Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Carangsari,
Kabupaten Badung, 30 Januari 1917 adalah seorang pahlawan Indonesia dari
Kabupaten Badung, Bali. I Gusti Ngurah Rai tamat sekolah menengah (MULO) di
Malang. Beliau kemudian melanjutkan sekolah militer di Gianyar di pendidikan
militer Corps Oplayding Voor Recet Officeerent ( pendidikan perwira cadangan di
Magelang). Setelah lulus beliau diangkat menjadi perwira di Corps Prayuda Bali
dengan pangkat letnan dua. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada bulan
Agustus 1945, I Gusti ngurah Rai mendapat tugas untuk membangun TKR di daerah
Sunda Kecil. Tujuan dibentuknya TKR ini adalah untuk membentengi serangan
Belanda.
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena
pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh
karena itu, induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan
di Bali, didatangkan bantuan dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke
dalam pasukan yang ada di Bali. Pasukan Belanda pun mendatangkan bantuan dari
Lombok. Pertempuran sering terjadi sehingga pihak Belanda pernah mengirim surat
kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan. Beberapa bulan kemudian
Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan
di Bali seperti yang tertera dalam surat Kapten J.I.M. Kunie. Saat itu dengan
lugas Ngurah Rai menjawab perundingan diserahkan kepada pemimpin diatas. Beliau
menganggap bahwa Bali bukanlah tempat untuk melakukan perundingan tersebut.
Beliau menganggap dirinya hanyalah rakyat biasa yang hanya akan melakukan
perlawanan bukan perundingan. Ngurah Rai merasa lebih baik melakukan perang
daripada harus melakukan perundingan. Pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan
terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat terutama
para pemuda Bali.
I Gusti Ngurah Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan
perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali dikenal dengan sebutan Long March.
Selama diadakan Long March itu pasukan Ciung Wanara sering dihadang oleh
tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa
kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran
yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem.
Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak
menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah
barat menuju banjar ole yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk
lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota
pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. Perpindahan
ini diketahui oleh pasukan Belanda. Mereka pun mengadakan serangan
besar-besaran di desa marga. Namun saat itu pasukan I GUsti Ngurah Rai yakni
pasukan Ciung Wenara berhasil menghalaunya.
Pada waktu berada di desa marga Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai
memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota
Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan
berhasil baik. Beberapa senjata dan pelurunya dapat direbut. I Gusti Ngurah Rai
pun berhasil membujuk seorang komandan polisi NICA untuk ikut menggabungkan diri
kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga.
Pada tanggal 20 November 1946 dini hari, pasukan Belanda mulai mengadakan
pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi
tembak-menembak antara pasukan NICA dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pada
pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati
tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua
tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari
Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ciung
Wanara bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah
pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" sehingga pasukan yang berjumlah
96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak
Belanda kurang lebih 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut
kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan
Bangsa.
Kompleks Candi margarana adalah taman makan pahlawan untuk
menghormati jasa pahlawan kemerdekaan yang gugur dalam perang puputan, 20
November 1946. Dalam perang sengit yang tak berimbang itu pasukan laskar Bali
yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai, semuanya gugur akibat gempuran
udara yang dahsyat oleh tentara Belanda. Sebagai penghormatan, abu jenazah I
Gusti Ngurah Rai beserta segenap pasukannya yang gugur di dalam pertempuran
tersebut ditanam di sini.
Di Candi Pahlawan ini dapat menyaksikan beberapa prasasti yang
merupakan salinan surat dari I Gusti Ngurah Rai yang tak mau berkompromi
apalagi tunduk pada Belanda. Karena pasukan I bawah komando Ngurah Rai tersebut
bernama pasukan Ciung Wanara, taman makam pahlawan ini pun dikenal dengan nama
Taman Makam Pahlawan Ciung Wanara. Taman ini terletak sekitar 25 kilometer dari
Denpasar atau sekitar 13 kilometer dari
Tabanan.
Dengan didukung berbagai filosofi
agama, sebagai titik tolak mengenai Ke-Maha Kuasaan Tuhan. Agama hindu
mengariskan pelaksanaan yadnya dalam lima bagian yang di sebut dengan panca
yadnya, yang diuraikan menjadi :
- dewa Yadnya : persembahan dan pemujaan terhada ida sang hyang widhi wasa.
- pitra Yadnya : penghormatan kepada leluhur, keluarga, orang tua yang telah meninggal.
- resi yadnya : penghormatan kepada orang bijak, pandai dan yang telah menyebarkan agama hindu.
- manusia yadnya : proses menghargai diri sendiri, menghormati dan memlihara keluarga.
- bhuta yadnya : persembahan terhadap kekuatan dan sumber alam semesta.
Upacara bhuta yadnya, dilakukan oleh masyrakat bali dalam berbagai
tingkatan, ada yang dilakukan dalam sekala kecil setiap, ada yang dilakukan
dalam skala minguan, bulanan, tahunan, hingga ratusan tahun.
Dari berbagai uapcara yang ada di
bali telah menunjukan begitu besarnya rasa hormat mereka kepada sang pencipta
dan lingkungan dan sesama manusia baik itu keluarga leluahur maupun pahlawan di
Bali, perhormatan yang dilakukan tidak lepas dari ceremonial yang identik
dengan budaya masyarakat bali.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.