3.1. Tempat
berlansungnya pendidikan
Berdasarkan uraian yang ditulis oleh kuntoyo dan sutjiatiningsih
(1981:14) pendidikan pada masa hindu budha memmiliki sarana dan prasarana
pendidikan berupa tempat menimba ilmu. Lembaga lembaga pendidikan tersebut
dikenal dengan : padepokan.peguron kraton, peguron pertapaan, asrama dan biara
a.Padepokan
Pada hakekatnya
padepokan adalah rumah pendeta/ brahmana/ pertapa dengan beberapa ruang yang
berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat untuk belajar mengajar. Lembaga
pendidikan ini berjiwa kerakyatan dengan cita-cita ingin mengangkat derajat
rakyat. Terbukti bahwa para murid tidak dipungut biaya melainkan berupa bantuan
secara sukarela.
b.Peguron/Paguron
Secara harafiah kata
peguron/paguron berarti rumah tempat tinggal guru, tempat orang datang berguru,
maguru. Pada masa Hindu-Budha kata peguron/paguron sebagai tempat pendidikan
terdiri dari dua tempat yaitu peguron kraton dan peguron pertapaan. Peguron
kraton adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan di dalam kraton/istana
dengan murid para ksatria, pangeran dan kerabat kerajaan. ,Sedangkan peguron
pertapaan adalah lembaga pendidikan yang didirikan di pertapaan yang biasanya
di hutan dengan cantrik. cekel sebagai muridnya.
c.Asrama
Asrama merupakan
lembaga pendidikan yang bercorak Hindu. Biasanya bangunan tersebut terletak di
dekat bangunan suci misalnya candi. Bangunan ini merupakan rumah besar yang
terdiri dari banyak ruangan. Antara guru dan murid tinggal bersamasama dalam
rumah tersebut. Yang menjadi ciri utama dalam lembaga pendidikan ini adalah persiapan
diri bagi murid untuk menghadapi kehidupan sesudah mati.
d.
Biara atau Vihara
Lembaga ini mempunyai corak Budha. Biara
atau Vihara ini ditempati oleh para pendeta dan calon pendeta, upasaka dan
upasika
3.2. Konsep
Guru dan Murid
a. Guru
Guru yaitu memberikan sesuatu kepada anak didiknya. Yang diberikan
oleh guru yaitu kekayaan budaya, berupa ilmu kepandaian dan kecakapan sesuai
dengan nilai budaya suatu masyarakat. Yang dimaksud dengan nilai budaya disini,
ialah hal-hal yang menjadi prinsip sebagai garis kelakuan dan garis berpikir.
Oleh karenanya nilai budaya itu terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam
alam pikiran sebagian besar warga maayarakat. Konsep mana adalah mengenai
hal-hal yang harua mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Nilai budaya itu
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dengan
demikian apabila nilai budaya suatu masyarakat berubah, akan berubah pula
tujuan pendidikan yang diberikan.
Dalam masyarakat Hindu, agama menjiwai segala aspek kehidupan, termasuk
kebudayaan. Urusan agama adalah milik monopoli kaum brahmana. Dari sumber
naskah diketahui bahwa brahmana memegang jabatan sebagai guru. Dalam kitab
Sarasamuccaya dapat disimpulkan bahwa, "dharma seorang brahmana ialah
mangajya (memberi pelajaran), Mayajna (membuat persajian), mawehadanapunya
(memberi dana punya),. magelema tirtha, amaraha (memberi petunjuk)".
(Gonggong, 1991:33)
Agama Hindu dimana saja diseluruh dunia bersumber dari kitab suci
Veda. Dan dalam perkembangannya ajaran Hindu pecah menjadi dua kelompok utama,
yaitu :
1.
Kelompok Mimamsa atau kelompok
Brahmana. Ajarannya adalah tentang Upacara
(Yadnya). Sehingga tidak heran dalam kelompok ini terdapat banyak
Yadnya, yang pada perkembangan selanjutnya menjadi banyak banten
dan binatang yang dikorbankannya, mulai dari Banten Saiban, Mesegeh,
Caru dan puncaknya adalah Tawur,
dalam tingkatan Kanista, Madya dan Utama.
Pada awalnya ajaran ini merupakan perpaduan antara ajaran Veda yang
otentik dengan peradaban lembah sungai Sindhu. Dari ajaran ini
lahir bentuk – bentuk upakara dan turunannya.
2.
kelompok Vedanta adalah
kelompok yang dalam prakteknya tidak mengunakan banyak upacara, tetapi
lebih pada Meditasi, filsafat dan Bhakti dan sering pula dikenal dengan
kegiatan Kirtanam, Smaranam, pudja dan sedikit agni hotra.
Para kaum
brahmana tidak boleh melakukan upacara-upacara besar demi bisnis “banten”
semata. Awig-awig (hukum) adat juga harus selalu bersandar pada prinsip-prinsip
Veda. Jangan sampai pembuatan awig-awig ditunggangi oleh kepentingan sesaat
yang bersifat pribadi. Disinilah peran brahmana menjadi sangat penting dalam
memberi pengajaran guna menjaga kedamaian.
Status
guru atau pendidik pada masa Hindu/Budha mendapat tempat yang baik dan
terhormat di masyarakat. Tokoh guru senantiasa mendapat penghormatan. Pada masa
itu, sebagai perwujudan dari rasa hormat terhadap para "guru",
seringkali negara memberi hadiah tanah. Sebagai bukti adalah prasasti Kalasan
(778 M), dimana disebutkan tentang pendirian bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta serta raja
Panangkaran yang menghadiahkan Desa Kalasan kepada Sangha. Bukti lain yaltu
data yang terdapat pada Prasasti Dinoyo (760 M).
Prasasti Dinoyo
memberi petunjuk bahwa Hinduisme yang pertama kali masuk ke Jawa Timur adalah
aliran Ciwaisme penganuut pendeta (rsi) Agastya. Di situ disebutkan bahwa Raja
Gajayana dan nenek moyangnya berbakti kepada Rsi Agastya. Kemudian mendirikan candi
untuk Rsi Agastya. Candi tersebut oleh Prof.Dr.Poerbacaraka dihubungkan dengan candi
Badut yang di dalamnya terdapat area Rsi Agastya. (Soewaryadi, 1981:103)
Dalam hal ini Agastya adalah tokoh guru mitologi Hindu dan murid Ciwa
yang berhasil menyiarkan agama.ciwaisme di selatan. Hal tersebut membuat
agastya dihormati oleh masyarakat India dan juga masyarakat Indonesia, bahkan
Agastya dianggap sebagai wakil Ciwa.Selain guru dari bramana adapula guru dari
pendheta budha, dimana kedua nya memiliki status yang sama di mata masyarakat.
B. Murid
Seperti halnya di India,
kehidupan masyarakat Hindu di Indonesia
juga dibagi menjadi empat tingkatan/catur asrama, yaitu brahmacari, grhastha,
wanaprastha dan sanyasin atau bhisksuka. Mengenai arti keempat tingkatan kehidupan
yang pertama dilalui oleh setiap orang ialah tahapan menjadi brahmacari atau
tahapan menuntut ilmu. Dalam tahapan ini mereka menjalani kehidupan di dalam
perumahan bersama-sama dengan brahmana untuk mempelajari berbagai ilmu. Saat itu
usia mereka masih sangat muda sekali. Di tempat tersebut brahmana selain bertindak
sebaga guru, juga merupakan pengganti orang tua Mengenai perlakuan yang harus
diberikan kepada anak pada masa Jawa Kuna dapat diketahui pada kitab Nitisastra.
Dalam kitab Nitisastra (IV, 20,
V.1;VI.1) ada penyebutan tentang perlakuan yang harus diterapkan kepada anak
yaitu: Anak yang sudah berumur 5 tahun hendaklah diperlakukan seperti halnya
anak raja, tetapi jika sudah berumur 7 tahun mulai dilatih agar suka menurut,
baru setelah berusla sekitar 10 tahun mulai diajari membaca. Sesudah berumur 16
tahun hendaknya diperlakukan seperti sahabat, jika hendak menunjukkan
kesalahannya harus dilakukan dengan hati-hati. Namun apabila anak itu sudah
mempunyai anak, hendaknya diamati saja tingkah lakunya, dan kalau memberi
pelajaran kepadanya cukup dengan gerak dan alamat saja. Selanjutnya di baglan
lain dikatakan "jangan memanjakan anak, anak yang dimanjakan akan menjadi
jahat dan pasti ia akan menyimpang dari aturan yang benar. Jika menggunakan
peraturan ketertiban dan hukuman dengan seksama, maka anak itu akan menjadi
baik perangainya, lagi berpengetahuan. Anak itu akan dihormati oleh wanita, disayangi
serta dihargai oleh orang baikbaik". (Gonggong, 1991:36)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.