Tuesday, February 5, 2013

Pluralisme dan pluralitas Keberagamaan Masyarakat Indonesia (Ferdi)




Berbeda dengan pluralitas sebagai realitas faktual, pluralisme adalah soal realitas kesadaranakan realitas faktual itu. Kesadaran berarti cara pandang, cara hidup, dan idealitas serta pengakuan akan realitas itu. Dalam bahasa Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen, berbicara tentang pluralisme mestinya ditempatkan pada dua tataran: tataran deskriptif, yang sekadar mengakui keragaman dan tataran normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Menurut Mouw dan Griffioen, pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga ranah keragaman yaitu: konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).[1]

Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut: Pluralisme adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism). Dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas yang satu dan sama, Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan). Sehingga menurut John Hick, Sang Wujud itu tunggal, tetapi manusia memiliki persepsi bermacam-macam tentang Sang Wujud tersebut, seperti Islam menyebut Sang Wujud dengan Allah, Yahudi dengan Yahweh, Nasharani dengan trinitasnya dan lainnya.
Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Pluralitas dunia-kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam bidang agama. Sepanjang sebagian besar umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagi integrasi masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat akhirnya “dipersatukan” dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia secara keseluruhan. Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia merasa “betah” tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti itu sangat terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial yang berbeda kini diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan saja tradisi religius dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut semakin sulit mengintegrasikan pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah pandangan menyeluruh, melainkan bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi agama tentang realitas telah terancam dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran subjektif individu itu sendiri. [2]
Tema pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif, bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri
Beberapa faktor penyebab munculnya pluralisme agama adalah sebagai berikut:
1.               Keyakinan konsep ketuhanannya adalah paling benar. Jika kita bandingkan dengan agama-agama langit, Yahudi, Nashrani dan Islam, maka kita temukan konsep tentang tuhan yang berbeda-beda.
2.               Keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama langit, Yahudi, Nashrani dan Islam, agama-agama dunia pun meyakini jalan keselamatan ada pada agama mereka.
3.               Keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan.
4.               Pergeseran cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama seharusnya berpijak pada keyakinan, tapi kemudian kajian ilmiah moderen memposisikan agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan.
5.               Kepentingan ideologis.
Para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif. Makanya tidak heran bahwa rekomendasi para pengusung paham ini sebagai konsekuensi logis dari pluralisme harus ditinjau ulang, dan dicari makna2 dan dimensi baru beberapa definisi untuk kata seperti Kufur, ateis, sirik, iman, islam, moderat, ekstrim, fundamentalisme sedemikian rupa sehingga kata2 itu tidak menjadi factor pemecah, tapi bisa diterima semua penganut agama. Dari sinilah ide Dialog Antar Agama, Dialog Antar Peradaban dan sejenisnya muncul
Indonesia yang notabene adalah Negara yang multikultur juga tidak lepas dari wacana pluralisme dan pluralitas keberagamaan, Sebagai negara dengan lebih dari 17.000 pulau, dan kurang lebih 230 juta penduduk, keragaman Indonesia tak hanya tercermin dari sumber daya alamnya, tetapi juga etnis, bahasa, dan agama penduduknya. Sebelum Budha, Islam, Kristen dan agama-agama besar lain masuk ke Indonesia, masyarakat pribumi telah hidup dengan berbagai kepercayaan lokalnya, yang kini masih dipraktikkan oleh beberapa suku, yakni kepercayaan yang bersifat animisme dan dinamisme
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia konflik keberagamaan juga telah terjadi ketika para pemimpin bangsa mencoba mecetuskan idiologi bangsa ini. Tentunnya konflik tersebut terjadi karena adanya hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam menyusun ideology bangsa Indonesia yang bersifa heterogen baik itu dari segi etnis amupun agama.dalam undang undang yang dibuat dengan melihat heterogenitas bangsa Indonesia akhir dalam UUD dicantumkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”namaun realisasinya dilapangan kita temui agama yang diakuihanya : Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, dan belakangan, Konghucu. Agama-agama yang lain dan sistem keyakinan lokal tidak diakui dan seringkali diaanggap sebagai agama yang merusak eksistensi agama agama yang diakui. Salah satu agama yang baru mendapat pengkuan dari presiden Indonesia yakni Abdurahman Wahid yang mendapat gelar sebagai bapak Pluralisme Indonesia. Juga masih belum maksimal karena, orang yang beragama konghucu masih belum bisa mencatumkan agama dalam ktp.
Pluralisme yang berkembang di Indonesia sangat terasa paska rezim orde baru ketika orang mulai merasa nyaman untuk mengungkapkan identitas keagamaan mereka ke umum, kelompok-kelompok ini menjadi lebih tampak. Beberapa kelompok agama arus utama, dengan klaim mempertahankan ortodoksi, melihat kemunculan mereka sebagai ancaman, yang sering berbuntut kekerasan ketika masing-masing kelompok mencoba mempertahankan pengaruh mereka.
Realitas pluralisme agama di Indonesia merupakan titik rawan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Hal tercermin pada intensitas konflik bernuansa agamis yang dengan mudah dapat membakar dan berkobar terjadi cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir, hal ini menunjukakan bahwaca pluralisme dan pluralitas keberagamaan di indoneisia masih jauh dari harapan.
Ketika pluralitas dan pluralisme keberagamaan di terapkan di Indonesia tentunya akan menimbulkan konsekuensi melihat ada beberapa agama besar yang merasa terancam dengan pluralisme tersebut. Penghapusan identitas-identitas agama.Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mendesain Islam yang kebarat-baratan, yaitu nilai-nilai Islam yang tidak selaras dengan nilai Barat harus dimodifikasi. Dalam hal ini dalam islam memunculkan JIL.
Keseragaman yang muncul akibat hilangnya identitas-identitas agama. munculnya agama-agama baru yang meramu dari berbagai agama yang ada. Dalam istilah lain beragama ala carte. Seseorang bisa meracik sendiri menunya dalam beragama, selama tetap berada dalam batas yang diakui oleh pluralisme agama, yaitu kebebasan manusia yang lain, maka bermunculan manusia-manusia dengan kebebasannya meramu sendiri agama yang dia yakini.
Jika dilihat dari sudut yang lain pluralisme dan pluralitas agama justru melahirkan sesuatu yang sangat diidam idamkan oleh banyak orang indonesai yang dewasa ini marak dengan aksi aksi anarkis dalam konteks keagamaan. Ketika sebuah Negara menerapkan pluralisme secara konsuken maka konflik konflik antar agama bisa dikurangi dengan dengan demikian, dalam kasus Indonesia kebinekhaan bisa tetap terjaga dngan baik.
Lalu bagaimana agar pluralisme dan pluralitas keberagamaan bias tercipta di Indonesia, proses perdamaian antar umat beragama dapat terwujud dengan mengedepankan sikap saling mengerti, memahami dan menerima yang merupakan esensi toleransi. Pengembangan religious literacy menjadi sangat penting dalam kehidupan pluralisme agama untuk saling mengenal satu sama lain. Religious literacy adalah sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai agama lain. Dengan itu orang bisa saling mengenal, menghormati dan memperkaya kehidupan dalam sebuah persaudaraan sejati antar agama tanpa harus terjebak dalam sekat-sekat agama. Dengan melek agama lain, diharapkan dapat membuat setiap umat beragama sadar akan identitas keagamaan dan keimanannya dalam semangat keterbukaan, penghargaan dan penghormatan agama serta iman orang lain.
Dengan memahami agama lain, berarti kita juga dibebaskan dari sikap dan tingkah laku penuh curiga antar umat beragama. Dengan saling memahami dapat tercipta hidup damai dan toleran.


[1]Terre, Eddie Riyadi.2007. Posisi Minoritas dalam Pluralisme: Sebuah Diskursus Politik Pembebasan.(online). (http://www.statcounter.com/. diakses 3 juni 2010)

[2] Gumilar, Gumgum.2005. Pluralisasi Dalam Kehidupan Masyarakat Multikultur Di Indonesia ( Tulisan ini disarikan dari tugas mata kuliah Teori-teori Komunikasi di Program Pascasarna BKU Ilmu Komunikasi Unpad, dan juga dipublikasikan dalam Majalah Ilmiah Unikom Vol. 5 No. 3 ISSN : 1411 - 9374 Tahun 2005) (online),( http://rahmasyilla.wordpress.com, diakses 3 juni 2010)

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |