Friday, April 26, 2013

Pengertian Ras Dan Etnisitas




Asal istilah ‘ras’ masih jadi bahan perdebatan; dan teori terminologi berkisar dari bahasa latin ‘generatio;, ‘ratio’, dan ‘radix’ hingga kebahasa spanyol ‘raza’, bahasa italia’razza’, dan bahasa Perancis lama ‘Haraz’ dengan arti yang beragam seperti generasi, akar, darah bangsawan, kain rusak, noda, dan kontaminasi, atau pembiakan kuda. Kata ras beberapa abad lebih tua dari pada etnisitas.


Jika etnisitas dipakai sebagai pengganti istilah yang lebih tua,’ras’, mengapa ‘etnisitas’ tidak mengganti ‘ras’ secara keseluruhan ? pertanyaan ini membuka perdebatan dalm pembahasan etnisitas. Apakah ‘ras’ secara konseptual berbeda dari ‘etnisitas’? dan jika memang demikian apakah perbedaan itu pada tingkat atau jenis. Untuk tujuan ilmiah, apakah’ras’dan’etnisitas’harus dipahami sebagai aspek dari seperangkat fenomena yang sama, dalam hubungannya satu dengan lainnya, atau secara Individual ? apakah mereka layak dibicarakan bersama-sama, atau sebagai masalah yang berbeda ? apa keuntungandan kerugian jika kita mengadopsi salah satu diantara posisi-posisi ini ?

Dalam Black and Ethnic Group : The Difference and the Political Difference It Makes (1971) Nathan Glazer mengemukakan tentang ‘ras’dan ‘etnisitas’ : Membentuk satu keluarga tunggal dari identitas sosial – satu keluarga yang dalam kaitannya dengan kelompok ras dan etnik, meliputi agama (sebagaimana di Belanda), kelompok bahasa (sebagaimana di Belgia), dan semua yang bisa dimasukkan kedalam pengertian umum, kelompok etnik, kelompok yang mempunyai asal usul, baik nyata maupun mistis, dan berbagai pengalaman dan sejarah yang sama.

Dalam The scope of sociology (1988), Milton M. Gordon berpendapat senada meskipun mengunakan pendekatan yang berbeda. Menurut Gordon, istilah ‘kelompok etnik’ cukup luas untuk melibatkan kelompok ras. Istilah kelompok etnik lebih sering muncul dalam pemakaian, sebab semua ras adalah kelompo etnik. Tetapi semua kelompo etnik, sebagaimana didefinsikan secara konvensional, belum tentu ras. Tetapi ironisnya, ini menjadi kualitas etnisitas inklusif yang agak memisahkannya dari ras. Lebih lanjut dia mengatakan: ‘fenomena sekarang bukanlah ras tetapi etnisitas yang, menurut konsep sosiologi meliputi ras. Dengan demikian perbedaan antara ras dan berbagai tipe kelompok etnik lainya tidak perlu dibesar-besarkan, karena ini hanya semata-mata masalah tingkatan (degree) bukanya jenis (kind). Hal yang terpenting adalah jangan sampai kita terjebak dengan anggapan bahwa konflik yang didasarkan pada perbedaan ras lebih serius dibandingkan dengan konflik yang didasarkan atas perbedaan etnik.

Menurut Gordon, perbedaan fisik (sering diasosiasikan dengan ras) dan perbedaan budaya (sering dikaitkan dengan etnisitas) terletak pada presepsi. Michael Omi & howard winant dalam Racial Formation in United States (1986) mengembangkan pandangan yang berbeda. Menurut mereka apa yang disebut dengan ‘model etnisitas’ cenderung mengabaikan perbedaan pengalaman historis. Sebaliknya dia percaya bahwa perbedaan konseptual antara ‘ras’ dan ‘etnisitas’ akan mampu mengarah pada pemahaman lebih baik mengapa karena ras perbedaan tidak akan berubah oleh adopsi norma dan budaya mayoritas jangka panjang (membuatnya lebih sesuai dengan model pluralis dan asimilasionisis). Omi & Winant berpendapat, sebagaian dengan dasar politik, bahwa setiap konsep sosiologi ‘baku’ bisa mengarah pada tujuan politik yang buruk. Kiranya pula tidak perlu dipercayai asumsi bahwa sarjana yang memiliki hubungan kekeluargaan antara ras dan etnisitas dengan sendirinya akan dipandu oleh bias asimilasionis.

Ringkasan paling sistematis berkaitan dengan perbedaan antara ras dengan etnisitas dikemukakan oleh Piere l. van den Berghe dalam Race and Racism (1967) yang membandingkan antara Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Dia berpendapat bahwa empat konotasi utama ras sangat membingungkan. Pertama, tiadanya konteks Antropologi fisik yang mengklasifikasikan manusia kedalam tiga atau lima ras yang sering diutarakan bilamana para pakar berbicara mengenai ras. Kedua, istilah ini telah dan masih diterapkan dibeberapa kelompok seperti ‘ras Perancis’, ‘ras Yahudi’, dan dalam hal ini, Van Den Berghe menyarankan penggunaanistilah ‘etnisitas’ atau ‘kelompok etnik’ sebagai penganti kata’ras’ hanya dalam pengertian ini. Ketiga kata polisemi juga bersinonim dengan ‘spesies’ jika kita berbicara mengenai ‘human race’. Hanya arti ras keempat, yang direkomendasikan oleh Van Den Berghe untuk digunakan; ini merujuk pada sebagaimana sering digunakan oleh ilmuan sosial, kelompok
manusia yang mendefinisikan dirinya atau didefinisikan kelompok lain sebagai kelompok yang berbeda dari kelompok lainnya baik pembawaan fisik maupun karakter. Omi dan Winant dalam Formation In the United States (1986) selanjutnya memberikan komentar bahwa definisi ras mempunyai konotasi yang sangat subjektif. Dalam hal ini dari sudut mana etnik memiliki arti yang berbeda-beda. Etnik selalu merujuk pada adanya unsur-unsur yang lebih kecil sedangkan ras merujuk pada kekuatan atau pencitraan yang lebih besar pada kelompok-kelompok manusia. Dengan demikian pendapat Omi dan Winnant perlu diperhatikan seksama. Terutama mengingat asumsi Gordon bahwa semua rasadalah kelompok etnik boleh jadi memunculkan salah paham ketika mengunakan metode yang memandang semua orang hitam hanya sebgai satu-satunya kelompok
etnik karena mereka juga disebut sebagai ras.

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |