Interaksi
sosial merupakan bentuk umum dari proses sosial yang membentuk sistem sosial dan pranata sosial
serta semua aspek kebudayaan. Interaksi sosial diartikan oleh beberapa ahli, di
antaranya adalah Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2004:61) mengartikan
interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antar individu, antar kelompok-kelompok, maupun antara individu dengan
kelompok.
Menurut Soerjono Soekanto (dalam Tutik, 2008:51-53), mengadakan
hubungan sosial merupakan kebutuhan primer manusia sebagai makhluk sosial, yang
dilakukan untuk mendapatkan kepuasan dalam mengadakan hubungan serta
mempertahankan hubungan (kebutuhan inklusi),
pengawasan dan kekuasaan (kebutuhan kontrol), serta cinta kasih sayang (kebutuhan afeksi). Interaksi sosial terjadi dan
menimbulkan situasi sosial, yaitu suatu situasi yang di dalamnya terdapat
hubungan-hubungan sosial yang disebabkan adanya naluri untuk hidup bersama,
keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pihak lain, dan keinginan menyesuaikan
diri dengan alam. Proses interaksi
sosial tersebut berlangsung menurut suatu pola yang didasarkan pada lima hal,
yaitu kebutuhan nyata, efisiensi, efektifitas, penyesuaian diri pada kebenaran,
penyesuaian dengan kaidah-kaidah yang berlaku, dan tidak memaksakan diri.
Proses
interaksi sosial terjadi karena beberapa faktor. Pertama adalah faktor imitasi
yang merupakan faktor kemampuan seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai-nilai
yang berlaku, selain itu juga bisa membuat seseorang berlaku menyimpang jika
salah meniru tindakan. Kedua, faktor sugesti yang ada pada saat seseorang
memberikan pandangan yang diterima oleh orang lain, sebagai contoh adalah apa
yang dilakukan oleh seorang mentalis terhadap seseorang ataupun seperti yang
dilakukan oleh seorang motivator kepada orang yang sedang “sakit mental”.
Ketiga, faktor identifikasi merupakan kecenderungan pada diri seseorang untuk
menjadi sama dengan orang lain yang dianggap lebih baik, yang dilakukan secara
sengaja ataupun secara tidak sadar. Keempat, faktor simpati yang merupakan bentuk perasaan
untuk tertarik dengan pihak lain dan ingin memahami pihak lain tersebut sebagai
upaya untuk menjalin kerjasama. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar minimal
dari proses interaksi sosial (Soekanto, 2004:63-64).
Menurut Soerjono
Soekanto (2004:64-67), suatu interaksi sosial terjadi apabila memenuhi dua
syarat, yaitu ada kontak sosial dan ada komunikasi. Kontak sosial merupakan
tahap pertama dari proses interaksi sosial, yang bisa terjadi dalam tiga
bentuk, yaitu antar individu, antara individu dengan kelompok, dan antara satu
kelompok dengan kelompok lain. Kontak sosial di sini tidak hanya
bersifat langsung (bertemu), tapi juga bisa terjadi secara tidak langsung
(melalui media, misal telefon, surat, dll). Komunikasi bisa diartikan bahwa
seseorang memberi arti pada perilaku orang lain baik berupa pembicaraan, sikap
dan tanda simbolik yang lain, yang kemudian diberi reaksi oleh orang yang
bersangkutan.
Interaksi sosial
yang terjadi pada mayarakat majemuk bersifat lebih komplek, karena
menghubungkan antar individu, antar kelompok, antar suku yang berbeda-beda. Menurut
Royce (1982) dalam Usman Pelly (1989: 1-2), ada tiga faktor yang menentukan
corak hubungan dalam masyarakat majemuk, yaitu kekuatan sebagai kelompok
dominan, persepsi terhadap masyarakat itu sendiri maupun terhadap kelompok lain
(stereotype), dan tujuan
berinteraksi. Untuk kekuatan sebagai kelompok dominan lebih utama dibanding dua
faktor lainnya. Kekuatan sebagai kelompok dominan didapat dari kekuatan ekonomi
dan penguasaan terhadap sumber daya alam, ideologi yang dicirikan dari budaya
yang dimiliki dan hak historis yang menunjukkan penduduk asli dan penduduk
pendatang.
Secara umum
kelompok dominan diposisikan sebagai “wadah pembauran” kelompok lain, sehingga
orientasi akulturasi kelompok minoritas adalah budaya kelompok dominan yang
digunakan dalam kehidupannya sehari-hari untuk dapat diterima sebagai bagian
dari masyarakat. Meskipun demikian kehidupan dalam intern kelompok etnis
minoritas masih mempertahankan identitas mereka, seperti penggunaan bahasa
kelompok dan tradisi lain yang dianggap perlu untuk dipertahankan sebagai wujud
kesetiaan primordial terhadap kelompok. Pemertahanan identitas ini dibutuhkan
untuk menunjukkan bahwa kelompok ini masih bisa bertahan ditengah kemajemukan
masyarakat, dan juga sebagai bentuk pengukuhan kesetiaan terhadap anggota
kelompok. Menurut hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam
perkembangannya kelompok minoritas generasi kedua atau generasi ketiga
mengalami pemudaran identitas primordial karena terlalu intens terhadap budaya
kelompok dominan (Pelly, U.1989:3)
Oleh karena itu
dibutuhkan hubungan yang selaras antara suku bangsa dan golongan di masyarakat
majemuk seperti yang ada di Negara Indonesia. Untuk membina proses hubungan
yang selaras antar suku bangsa dibutuhkan perhatian terhadap aspek-aspek
berikut:
a) Sumber-sumber
konflik yang ada pada hubungan antar suku bangsa, seperti persaingan dalam
ekonomi dan politik, pemaksaan budaya oleh suku bangsa tertentu, pemaksaan
agama terhadap orang lain, pendominasian suatu bidang oleh suku bangsa
tertentu, dan terakhir adalah permusuhan suku bangsa karena adat.
b) Potensi
untuk bertoleransi atau bekerjasama yang berupa kerjasama di bidang sosial
ekonomi sebagai akibat keadaan yang saling membutuhkan antara suku bangsa, dan
juga keberadaan pihak ketiga sebagai penetralisir keadaan hubungan antara suku
bangsa.
c) Sikap
dan pandangan dari suku bangsa terhadap suku bangsa lain, suku bangsa dominan
terhadap suku bangsa minoritas, dan suku bangsa minoritas terhadap suku bangsa
dominan.
d) Tingkat
sosial budaya masyarakat saat hubungan antara suku bangsa berlangsung, apakah
itu di desa, di kota kecil, kota besar atau di tingkat negara (Koentjaraningrat, 2004:383-386)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.