Kata “pesantren”
mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan
kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti
“melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang
mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren
setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama.Banyak dari kita
yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa
bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan
mutlak para santri pada kyainya, atau disisi lain, tidak sedikit yang mengenal
pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam
sejarah penyebaran Islam di Indonesia, begitupula begitu besarnya sumbangsih
pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik
dan keagamaan.[1]
Adapula
yang berpendapat pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan
akhiran an yang berarti tempat tinggal santri Dengan nada yang sama
Soegarda Poerbakawatja menjelaskan pesantren asal katanya adalah santri, yaitu
seorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian, pesantren mempunyai
arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam, Manfred Ziemek juga menyebutkan
bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pesantrian berarti "tempat
santri". Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat
pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau
ustadz). Pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam [2]
Prof.
Johns berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti
guru mengaji. Sedang C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari
istilah shastri yang dalam bahasa India, orang yang tahu buku-buku suci
agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri
berasal dari shastra yang berarti buku suci., buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu Pengetahuan
(Dhofier, 1984: 18). Adanya kaitan antara istilah santri yang digunakan setelah
datangnya agama Islam, dengan istilah yang digunakan sebelum datangnya Islam ke
Indonesia adalah bisa saja terjadi. Sebab seperti yang dimaklumi bahwa sebelum
Islam masuk ke Indonesia masyarakat Indonesia telah menganut beraneka ragam
agama dan kepercayaan, termasuk di antaranya agama Hindu. Dengan demikian, bisa
saja terjadi istilah santri itu telah dikenal di kalangan masyarakat Indonesia
sebelum Islam masuk. Dan ada juga yang menyamakan tempat pendidikan itu dengan
Budha dari segi bentuk asrama (Ziemek, 1986:16 ).[3]
Apa
sebetulnya persyaratan-persyaratan pokok suatu lembaga pendidikan baru dapat
digolongkan sebagai pesantren. Untuk itu perlu dilihat apabila telah mencukupi
elemen-elemen pokok pesantren. Menurut
Elemen-elemen pokok pesantren itu adalah: pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai (Dhofier, 1984: 44). menurut saridjo
unsur-unsur pokok pesantren itu hanya tiga, yaitu (1). kiai yang mendidik dan
mengajar, (2). santri yang belajar, (3). masjid tempat mengaji . Namun bila
dilihat kenyataan yang sesungguhnya bahwa persyaratan elemen-elemen yang lima
macam itu lebih mengenai sebagai unsur-unsur pokok dari suatu pesantren.[4]
Ada beberapa unsur
pokok dari sebuah pondok pesantren yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.Pondok
Istilah
pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel, tempat
bermalam (Yunus, 1973: 324). Istilah pondok diartikan juga dengan asrama.
Dengan demikian, pond ok mengandung makna sebagai temp at tinggal. Sebuah
pesantren mesti memiliki asrama tempat tinggal santri dan kiai. Di tempat
tersebut selalu terjadi komunikasi an tara santri dan kiai. [5]
Menurut
Dhofier di pondok seorang santri patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan
yang diadakan, ada kegiatan pada waktu tertentu yang mesti dilaksanakan oleh
santri. Ada waktu belajar, shalat, makan, tidur, istirahat, dan sebagainya,
bahkan ada juga waktu untuk ronda dan jaga malam. Ada beberapa alas an pokok
sebab pentingnya pondok dalam satu pesantren, yaitu: pertama, banyaknya
santri-santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada
seorang kiai yang sudah termashur keahliannya. Kedua pesantren-pesantren
tersebut terletak di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan untuk menampung
santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara
kiai dan santri, di mana para santri menganggap kiai adalah seolah-olah orang
tuanya sendiri . [6]
b.
Masjid
Masjid
diartikan secara harfiah adalah tempat sujud karena di tempat ini
setidak-tidaknya seorang muslim lima kali sehari semalam melaksanakan shalat.
Fungsi masjid tidak saja untuk shalat, tetapi juga mempunyai fungsi lain
seperti pendidikan dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah masjid berfungsi
sebagai temp at ibadah dan urusan-urusan sosial kemasyarakatan serta
pendidikan. [7]
Suatu pesantren mutlak
mesti memiliki masjid, sebab di situlah akan dilangsungkan proses pendidikan
dalam bentuk komunikasi belajar mengajar antara kiai dan santri. Masjid sebagai
pusat pendidikan Islam telah berlangsung sejak masa Rasulullah, dilanjutkan
oleh Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Bani Umaiyah, Abbasiyah, Fathimiyah, dan dinasti-dinasti
lain. Tradisi itu tetap dipegang oleh para kiai pemimpin pesantren untuk
menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan. Kendatipun pada saat sekarang
pesantren telah memiliki lokal belajar yang banyak untuk tempat berlangsungnya
proses belajar mengajar, namun masjid tetap difungsikan sebagai tempat belajar.
[8]
c. Santri
Santri adalah siswa
yang belajar di pesantren, santri ini dapat digolongkan kepada dua kelompok:
1).
Santri mukim, yaitu santri yang berdatangan dari tempat tempat yang jauh yang
tidak memungkinkan dia untuk pulang ke rumahnya, maka dia mondok (tinggal) di
pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. .
2)Santri kalong, yaitu
siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang memungkinkan mereka pulang ke
tempat kediaman masing-masing. Santri kalong ini mengikuti pelajaran dengan
cara pulang pergi antara rumahnya dengan pesantren.
Di
dunia pesantren biasa saja dilakukan seorang santri pindah dari satu pesantren
ke pesantren lain, setelah seorang santri merasa sudah cukup lama di satu
pesantren, maka dia pindah ke pesantren lainnya. Biasanya kepindahan itu untuk
menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari seorang kiai yang
didatangi itu. [9]
d.Kiai
Kiai
adalah tokoh sentral dalam satu pesantren, maju mundurnya satu pesantren
ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai. Menurut asal-usulnya, perkataan
kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gejalar yang saling berbeda:
1)Sebagai gelar
kehormatan bagi barang-barang yang di anggap keramat umpamanya "kiai
garuda kencana" dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton
Yogyakarta.
2)Gelar kehormatan untuk
orang-orang tua pada umumnya.
3)Gelar yang diberikan
oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki pesantren dan mengajarkan
kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya
Kiai
dalam pembahasan ini adalah mengacu kepada pengertian yang ketiga, kendatipun
bahwa gelar kiai saat sekarang ini tidak lagi hanya diperuntukkan bagi yang
memiliki pesantren saja. Sudah banyak juga gelar kiai digunakan terhadap ulama
yang tidak memiliki pesantren. Istilah ulama kadang kala digunakan juga istilah
lain seperti: Buya di Sumatera Utara, Tengku di Aceh, Ajengan di Jawa Barat,
dan Kyai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. [10]
e.Pengajian
Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam
Klasik yang lebih populer dengan sebutan "kitab kuning". Kitab-kitab
ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pad a zaman pertengahan. Kepintaran dan
kemahiran seorang Santri diukur dari kemampuannya membaca, serta mensyarahkan
(menjelaskan) isi kitab-kitab tersebut. Untuk tahu membaca sebuah kitab dengan
benar, seorang santri dituntut untuk mahir dalam ilmu-ilmu bantu, seperti nahu,
syaraf, balaghah, ma'ani, bayan dan lain sebagainya.
Karena
sedemikian tinggi posisi kitab-kitab Islam klasik tersebut, maka setiap
pesantren selalu mengadakan pengajian "kitabkitab kuning".
Kendatipun saat sekarang telah banyak pesantren yang memasukkan pelajaran umum
namun pengajian kitab-kitab klasik tetap diadakan.[11]
[1]
http://hildaku.blog.com/614889
[2] . Putra Daulay, Haidar .Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. 2007.jakarta. hal. 61
[3] Ibid.
[4] Putra Daulay, Haidar. op.cit. Hal.62
[5] ibid
[6] ibid
[7] Ibid. hal. 63
[8] Ibid. hal. 64
[9] Ibid.
[10] Putra Daulay, Haidar.op.cit. Hal 65
[11] Ibid. 63
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.