Seperti
dikatakan oleh Almond dan Verba, bahwa budaya politik adalah "distribusi
pola-pola orientasi khusus individu terhadap objek-objek politik diantara
masyarakat bangsa". Berdasarkan definisi ini, maka tipe budaya politik
suatu masyarakat atau bangsa akan dapat terlihat setelah terlebih dahulu
dilakukan survei terhadap individu-individu anggota masyarakat atau bangsa itu.
Dengan kata lain, definisi ini dapat digunakan untuk mengukur dan menilai
budaya politik suatu masyarakat atau bangsa menurut tipe-tipe budaya politik
tertentu.
Jadi
budaya politik dalam suatu masyarakat atau bangsa dapat diketahui melalui
tipe-tipe budaya politik yang ada. Dengan kata lain, melalui pengukuran
terhadap sejumah sampel atau responder dari masyarakat atau bangsa itu,
tipe-tipe budaya politik itu terlihat dari karakteristiknya, yaitu frekuensi
(tingkat kognisi atau afeksi atau evaluasi terhadap objek-objek politik dari
sejumlah sampel atau anggota masyarakat) pada tipe-tipe sel sesuai dengan aspek
dan objek politik dalam matrik pada kegiatan belajar yang pertama.
Apa
saja tipe-tipe budaya politik yang dimaksud dan bagaimana pula karakteristiknya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dari tabel terlihat bahwa berdasarkan
frekuensi atau tingkat orientasi politik anggota masyarakat, dalam hal ini
tingkat kognisi, afeksi dan evaluasinya terhadap objek-objek politik, terdapat
tiga tipe budaya politik, yaitu parokial, subjek dan partisipan.
A.
Budaya Politik Parokial
Budaya
politik parokial ditunjukkan oleh frekuensi terhadap keempat jenis objek
politik yang mendekati nol. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik
demikian adalah masyarakat suku-suku di Afrika atau komunitas-komunitas lokal
yang otonom (kerajaan sentralistis) di Afrika atau di benua lain di dunia.
Beberapa
ciri yang menonjol dari budaya politik parokial diantaranya sebagai berikut:
1.
Tidak adanya peran-peran politik yang bersifat khusus.
Kepala
suku, kepala kampung atau dukun merupakan pemencar peran-peran yang bersifat
politik, ekonomi dan keagamaan. Orientasi anggota-anggota masyarakat terhadap
peran-peran ini juga tidak terpisah dari orientasi religius dan sosial mereka.
2.
Orientasi parokial juga memperlihatkan ketiadaan harapan terhadap
perubahan-perubahan yang berarti yang diinisiatifkan oleh sistem politik. Kaum
parokial tidak mengharapkan spa pun dari sistem politik.
Secara
relatif parokialisme (budaya politik parokial) yang murni terdapat pada
masyarakat yang memiliki sistem tradisional yang lebih sederhana dengan tingkat
spesialisasi politik yang sangat minim. Namun demikian pada masyarakat yang
lebih besar juga masih tetap memiliki budaya politik parokial. Parokialisme
dalam sistem politik yang deferensiatif (masyarakat yang besar) lebih bersifat
afektif dan normative daripada kognitif. Contohnya adalah suku-suku bangsa di
Nigeria dan Ghana. Bisa saja mereka mengetahui akan suramnya rezim politik
central, tetapi perasaannya terhadap hal tersebut bersifat negatif dan mereka
tdiak membakukan berbagai norms untuk mengatur hubungan dengan hal-hal
tersebut.
B.
Budaya Politik Subjek
Dalam
budaya politik subjek terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap sistem
politik yang diferensiatif dan objek-objek output dari sistem itu, tetapi
frekuensi orientasi terhadap objek-objek input dan pribadi sebagai partisipan
yang aktif (aktor politik) mendekati nol.
Beberapa
ciri yang menonjol dari budaya politik subjek diantaranya adalah:
1.
Para subjek (anggota masyarakat yang memiliki budaya subjek) menyadari adanya
otoritas pemerintah (sistem politik), mereka secara efektif diarahkan terhadap
otoritas tersebut, mereka juga mungkin merasa bangga terhadap sistem itu atau
sebaliknya tidak menyukainya, dan mereka menilainya absah atau sebaliknya.
2.
Hubungan pars subjek dengan sistem secara umum dan terhadap output,
administrative atau "downward flovV'nya (alur pelaksanaan kebijakan dari
sistem politik itu secara esensial merupakan hubungan yang pasif, walaupun
mereka memiliki bentuk kompetensi (kemampuan) secara terbatas.
Orientasi
subjek yang murni terdapat pada masyarakat yang tidak memiliki struktur input
yang dideferensiasikan. Orientasi subjek dalam sistem politik yang telah
mengembangkan pranata-pranata demokrasi lebih bersifat afektif dan normative
daripada kognitif. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan
Perancis. Mereka sangat menyadari akan adanya institusi demokrasi, tetapi
secara sederhana hal ini tidak memberi keabsahan pada mereka.
C.
Budaya Politik Partisipan
Tipe
budaya politik partisipan adalah satu bentuk budaya yang anggota-anggota
masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem secara
keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif (objek-objek input
dan output). Demikian pula anggota-anggota pemerintah yang partisipatif secara
menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada berbagai objek politik yang serba
ragam. Mereka cenderung diarahkan kepada peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat,
meskipun perasaan dan penilaian mereka terhadap peranan yang demikian bisa
menerima atau justru menolaknya. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini
ditandai oleh anggota masyarakat atau warga negara yang memiliki pengetahuan
dan kesadaran politik, perhatian dan kepedulian terhadap keseluruhan
objek-objek politik yang sangat tinggi. Meskipun mereka sendiri bisa saja
bersikap positif atau negatif terhadap objek-objek politik tersebut. Contoh
masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut
studi Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat.
Tipe
budaya politik partisipan secara umum tidak akan menanggalkan tipe-tipe
terdahulu yaitu parokial dan subjek, karena ketidaksamaan kondisi di
masing-masing masyarakat atau negara. Ketidaksempurnaan proses-proses
sosialisasi politik, pembatasan dalam pendidikan atau kesempatan untuk
belajar
yang menyebabkan tipe budaya politik parokial dan subjek akan terns ada. Bahkan
di negara demokrasi yang sudah terhitung mapan dan stabil. Begitu pula dengan
kebudayaan parokial akan tetap bertahan walaupun dalam kebudayaan subyek yang
tinggi.
Bila
dianalisa lebih jauh, budaya-budaya politik itu dapat disejajarkan dengan
struktur-struktur sistem politik atau sebaliknya. Keharmonisan akan tercipta
bilamana struktur politik yang ada di suatu negara sesuai dengan kebudayaan
politiknya. Pada umumnya budaya parokial, subjek dan partisipan hampir sama dan
sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otorian yang
sentralistis dan struktur politik demokratis. Secara visual kesejajaran itu
dapat diskemakan seperti berikut:
Budaya
Paroksial ――― Struktur Politik Tradisional
Budaya
Subjek ――― Struktur Politik Otoritarian Sentralistis
Budaya
Partisipan ――― Struktur Politik Demokratis
Dari
skema di atas, tampak bahwa budaya politik parokial sejajar dengan struktur
politik tradisional. Struktur politik tradisional ini banyak terdapat, misalnya
pada struktur komunitas di desa atau suku yang terpencil. Bila ditafsirkan
sebaliknya, maka dapat diartikan bahwa struktur politik tradisional sangat
cocok diterapkan pada masyarakat yang memiliki budaya politik parokial.
Struktur politik yang otoritarian sentralistis hanya cocok diterapkan pada
masyarakat atau bangsa yang memiliki budaya politik subjek. Dan struktur
politik yang demokratis sangat cocok diterapkan pada masyarakat atau bangsa
yang telah memasuki taraf budaya politik partisipan. Jika struktur politik
diterapkan pada masyarakat atau bangsa yang tidak sesuai budaya politiknya,
maka bisa jadi akan timbul ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan itu bisa dalam
bentuk tidak berjalannya atau tidak berfungsinya sistem politik atau bahkan
timbul kekacauan politik pada masyarakat atau bangsa itu.
Ketiga
macam tipe budaya politik seperti yang tercantum dalam tabel di atas merupakan
tipe-tipe budaya politik yang bersifat murni. Kombinasi antara tipe-tipe budaya
politik tersebut di atas dapat membentuk tipe-tipe budaya politik campuran.
Secara konseptual ada tiga bentuk budaya politik campuran, yaitu: budaya subjek
parokial, budaya subjek partisipan, dan budaya parokial – partisipan.
1.
Budaya Subjek – Parokial
Ini
adalah tipe budaya politik yang sebagian besar penduduknya menolak
tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas
feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.
Bentuk budaya campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari pola budaya
parokial (parokialisme lokal) menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang
sentralistis). Sejumlah bangsa di belahan dunia mengalami peristiwa ini.
Bentuk-bentuk klasik kerajaan merupakan contoh budaya ini, seperti
kerajaan-kerajaan di Afrika, Rusia (Jerman) dan The Ottoman Empire (Kekaisaran
Turki).
2.
Budaya Subjek – Partisipan
Budaya
politik campuran ini merupakan peralihan atau perubahan dari budaya subjek
(pemerintahan yang sentralistis) menuju budaya partisipan (demokratis).
Cara-cars yang berlangsung dalam proses peralihan dari budaya parokial dan
lokal turut mendukung pembangunan infrastruktur demokratis. Gejala ini terjadi
pada politik Inggris. Kekuasaan-kekuasaan lokal, lembaga atau unit pemerintah
kota praja, komunitas religius, dan kelompok-kelompok pedagang mendukung proses
perkembangan demokrasi di Inggris.
Dalam
budaya subjek – partisipan yang bersifat campuran itu sebagian besar penduduk
telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian
orientasi pribadi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terns
diorientasikan ke arah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara
relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif. Secara mudah dapat dikatakan,
pada masyarakat ini ada kelompok yang berorientasi pada pemerintahan otoritarian.
Pada masyarakat yang berorientasi partisipan (demokrat) tidak dapat menjadi
pranata sosial yang mandiri dan berwibawa, karena dihadang oleh kemampuan
budaya subjek (otoritarian). Lagi pula dalam budaya subjek partisipan terdapat
ketidakstabilan pemerintahan yaitu tumpulnya infrastruktur demokratis dan
sistem pemerintahan yang cenderung menghasilkan keterasingan diantara penduduk
yang berorientasi demokratik.
Jika
budaya campuran ini berlangsung lama, akan mengubah karakter sub budaya subjek,
karena terjadi persaingan antara kelompok-kelompok yang berorientasi
otoritarian. Walaupun tidak mengubah seluruhnya sub budaya subjek menuju budaya
demokratis, namun akan melahirkan perubahan sehingga membentuk pemerintahan
yang berlainan dari sebelumnya. Contoh negara yang memiliki tipe budaya ini
adalah Perancis, Jerman dan Italia pada abad ke-19 dan saat ini.
3.
Budaya Parokial — Partisipan
Tipe
budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang
melaksanakan pembangunan politik. Di sejumlah negara ini pada umumnya budaya
politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norms struktural yang
diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka
menuntut suatu budaya partisipan. Persoalan yang muncul adalah seringkali
terjadi ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan
budaya alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu, satu hal yang
harus ditanggulangi adalah upaya mengembangkan input dan output secara
perlahan-lahan. Sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan
tidak stabil yang suatu ketika ke arah otoritarian, namun saat yang lain ke
arah demokrasi. Birokrasi tidak bisa menjembatani masyarakat, sedangkan
infrastruktur tidak mengakar dengan kuat di masyarakat
Disusun Oleh: DR. SUHARNO, M.Si
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.