Thursday, January 31, 2013

PUPUTAN MARGARANA DAN I GUSTI NGURAH RAI




Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, 30 Januari 1917 adalah seorang pahlawan Indonesia dari Kabupaten Badung, Bali. I Gusti Ngurah Rai tamat sekolah menengah (MULO) di Malang. Beliau kemudian melanjutkan sekolah militer di Gianyar di pendidikan militer Corps Oplayding Voor Recet Officeerent ( pendidikan perwira cadangan di Magelang). Setelah lulus beliau diangkat menjadi perwira di Corps Prayuda Bali dengan pangkat letnan dua. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945, I Gusti ngurah Rai mendapat tugas untuk membangun TKR di daerah Sunda Kecil. Tujuan dibentuknya TKR ini adalah untuk membentengi serangan Belanda.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Pasukan Belanda pun mendatangkan bantuan dari Lombok. Pertempuran sering terjadi sehingga pihak Belanda pernah mengirim surat kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan. Beberapa bulan kemudian Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan di Bali seperti yang tertera dalam surat Kapten J.I.M. Kunie. Saat itu dengan lugas Ngurah Rai menjawab perundingan diserahkan kepada pemimpin diatas. Beliau menganggap bahwa Bali bukanlah tempat untuk melakukan perundingan tersebut. Beliau menganggap dirinya hanyalah rakyat biasa yang hanya akan melakukan perlawanan bukan perundingan. Ngurah Rai merasa lebih baik melakukan perang daripada harus melakukan perundingan. Pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat terutama para pemuda Bali.
I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali dikenal dengan sebutan Long March. Selama diadakan Long March itu pasukan Ciung Wanara sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. Perpindahan ini diketahui oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengadakan serangan besar-besaran di desa marga. Namun saat itu pasukan I GUsti Ngurah Rai yakni pasukan Ciung Wenara berhasil menghalaunya.
Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai pun berhasil membujuk seorang komandan polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada tanggal 20 November 1946 dini hari, pasukan Belanda mulai mengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ciung Wanara bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda kurang lebih 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Kompleks Candi margarana adalah taman makan pahlawan untuk menghormati jasa pahlawan kemerdekaan yang gugur dalam perang puputan, 20 November 1946. Dalam perang sengit yang tak berimbang itu pasukan laskar Bali yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai, semuanya gugur akibat gempuran udara yang dahsyat oleh tentara Belanda. Sebagai penghormatan, abu jenazah I Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya yang gugur di dalam pertempuran tersebut ditanam di sini.
Di Candi Pahlawan ini dapat menyaksikan beberapa prasasti yang merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai yang tak mau berkompromi apalagi tunduk pada Belanda. Karena pasukan I bawah komando Ngurah Rai tersebut bernama pasukan Ciung Wanara, taman makam pahlawan ini pun dikenal dengan nama Taman Makam Pahlawan Ciung Wanara. Taman ini terletak sekitar 25 kilometer dari Denpasar atau sekitar 13  kilometer dari Tabanan.
            Dengan didukung berbagai filosofi agama, sebagai titik tolak mengenai Ke-Maha Kuasaan Tuhan. Agama hindu mengariskan pelaksanaan yadnya dalam lima bagian yang di sebut dengan panca yadnya, yang diuraikan menjadi :
  1. dewa Yadnya : persembahan dan pemujaan terhada ida sang hyang widhi wasa.
  2. pitra Yadnya : penghormatan kepada leluhur, keluarga, orang tua yang telah meninggal.
  3. resi yadnya : penghormatan kepada orang bijak, pandai dan yang telah menyebarkan agama hindu.
  4. manusia yadnya : proses menghargai diri sendiri, menghormati dan memlihara keluarga.
  5. bhuta yadnya : persembahan terhadap kekuatan dan sumber alam semesta.
Upacara bhuta yadnya, dilakukan oleh masyrakat bali dalam berbagai tingkatan, ada yang dilakukan dalam sekala kecil setiap, ada yang dilakukan dalam skala minguan, bulanan, tahunan, hingga ratusan tahun.
            Dari berbagai uapcara yang ada di bali telah menunjukan begitu besarnya rasa hormat mereka kepada sang pencipta dan lingkungan dan sesama manusia baik itu keluarga leluahur maupun pahlawan di Bali, perhormatan yang dilakukan tidak lepas dari ceremonial yang identik dengan budaya masyarakat bali.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |