Tuesday, February 5, 2013

DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN DALAM DUNIA PESANTREN (Ferdi)


Hal yang masih menjadi permasalahan utama pesantren adalah, orientasi ke belakang atau salaforiented  masih jauh lebih kuat daripada orientasi ke depan dan ini tentu tercermin dalam sistem pembelajaran dunia pesantren. Lebih rancu lagi adalah penggunaan istilah "salaf" yang belum ada kejelasannya di lingkungan pesantren. Dalam seminar Aswaja dan Budaya yang digelar Nahdlatul Ulama (NU) di Semarang menjelang Pemilu beberapa tahun lalu yang juga dihadiri Abdurrahman Wahid, di depan para al-Mukarramun para Kiai, penulis sebagai salah satu narasumber mengusulkan mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap mempertahankan nilai­nilai lama yang baik. Hal ini sesuai dengan pandangan dasar Abdurrahman Wahid yang melihat Aswaja sebagai satu ideologi yang dinamis, tidak pernah berhenti.

 Argumen lain yang mendasari usul perubahan itu adalah NU selama ini telah sangat berhasil dalam masalah-masalah muhafadhah termasuk dalam bidang budaya yang kemudian penulis sebut dalam satu penelitian sebagai cultural maintenance dan modeling yang memiliki akar-akar budaya dari Walisongo sebagai elite culture. Ilustrasi ini menekankan bahwa pada dunia pesantren, pada umumnya lebih berorientasi pada masa lalu dan kurang memberikan perhatian dan ruang secara khusus pada masa depan. Penulis berasumsi bahwa ini adalah imbas serta pengaruh ajaran dasar di atas. Hal ini tentu membutuhkan perubahan paradigmatik dan waktu serta usaha yang memadai dari semua pihak khususnya dari lingkungan pesantren. Pembelajaran yang hanya berorientasi pada masa lalu, jelas tidak punya masa depan dan akan kehilangan relevansinya dengan konteks kedisinian dan kekinian.[1]
            Dengan ajaran al-akhdhu, idealnya para santri diberi fleksibilitas untuk mengembangkan minatnya Berdialog dengan dunia luar pesantren . Pesantren harus mampu berdialog dengan kebudayaan modern dan secara aktif mengisinya dengan substansi dan nuansa-nuansa islami. Hal ini hanya bisa dilakukan bila kita memahami arus globalisasi, informasi secara benar, dan tidak bersikap eksklusif. Benarlah apa yang dikatakan futurolog John Naisbitt: "The new source of  power is not money  in the hands of a Jew but information in the hands of ma'!y" (Kekuatan baru dewasa ini bukanlah harta karun di tangan segelintir manusia, melainkan jaringan-jaringan informasi di tangan banyak manusia). Relevan juga apa yang dikatakan ahli manajemen, Peter Drucker bahwa: "The productivity of knowledge became the key to productivity, competitive strength, and economic achievement. Knowledge has already become the primary industry, the industry that supplies the economy with the essential and central resources of production"'2 (produktivitas ilmu pengetahuan telah menjadi kunci produktivitas, daya saing, dan prestasi ekonomj. Ihnu pengetahuan telah menjadi industri utama, yakni industri yang melengkapi kebutuhan ekonomi dengan sumber-sumber produksi utama yang sangat penting).[2]
            fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional.Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak “ortodoks”sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.
            Mencermati hal di atas, bentuk pendidikan pesantren yang hanya mendasarkan pada kurikulum “salafi” dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kiai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju dengan cepat ini.Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang “mumpuni” dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam bentuk kedua,dalam menentukan model kurikulum yang digunakan di pesantren di lakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi  yang berkembang dalam masyarakat. Pesantren  yang telah mengadopsi kurikulum dan lembaga sekolah, hubungan ideal antara keduanya perlu dikembangkan. Kesadaran dalam mengembangkan bentuk kedua ini, tampaknya mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Namun dalam kondisi riil, keberadaan pesantren yang telah mengadopsi kurikulum sekolah (madrasah), ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di sana-sini masih banyak terlihat kendala yang dihadapinya sehingga hasilnya pun belum pada taraf memuaskan. Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan.
Hal di atas dimaksudkan untuk melahirkan manusia yang memiliki keterampilan di bidang perdagangan, pertanian, perusahaan, akan tetapi tidak pemah kemampuan dan kesempatan serta keterampilan yang dimiliki itu, tidak menghalangi kewajibannya untuk tetap mengikuti kebesaran dan ketentuan-ketentuan Allah, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, menegakan amal perbuatan yang baik di segala bidang kehidupan.[3]
Dengan kesadaran ini dapat diyakini bahwa integritas pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren, sebagaimana tampak dewasa ini, merupakan kecenderungan positif yang diharapkan bisa menepis beberapa kelemahan masing-masing. Bagi pendidikan pesantren, integrasi semacam itu merupakan peluang yang sangat strategis untuk mengembangkan tujuan pendidikan secara lebih aktual dan kontekstual.


[1]                  ..Dian Nafi', M. Praksis pembelajaran pesantren . 2007.yogyakrta. Hal. 101
[2]             .Dian Nafi', M. op.cit. Hal 101-102
[3]             Malik M. Thaha Tuanaya, dkk. Modernisasi Pesantren.. Jakarta: . 2007. hal.134

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |