Harold
Crouch, seorang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap politik Indonesia,
pernah sedikit pesimis mengenai prospek demokrasi di Indonesia. Demokrasi
merupakan topik yang semakin menarik untuk dijadikan bahan diskusi, baik oleh
kalangan akademisi maupun politisi.
Khusus
mengenai demokrasi di Indonesia, topik itu menjadi sangat menarik perhatian masyarakat
10 tahun terakhir ini. Hal ini karena orang menaruh perhatian yang sangat besar
akan terjadinya masa transisi menuju kehidupan politik yang lebih baik di
Indonesia.
Arus
demokratisasi telah melanda semenanjung sebelah timur Asia, termasuk di dalamnya
Korea Selatan dan Taiwan. Di Asia Tenggara, Filipina merupakah contoh konkrit terjadinya
transisi menuju demokrasi. Sementara Malaysia sudah lama mempraktikkan demokrasi
konstitusional. Thailand juga sudah memperlihatkan perubahan yang sangat
substantif dalam kehidupan politiknya yang demokratik.
Dalam
ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yakni pemahaman
secara normatif dan pemahaman secara empirik. Untuk pemahan yang terakhir ini juga
disebut sebagai demokrasi prosedural. Dalam pemahaman secara normatif,
demokrasi merupakan sesuatu yang secara idial hendak dilakukan atau
diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan “pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Ungkapan normatif tersebut,
biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masingmasing negara, misalnya dalam
UUD 1945 naskah sebelum amandemen sebagai berikut:
“
Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnuya oleh MPR (Pasal 1
ayat 2).
“
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan UU” (Pasal 28).
“Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat 2).
Kutipan
pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 di atas merupakan definisi normatif dari demokrasi.
Tetapi, kita juga harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat
dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu negara. Oleh
karena itu, adalah sangat perlu melihat bagaimana makna demokrasi secara
empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis.
Kalangan
ilmuwan politik, setelah mengamati praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan
demokrasi secara empirik dengan menggunakan sejumlah indikator tertentu. Juan
Linz, misalnya mendefinisikan demokrasi sebagai berikut: “We shall call a
political system democratic when it allows the five formulation of
political preferences dst……. Pemahaman demokrasi dalam konteks seperti ini
mengizinkan kita untuk mengamati: apakah dalam suatu sistem politik pemerintah
memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan
partisipasi guna memformulasikan hak politik mereka melalui organisasi politik
yang ada. Di samping itu, kita diperkenankan untuk mengamati sejauh mana
kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur untuk mengisi jabatan public.
Mengapa teratur? Hal ini untuk menghindari kemungkinan seseorang memperoleh
atau mengisi jabatan politik secara terus menerus, tanpa pembatasan, seperti
yang kita saksikan di Spanyol pada zaman Franco dan Yugoslavia pada zaman Tito.
Hampir
semua teoritisi, bahkan sejak zaman klasik selalu menekankan, bahwa sesungguhnya
yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat atau demos, populus.
Oleh karena itu, selalu ditekankan peranan demos yang senyatanya dalam proses
politik yang berjalan. Paling tidak menentukan masalah apa yang hendak diputuskan
serta ikut menentukan dalam pengambilan keputusan.
Diantara
para ilmuwan politik, Robert Dahl yang paling banyak menaruh perhatian terhadap
demokrasi kontemporer. menurut Dahl ada sejumlah prasarat untuk sebuah sistem demokrasi:
Pertama, akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang
dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang
hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat
mempertanggungjawabkan ucapan atau katakatanya. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya.
Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut
keluarganya dalam arti luas. Yaitu, perilaku anak dan isterinya, juga sanak keluarganya,
terutama yang terkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan
harus bersedia menghadapi apa yang disebut sebagai “public scrutiny”, terutama
yang dilakukan oleh media massa yang ada.
Kedua,
rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan
terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai.
Jadi tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang
orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang
pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan
pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat
demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaannya biasanya rendah pula. Bahkan
peluang untuk itu samngat terbatas. Kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan
dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja.
Ketiga,
rekritmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan
terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan satu sistem rekrutmen politik yang
terbuka. Artinya, setiap orang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan
politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai sama dalam melakukan kompetisi untuk
mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen
politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi
jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja.
Keempat,
Pemilihan Umum. Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu
dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyei hak
untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan
kehendak hati nuraninya. Ada kebebasan untuk menentukan partai atau calon mana
yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain.
Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di
dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.
Kelima,
menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang
demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara
bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of
expression), hakm untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly),
dan hak menikmati pers yang bebas (freedom of press). Hak untuk
menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya,
tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya.
Dengan kata lain, dia punya hak untuk ikut menentukan agenda apa yang diperlukan.
Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai
organisasi, politik dan non-politik, tanpa dihalang-halangi oleh siapapun dan
institusi manapun. Kebebasan pers dalam suatu masyarakat yang demokratik
mempunyai makna bahwa pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang
perlu, sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut, ataupun mengadu domba
sesama warga masyaraakat.
Indikator
atau elemen-elemen dasar dari demokrasi ini merupakan elemen yang umum dikenal dalam
dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu politik. Dengan elemen ini, kita dapat menghindarkan
diri dari etnosentrisme. Pemahaman demokrasi merupakan pemahaman yang universal.
Namun di dalam pengimplementasiannya, tidak tertutup kemungkinan beradaptasi dengan
elemen nilai-nilai lokal dalam suatu lingkungan politik tertentu. Tentu saja,
kita dapat mengamati seberapa jauh interaksi antara nilai universal demokrasi
dengan nilai-nilai lokal saling menopang satu sama lain. Ada kemungkinan kita
dapat melihat perbedaan implementasi demokrasi dari satu negara dengan negara
lainnya.
Sumber :
DEMOKRASI DI INDONESIA
(KONSEP, TRANSISI, DAN IMPLEMENTASINYA)
Sunarso
Jurusan PKnH FISE
UNY
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.