Berbeda dengan pluralitas sebagai realitas
faktual, pluralisme adalah soal realitas kesadaranakan realitas
faktual itu. Kesadaran berarti cara pandang, cara hidup, dan idealitas serta
pengakuan akan realitas itu. Dalam bahasa Richard J. Mouw dan Sandra Griffioen,
berbicara tentang pluralisme mestinya ditempatkan pada dua tataran: tataran
deskriptif, yang sekadar mengakui keragaman dan tataran normatif-preskriptif
yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada
tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik
karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses
pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Menurut Mouw dan
Griffioen, pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga ranah keragaman
yaitu: konteks budaya (contextual pluralism), asosiasi-asosiasi
kelembagaan (associational pluralism), dan sistem nilai yang memberi
arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism).[1]
Professor
John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi
pluralisme agama sebagai berikut: Pluralisme adalah
pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan
secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang
Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa
transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan-Hakikat terjadi
secara nyata hingga pada batas yang sama (John Hick dalam Problems of
Religious Pluralism). Dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama
sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi
atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya
semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang
berbeda terhadap sebuah realitas yang satu dan sama, Ringkasnya,
semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak
mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya
kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan). Sehingga
menurut John Hick, Sang Wujud itu tunggal, tetapi manusia memiliki persepsi
bermacam-macam tentang Sang Wujud tersebut, seperti Islam menyebut Sang Wujud
dengan Allah, Yahudi dengan Yahweh, Nasharani dengan trinitasnya dan lainnya.
Masyarakat
dan bangsa Indonesia
adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan.
Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi
agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika
kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Pluralitas dunia-kehidupan sosial
mempunyai pengaruh yang penting dalam bidang agama. Sepanjang sebagian besar
umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan peranan penting
dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagi integrasi
masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan kepercayaan yang ada dalam suatu
masyarakat akhirnya “dipersatukan” dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang
realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia secara keseluruhan.
Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat
didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia
merasa “betah” tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti
itu sangat terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial
yang berbeda kini diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan
saja tradisi religius dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut
semakin sulit mengintegrasikan pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah
pandangan menyeluruh, melainkan bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi
agama tentang realitas telah terancam dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran
subjektif individu itu sendiri. [2]
Tema
pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan
hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan
tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama
muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang
sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif,
bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri
Beberapa
faktor penyebab munculnya pluralisme agama adalah sebagai berikut:
1.
Keyakinan konsep ketuhanannya
adalah paling benar. Jika kita bandingkan dengan agama-agama langit, Yahudi,
Nashrani dan Islam, maka kita temukan konsep tentang tuhan yang berbeda-beda.
2.
Keyakinan bahwa agamanyalah
yang menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama langit, Yahudi, Nashrani dan
Islam, agama-agama dunia pun meyakini jalan keselamatan ada pada agama mereka.
3.
Keyakinan bahwa mereka adalah
umat pilihan.
4.
Pergeseran cara pandang kajian
terhadap agama. Dalam kajian agama seharusnya berpijak pada keyakinan, tapi
kemudian kajian ilmiah moderen memposisikan agama sebagai obyek kajian yang
sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan.
5.
Kepentingan ideologis.
Para penggagas
pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh
keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang
ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan harus didefinisikan ulang,
sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif. Makanya tidak heran bahwa
rekomendasi para pengusung paham ini sebagai konsekuensi logis dari pluralisme
harus ditinjau ulang, dan dicari makna2 dan dimensi baru beberapa definisi
untuk kata seperti Kufur, ateis, sirik, iman, islam, moderat, ekstrim,
fundamentalisme sedemikian rupa sehingga kata2 itu tidak menjadi factor
pemecah, tapi bisa diterima semua penganut agama. Dari sinilah ide Dialog Antar
Agama, Dialog Antar Peradaban dan sejenisnya muncul
Indonesia yang notabene adalah Negara yang multikultur juga tidak
lepas dari wacana pluralisme dan pluralitas keberagamaan, Sebagai
negara dengan lebih dari 17.000 pulau, dan kurang lebih 230 juta penduduk,
keragaman Indonesia tak hanya tercermin dari sumber daya alamnya, tetapi juga
etnis, bahasa, dan agama penduduknya. Sebelum Budha, Islam, Kristen dan
agama-agama besar lain masuk ke Indonesia,
masyarakat pribumi telah hidup dengan berbagai kepercayaan lokalnya, yang kini
masih dipraktikkan oleh beberapa suku, yakni kepercayaan yang bersifat animisme
dan dinamisme
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
konflik keberagamaan juga telah terjadi ketika para pemimpin bangsa mencoba
mecetuskan idiologi bangsa ini. Tentunnya konflik tersebut terjadi karena
adanya hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam menyusun ideology bangsa Indonesia yang bersifa heterogen baik itu dari
segi etnis amupun agama.dalam undang undang yang
dibuat dengan melihat heterogenitas bangsa Indonesia akhir dalam UUD
dicantumkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.”namaun realisasinya dilapangan kita temui agama yang
diakuihanya : Islam, Hindu, Buddha, Protestan, Katolik, dan
belakangan, Konghucu. Agama-agama yang lain dan sistem keyakinan lokal tidak
diakui dan seringkali diaanggap sebagai agama yang merusak eksistensi agama
agama yang diakui. Salah satu agama yang baru mendapat pengkuan dari presiden Indonesia yakni Abdurahman Wahid yang mendapat
gelar sebagai bapak Pluralisme Indonesia.
Juga masih belum maksimal karena, orang yang beragama konghucu masih belum bisa
mencatumkan agama dalam ktp.
Pluralisme yang berkembang di Indonesia sangat terasa paska rezim
orde baru ketika orang mulai merasa nyaman untuk mengungkapkan identitas
keagamaan mereka ke umum, kelompok-kelompok ini menjadi lebih tampak. Beberapa
kelompok agama arus utama, dengan klaim mempertahankan ortodoksi, melihat
kemunculan mereka sebagai ancaman, yang sering berbuntut kekerasan ketika
masing-masing kelompok mencoba mempertahankan pengaruh mereka.
Realitas
pluralisme agama di Indonesia
merupakan titik rawan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Hal tercermin pada
intensitas konflik bernuansa agamis yang dengan mudah dapat membakar dan
berkobar terjadi cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir, hal ini
menunjukakan bahwaca pluralisme dan pluralitas keberagamaan di indoneisia masih
jauh dari harapan.
Ketika
pluralitas dan pluralisme keberagamaan di terapkan di Indonesia tentunya akan menimbulkan
konsekuensi melihat ada beberapa agama besar yang merasa terancam dengan
pluralisme tersebut. Penghapusan identitas-identitas agama.Dalam kasus Islam,
misalnya, Barat berupaya mendesain Islam yang kebarat-baratan, yaitu
nilai-nilai Islam yang tidak selaras dengan nilai Barat harus dimodifikasi.
Dalam hal ini dalam islam memunculkan JIL.
Keseragaman
yang muncul akibat hilangnya identitas-identitas agama. munculnya agama-agama
baru yang meramu dari berbagai agama yang ada. Dalam istilah lain beragama ala
carte. Seseorang bisa meracik sendiri menunya dalam beragama, selama tetap
berada dalam batas yang diakui oleh pluralisme agama, yaitu kebebasan manusia
yang lain, maka bermunculan manusia-manusia dengan kebebasannya meramu sendiri
agama yang dia yakini.
Jika
dilihat dari sudut yang lain pluralisme dan pluralitas agama justru melahirkan
sesuatu yang sangat diidam idamkan oleh banyak orang indonesai yang dewasa ini
marak dengan aksi aksi anarkis dalam konteks keagamaan. Ketika sebuah Negara
menerapkan pluralisme secara konsuken maka konflik konflik antar agama bisa
dikurangi dengan dengan demikian, dalam kasus Indonesia kebinekhaan bisa tetap
terjaga dngan baik.
Lalu
bagaimana agar pluralisme dan pluralitas keberagamaan bias tercipta di Indonesia,
proses perdamaian antar umat beragama dapat terwujud dengan mengedepankan sikap
saling mengerti, memahami dan menerima yang merupakan esensi toleransi.
Pengembangan religious literacy menjadi sangat penting dalam kehidupan pluralisme
agama untuk saling mengenal satu sama lain. Religious literacy adalah sikap
terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai agama lain. Dengan itu orang bisa
saling mengenal, menghormati dan memperkaya kehidupan dalam sebuah persaudaraan
sejati antar agama tanpa harus terjebak dalam sekat-sekat agama. Dengan melek
agama lain, diharapkan dapat membuat setiap umat beragama sadar akan identitas
keagamaan dan keimanannya dalam semangat keterbukaan, penghargaan dan
penghormatan agama serta iman orang lain.
Dengan
memahami agama lain, berarti kita juga dibebaskan dari sikap dan tingkah laku
penuh curiga antar umat beragama. Dengan saling memahami dapat tercipta hidup
damai dan toleran.
[1]Terre, Eddie Riyadi.2007. Posisi Minoritas
dalam Pluralisme: Sebuah Diskursus Politik Pembebasan.(online). (http://www.statcounter.com/. diakses 3 juni 2010)
[2] Gumilar, Gumgum.2005. Pluralisasi Dalam Kehidupan Masyarakat Multikultur
Di Indonesia ( Tulisan ini disarikan dari tugas mata kuliah Teori-teori Komunikasi di
Program Pascasarna BKU Ilmu Komunikasi Unpad, dan juga dipublikasikan dalam
Majalah Ilmiah Unikom Vol. 5 No. 3 ISSN : 1411 - 9374 Tahun 2005) (online),( http://rahmasyilla.wordpress.com,
diakses 3 juni 2010)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.