Tuesday, February 5, 2013

TRADISI LISAN DALAM PENULISAN SEJARAH LOKAL


Ketika topik “tradisi lisan, sejarah lisan, dan sejarah lokal” diajukan dalam seminar ini, tentunya
sudah muncul kesepahaman bahwa ada keterkaitan di antara ketiga hal tersebut. Dengan kata
lain dapat dikatakan, bahwa penulisan sejarah (baca sejarah lokal) perlu mempertimbangkan
tradisi lisan (dan atau sejarah lisan). Sejarah lisan atau oral history tidak akan dibicarakan secara
khusus dalam kertas kerja ini. Sebagai bagian dari kelisanan, sejarah lisan memiliki karakter
yang berbeda dengan tradisi lisan.
Sejarah lisan dimaksudkan memberi “kebenaran” sejarah
seperti yang dituturkan oleh para pelakunya atau oleh pihak-pihak yang (merasa) mempunyai
pengalaman sejarah yang bersangkutan. Tradisi lisan tidak harus memiliki “beban” semacam itu
karena penutur dapat berkilah dengan mengatakan, “kisah ini didapatkan dari leluhur saya dan
mohon maaf bila terdapat kesalahan karena patik sekedar menuturkan kembali.” Proses
pewarisan yang telah berjalan secara turun-temurun dan adanya interaksi langsung antara
penutur dan masyarakatnya / penontonnya merupakan dua hal pokok dalam proses penciptaan
tradisi lisan. Kedua hal ini akan dibicarakan lebih lanjut di bawah ini, tetapi sebelumnya perlu
kiranya melihat benang merah di antara sejarah lisan dan tradisi lisan, yaitu konsep mengenai
“kelisanan”.

Istilah tersebut dicetuskan pertama kali pada tahun 1963 oleh Havelock dalam Preface to Plato. Kelisanan tidak dapat dipisahkan dari konsep mengenai keberaksaraan, tetapi di lain pihak justru harus dibedakan dengan konsep ini. Ketika berbicara mengenai kelisanan maka kita bicara mengenai sesuatu yang tidak tertulis, tetapi sekaligus juga bicara tentang sesuatu yang tertulis yang diujarkan. Segala definisi yang diharapkan dapat menjawab tentang apa yang dapat dimutlakkan sebagai sesuatu yang asli lisan justru akan menemui kesia-siaan. Sweeney menegaskan bahwa pengertian kelisanan dapat sedikit dipuaskan bila dibicarakan dalam konteks interaksinya dengan tradisi tulisan (Sweeney, 1998: 2—5). Dalam kaitan ini perlu terlebih dahulu diutarakan kekaburan pemakaian “oral” dan “orality”. Istilah yang pertama berkaitan dengan suara. Konsep oral dalam arti ini menjadi sangat luas, meliputi segala sesuatu yang diujarkan, seperti uraian kuliah misalnya.Dengan kata lain, istilah oral di sini tidak berkaitan dengan beraksara atau tidak beraksaranya penutur yang bersangkutan. Istilah orality diartikan sebagai “satu sistem wacana yang tidak tersentuh oleh huruf. Akan tetapi, kosep ini pada waktunya akan juga mempengaruhi konotasi oral, sehingga istilah oral mengandung dua makna yang berbeda. Implikasi kata lisan dalam pasangan (1) lisan – tertulis dan dalam pasangan (2) lisan - beraksara berbeda. Sweeney mengusulkan istilah “oracy” (orasi) untuk mencakup pengertian lisan pada pasangan pertama dan istilah”orality” (kelisanan) untuk pasangan kedua. Saya lebih setuju untuk mengatakan bahwa konsep kelisanan yang dipakai di sini adalah dalam konteks sistem pengolahan bahan yang tidak mengandalkan huruf. Tradisi lisan dalam konteks ini diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara” atau “sistem wacana yang bukan aksara”.

Dengan pembatasan serupa itu, pembicaraan kelisanan ini lebih mencakup tradisi lisan dan tidak mengkhususkan diri pada sejarah lisan karena di luar jangkauan penelitian saya. Contoh kasus yang diberikan di bawah akan melibatkan data yang diambil langsung dari tuturan pencerita, pementasan / pertunjukan, dan “teks lisan” yang dituliskan.

Permasalahan pertama yang dapat diajukan di sini adalah bagaimana penulis sejarah dapat memanfaatkan kajian kelisanan dan bagaimana kelisanan tersebut dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living memories”, tetapi juga “living traditions” yang dapat melintasi batas waktu melalui penuturan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lintas waktu dan lintas generasi ini menandakan bahwa ingatan mampu merekam berbagai ekspresi kelisanan mengenai pergulatan masyarakatnya. Hefner, misalnya telah memperlihatkan peranan ludruk dalam membangun sebuah forum sosial politik yang penting dan memberikan komentar atas isu-isu sosial, kekuasaan, otoritas, dan identitas lokal sebuah masyarakat pada suatu periode tertentu (Hefner, 1994). Ludruk dipandang sebagai dinamika yang secara efektif membangkitkan anggapan-anggapan yang mendasar yang terdapat dalam pandangan dunia pendukungnya.

Berbagai ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang tidak hanya berisi cerita dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya diartikan, tetapi juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal mengenai ekologi dan lingkungannya. Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan terutama dengan mengandalkan faktor ingatan. Penutur atau tukang cerita memang mengingat bukan menghafalkan apa yang akan disampaikannya (Lord, 1976; Sweeney, 1980 dan 1987; Ong, 1982).

Meskipun ingatan sangat berperan, selalu dapat dijumpai perubahan-perubahan dalam tradisi lisan di samping bentuk-bentuknya yang tetap (Rubin, 1995). Yang selalu tetap sebetulnya adalah formula . Pengolahan formula dalam suatu pementasan tradisi lisan seperti yang diuraikan Lord pada kasus Avdo Mededovic, seorang penutur epik / guslar di Bosnia akan membantu kita dalam memakai sumber lisan dalam penulisan sejarah. Avdo dianggapnya sebagai seorang tokoh tradisi Slavia-Balkan yang mengalami kekejaman 3 perang besar (Perang Dunia I, Perang Balkan, dan Perang Dunia II). Sumber penuturan Avdo memang merupakan pengalaman hidupnya, tetapi ada banyak hal lain yang turut berperan dalam proses penciptaan , seperti faktor rangsangan dari luar dalam bentuk reaksi dan tanggapan masyarakat sekitar, riwayat hidup, imaginasi, dan reaksi-reaksi pribadi si penutur terhadap kehidupannya. Kesemua hal tersebut memperlihatkan kenyataan bahwa meskipun sumber lisan berperan untuk penulisan sejarah, tetap harus diperhatikan berbagai kendala memakai sumber lisan tersebut

Kendala lain yang muncul dalam menggunakan sumber lisan adalah kreativitas penutur. Di dalam setiap pertunjukan terkandung makna penciptaan sebuah karya atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap penuturan atau setiap pertunjukan adalah sebuah kreasi / komposisi (Pudentia. 2000:53). Lord menegaskan hakekat pentas / tuturan kelisanan sebagai proses penciptaan sebuah komposisi kelisanan , “the moment of composition is the performance” (Lord, 1064:13). Dengan kata lain, setiap pertunjukan merupakan sebuah karya seni yang mengalami proses penciptaan tertentu yang menggabungkan penutur dengan khalayak pendukungnya dalam satu situasi dan pemahaman yang sama. Kreativitas penutur dan pemaknaan yang dibuat oleh audiens / masyarakatnya menciptakan dialektika tersendiri.

Dengan mempertimbangkan segala hal di atas, tepatlah yang dirumuskan Alan Dundes (1999) mengenai pentingnya memakai berbagai “teks lisan:” sebagai sumber pemahaman. Selalu ada resiko salah paham bila kita hanya menggunakan satu versi saja. Permasalahan selanjutnya adalah sejauh mana kita dapat memberlakukan semua versi yang ada sebagai sumber sejarah dan yang masing-masingnya dianggap merupakan sebuah kreasi tersendiri. Pendekatan intertekstual merupakan salah satu alternatif terutama untuk kasus yang memiliki banyak kemungkinan terjadinya transformasi yang berupa lintas budaya (Jawa ke Belanda dan Indonesia, misalnya) dan lintas bentuk (lisan ke tertulis, misalnya). Menghadapi kasus transformasi semacam ini yang dengan sendirinya juga telah memiliki sejarah resepsi yang cukup panjang, maka peranan tanggapan dan penciptaan kembali sebuah “teks” menjadi penting. Bila sebuah “teks” sudah bisa ditetapkan sebagai sebuah hipogram atau teks yang dijadikan acuan teks lain, maka langkah selanjutnya dapat dilakukan telaah hubungan antarteks (intertekstual) seperti yang diajukan oleh Rifaterre . Intertekstual menegaskan sebuah karya baru bermakna dalam hubungannya atau pertentangannya dengan teks lain. Hubungan antarteks ini diterapkan dengan ekspansi dan konversi menurut Riffaterre dan dengan modifikasi dan ekserp oleh Pradotokusumo. Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan; konversi adalah pemutarbalikan hipogram; modifikasi merupakan manipulasi pada tataran linguistik (kata atau urutan kata dalam kalimat) dan tataran kesastraan (tokoh atau alur); ekserp serupa dengan intisari suatu unsur atau episode hipogram. Selain keempat hal tersebut, intertekstual juga dilakukan dengan melihat adanya penambahan unsur yang semula tidak ada dan penghilangan episode dengan sengaja karena tuntutan situasi, pergeseran sikap, minat, perhatian, dan faktor internal teks (missal karena lintas genre).
Untuk lebih menjelaskan penerapan sumber lisan dengan pendekatan intertekstual saya akan mengemukakan secara lisan penjelajahan saya dalam menampilkan tokoh Ken Arok atau Ken Angrok. Sumber lisan diperoleh langsung dari narasumber di wilayah Singosari Malang pada awal Juni yang lalu; sumber lain adalah teks lisan seperti yang tampak dalam berbagai sumber yang sudah tertulis.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |