utama.  Pada awalnya ajaran  ini  merupakan perpaduan antara ajaran Veda yang otentik dengan peradaban lembah sungai Sindhu.  Dari ajaran ini  lahir  bentuk – bentuk upakara dan turunannya.
2.      kelompok Vedanta adalah  kelompok yang dalam prakteknya tidak mengunakan banyak upacara, tetapi lebih pada Meditasi, filsafat dan Bhakti dan sering pula dikenal dengan kegiatan  Kirtanam, Smaranam, pudja dan sedikit agni hotra.
Para kaum brahmana tidak boleh melakukan upacara-upacara besar demi bisnis “banten” semata. Awig-awig (hukum) adat juga harus selalu bersandar pada prinsip-prinsip Veda. Jangan sampai pembuatan awig-awig ditunggangi oleh kepentingan sesaat yang bersifat pribadi. Disinilah peran brahmana menjadi sangat penting dalam memberi pengajaran guna menjaga kedamaian.
Status guru atau pendidik pada masa Hindu/Budha mendapat tempat yang baik dan terhormat di masyarakat. Tokoh guru senantiasa mendapat penghormatan. Pada masa itu, sebagai perwujudan dari rasa hormat terhadap para "guru", seringkali negara memberi hadiah tanah. Sebagai bukti adalah prasasti Kalasan (778 M), dimana disebutkan tentang pendirian bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta serta raja Panangkaran yang menghadiahkan Desa Kalasan kepada Sangha. Bukti lain yaltu data yang terdapat pada Prasasti Dinoyo (760 M).

Prasasti Dinoyo memberi petunjuk bahwa Hinduisme yang pertama kali masuk ke Jawa Timur adalah aliran Ciwaisme penganuut pendeta (rsi) Agastya. Di situ disebutkan bahwa Raja Gajayana dan nenek moyangnya berbakti kepada Rsi Agastya. Kemudian mendirikan candi untuk Rsi Agastya. Candi tersebut oleh Prof.Dr.Poerbacaraka dihubungkan dengan candi Badut yang di dalamnya terdapat area Rsi Agastya. (Soewaryadi, 1981:103)

Dalam hal ini Agastya adalah tokoh guru mitologi Hindu dan murid Ciwa yang berhasil menyiarkan agama.ciwaisme di selatan. Hal tersebut membuat agastya dihormati oleh masyarakat India dan juga masyarakat Indonesia, bahkan Agastya dianggap sebagai wakil Ciwa.Selain guru dari bramana adapula guru dari pendheta budha, dimana kedua nya memiliki status yang sama di mata masyarakat.

B. Murid

Seperti halnya di India, kehidupan masyarakat Hindu di Indonesia juga dibagi menjadi empat tingkatan/catur asrama, yaitu brahmacari, grhastha, wanaprastha dan sanyasin atau bhisksuka. Mengenai arti keempat tingkatan kehidupan yang pertama dilalui oleh setiap orang ialah tahapan menjadi brahmacari atau tahapan menuntut ilmu. Dalam tahapan ini mereka menjalani kehidupan di dalam perumahan bersama-sama dengan brahmana untuk mempelajari berbagai ilmu. Saat itu usia mereka masih sangat muda sekali. Di tempat tersebut brahmana selain bertindak sebaga guru, juga merupakan pengganti orang tua Mengenai perlakuan yang harus diberikan kepada anak pada masa Jawa Kuna dapat diketahui pada kitab Nitisastra.

Dalam kitab Nitisastra (IV, 20, V.1;VI.1) ada penyebutan tentang perlakuan yang harus diterapkan kepada anak yaitu: Anak yang sudah berumur 5 tahun hendaklah diperlakukan seperti halnya anak raja, tetapi jika sudah berumur 7 tahun mulai dilatih agar suka menurut, baru setelah berusla sekitar 10 tahun mulai diajari membaca. Sesudah berumur 16 tahun hendaknya diperlakukan seperti sahabat, jika hendak menunjukkan kesalahannya harus dilakukan dengan hati-hati. Namun apabila anak itu sudah mempunyai anak, hendaknya diamati saja tingkah lakunya, dan kalau memberi pelajaran kepadanya cukup dengan gerak dan alamat saja. Selanjutnya di baglan lain dikatakan "jangan memanjakan anak, anak yang dimanjakan akan menjadi jahat dan pasti ia akan menyimpang dari aturan yang benar. Jika menggunakan peraturan ketertiban dan hukuman dengan seksama, maka anak itu akan menjadi baik perangainya, lagi berpengetahuan. Anak itu akan dihormati oleh wanita, disayangi serta dihargai oleh orang baik­baik". (Gonggong, 1991:36)

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |