Memahami persoalan
mengenai prilaku politik masyarakat di negara kita, lebih enak apabila kita
membelah dengan membangi kepada dua kategori masyarakat kita, yaitu masyarakat
perkotaan dan masyarakat pedesaan atau tradisional. Sebagai asumsi umum
masyarakat perkotaan merupakan bagian dari waga negara Indonesia yang sudah
melek hurup dengan demikian mereka lebih bisa untuk bertindak rasional.
Tindakan-tindakan politik mereka akan selalu di ukur dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional termasuk ketelibatannya dalam politik
khususnya pemilu. Dengan beragamnya partai yang berbasiskan primordialitas
(khususnya agama), warga kota yang punya keterikatan agama tertentu, walaupun
mereka memilih partai ayang berbasiskankan agama, namun pilihan mereka
cenderung lebih pada bagaimana program dan kinerja parpol tersebut selama ini.
Walaupun demikian, ada kecenderungan besar bahwa warga kota akan memilih bukan
partai yang berbasiskan primordialisme dengan tetap berasusmsi pada kepentingan
merupakan hal yang harus di agregasikan oleh partai tersebut walaupun belum
tentu seluruhnya demikian. Dengan demikian, sebenarnya kehidupan politik akan
nampak nyata di didaerah perkotaan ini apabila masyarakat meyakini dan
mempercayai proses politik yang sedang berjalan ini betul-betul akuntabel,
sebab dengan adanya kepercayaan ini, masyarakat akan berupaya berpartisipasi
secara aktif dalam politik.
Sementara di level
pedesaan, masyarakat yang umumnya mempunyai tingkat pendidikan yang rendah,
dengan afiliasi politik yang kental dengan basis tradisional akan sulit bagi
mereka untuk memahami kenyataan bahwa politik itu adalah bagian dari hak
mereka. Artinya politik bagi mereka tidak dipahami sebagai sebuah sarana untuk
menjamin kehidupan mereka, bahkan mungkin justru politik bagi mereka adalah
sebuah kepatuhan dan kewajiban. Dengan demikian, kehidupan politik akan sangat
hambar hal ini dikarenakan partai politik tidak akan berupaya untuk bersaing
dengan kontestan pemilu lain dengan gagasan dan ide-ide yang terkait dengan
program kerja partai. Partai politik akan berupaya mempergunakan jaring-jaring
sosial dalam masyarkat pedesaan yang sangat efektif untuk melakukan mobilisasi
massa.
Kenyataan tersebut
diatas sudah dan akan terjadi lagi pada saat-saat pemilu yang akan datang,
tidak hanya partai yang jelas-jelas bebasiskan Islam tapi juga seluruh partai
yang punya peluang untuk memperguanakannya. Jaring-jaring sosial keagaamaan
yang paling menonjol di negara kita di representasikan oleh warga nahdiliyin
yang mempunyai tingkat patronase tinggi terhadap kyainya. Apabila banyak partai
yang menyatakan diri sebagai partai Islam dan mempunyai link dengan jaringan
itu, maka yang terjadi adalah perebutan jaring-jaring sosial keagamaan itu.
Lantas yang paling menghawatirkan adalah pertarungan partai politik dalam
memperebutkan massa lewat jaring sosial keagamaan ini akan berpengaruh pada
keharmonisan kehidupan sosial masyarakat. Pada posisi demikian akan banyak
masyarakat kebingungan, artinya apakah dia harus mengikuti afiliasi patron
mereka yang sudah terkontaminasi politik tertentu ataukah tidak. Proses menurut hemat saya proses perebutan basis
massa ini akan jauh mempengaruhi keharmonisan masyarakat di tingkat pedesaan.
Tidak hanya melahirkan konflik antar kelompok tetapi juga daerah dan bahkan di
tingkat keluarga
Kalau kita ikuti
pembilahan sosial yang dikemukakan oleh Cliford Geertz mengenai Islam di Indonesia,
yaitu kelompok santri, kelompok priyayi, dan kemlompok abangan, maka dalam
kategori ini kelompok santri akan menjadi representasi pemilih Indoensia yang
berafiliasi pada partai berbasiskan Islam. Sementara kelompok priyayi dan
abangan akan masuk kedalan partai politik yang berbasis nasionalis.
sumber :
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.