Hal yang masih menjadi permasalahan utama pesantren
adalah, orientasi ke belakang atau salaforiented
masih jauh lebih kuat daripada orientasi ke depan dan ini
tentu tercermin dalam sistem pembelajaran dunia pesantren. Lebih rancu lagi
adalah penggunaan istilah "salaf" yang belum ada kejelasannya di
lingkungan pesantren. Dalam seminar Aswaja dan Budaya yang digelar Nahdlatul
Ulama (NU) di Semarang menjelang Pemilu beberapa tahun lalu yang juga dihadiri
Abdurrahman Wahid, di depan para al-Mukarramun para Kiai, penulis sebagai salah
satu narasumber mengusulkan mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan
tetap mempertahankan nilainilai lama yang baik. Hal ini sesuai dengan
pandangan dasar Abdurrahman Wahid yang melihat Aswaja sebagai satu ideologi
yang dinamis, tidak pernah berhenti.
Argumen lain yang mendasari usul perubahan
itu adalah NU selama ini telah sangat berhasil dalam masalah-masalah muhafadhah termasuk dalam bidang budaya
yang kemudian penulis sebut dalam satu penelitian sebagai cultural maintenance dan modeling yang memiliki akar-akar budaya
dari Walisongo sebagai elite culture. Ilustrasi
ini menekankan bahwa pada dunia pesantren, pada umumnya lebih berorientasi pada
masa lalu dan kurang memberikan perhatian dan ruang secara khusus pada masa
depan. Penulis berasumsi bahwa ini adalah imbas serta pengaruh ajaran dasar di
atas. Hal ini tentu membutuhkan perubahan paradigmatik dan waktu serta usaha
yang memadai dari semua pihak khususnya dari lingkungan pesantren. Pembelajaran
yang hanya berorientasi pada masa lalu, jelas tidak punya masa depan dan akan
kehilangan relevansinya dengan konteks kedisinian dan kekinian.[1]
Dengan
ajaran al-akhdhu, idealnya para
santri diberi fleksibilitas untuk mengembangkan minatnya Berdialog dengan dunia
luar pesantren . Pesantren harus
mampu berdialog dengan kebudayaan modern dan secara aktif mengisinya dengan
substansi dan nuansa-nuansa islami. Hal ini hanya bisa dilakukan bila kita
memahami arus globalisasi, informasi secara benar, dan tidak bersikap
eksklusif. Benarlah apa yang dikatakan futurolog John Naisbitt: "The new source of power is not money in the hands of a Jew but information in the hands of ma'!y" (Kekuatan
baru dewasa ini bukanlah harta karun di tangan segelintir manusia, melainkan
jaringan-jaringan informasi di tangan banyak manusia). Relevan juga apa yang
dikatakan ahli manajemen, Peter Drucker bahwa: "The productivity of knowledge became the key to productivity,
competitive strength, and economic achievement. Knowledge has already become the primary industry, the industry that
supplies the economy with the essential and central resources of
production"'2 (produktivitas ilmu pengetahuan
telah menjadi kunci produktivitas, daya saing, dan prestasi ekonomj. Ihnu
pengetahuan telah menjadi industri utama, yakni industri yang melengkapi
kebutuhan ekonomi dengan sumber-sumber produksi utama yang sangat penting).[2]
fenomena
pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya,
tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya
untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan
calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional.Kurikulum pendidikan
pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah
(perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren
berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak
“ortodoks”sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk
perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka
bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.
Mencermati
hal di atas, bentuk pendidikan pesantren yang hanya mendasarkan pada kurikulum
“salafi” dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kiai tampaknya
merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman
yang senantiasa melaju dengan cepat ini.Bentuk pesantren yang demikian akan
mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan
normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk
menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses
perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren
dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya,
kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang “mumpuni” dan dipandang mampu
serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis.
Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan
tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan
ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum
perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan
masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada
sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin
ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam bentuk
kedua,dalam
menentukan model kurikulum yang digunakan di pesantren di lakukan dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi
yang berkembang dalam masyarakat. Pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dan lembaga
sekolah, hubungan ideal antara keduanya perlu dikembangkan. Kesadaran dalam
mengembangkan bentuk kedua ini, tampaknya mulai tumbuh di kalangan umat Islam.
Namun dalam kondisi riil, keberadaan pesantren yang telah mengadopsi kurikulum
sekolah (madrasah), ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Di sana-sini masih banyak terlihat kendala yang dihadapinya sehingga
hasilnya pun belum pada taraf memuaskan. Oleh karena itu, upaya untuk
merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk
siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak
mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan.
Hal di atas dimaksudkan untuk melahirkan manusia yang
memiliki keterampilan di bidang perdagangan, pertanian, perusahaan, akan tetapi
tidak pemah kemampuan dan kesempatan serta keterampilan yang dimiliki itu,
tidak menghalangi kewajibannya untuk tetap mengikuti kebesaran dan
ketentuan-ketentuan Allah, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, menegakan amal
perbuatan yang baik di segala bidang kehidupan.[3]
Dengan kesadaran ini dapat diyakini bahwa integritas pendidikan
sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren, sebagaimana tampak dewasa
ini, merupakan kecenderungan positif yang diharapkan bisa menepis beberapa
kelemahan masing-masing. Bagi pendidikan pesantren, integrasi semacam itu
merupakan peluang yang sangat strategis untuk mengembangkan tujuan pendidikan
secara lebih aktual dan kontekstual.
[2] .Dian Nafi', M. op.cit. Hal 101-102
[3] Malik M. Thaha Tuanaya, dkk.
Modernisasi Pesantren.. Jakarta: . 2007. hal.134
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.