Asal
istilah ‘ras’ masih jadi bahan perdebatan; dan teori terminologi berkisar dari
bahasa latin ‘generatio;, ‘ratio’, dan ‘radix’ hingga kebahasa spanyol ‘raza’,
bahasa italia’razza’, dan bahasa Perancis lama ‘Haraz’ dengan arti yang beragam
seperti generasi, akar, darah bangsawan, kain rusak, noda, dan kontaminasi,
atau pembiakan kuda. Kata ras beberapa abad lebih tua dari pada etnisitas.
Jika
etnisitas dipakai sebagai pengganti istilah yang lebih tua,’ras’, mengapa ‘etnisitas’
tidak mengganti ‘ras’ secara keseluruhan ? pertanyaan ini membuka perdebatan
dalm pembahasan etnisitas. Apakah ‘ras’ secara konseptual berbeda dari ‘etnisitas’?
dan jika memang demikian apakah perbedaan itu pada tingkat atau jenis. Untuk tujuan
ilmiah, apakah’ras’dan’etnisitas’harus dipahami sebagai aspek dari seperangkat
fenomena yang sama, dalam hubungannya satu dengan lainnya, atau secara Individual
? apakah mereka layak dibicarakan bersama-sama, atau sebagai masalah yang
berbeda ? apa keuntungandan kerugian jika kita mengadopsi salah satu diantara
posisi-posisi ini ?
Dalam
Black and Ethnic Group : The Difference and the Political Difference It Makes
(1971) Nathan Glazer mengemukakan tentang ‘ras’dan ‘etnisitas’ : Membentuk
satu keluarga tunggal dari identitas sosial – satu keluarga yang dalam
kaitannya dengan kelompok ras dan etnik, meliputi agama (sebagaimana di
Belanda), kelompok bahasa (sebagaimana di Belgia), dan semua yang bisa
dimasukkan kedalam pengertian umum, kelompok etnik, kelompok yang mempunyai
asal usul, baik nyata maupun mistis, dan berbagai pengalaman dan sejarah
yang sama.
Dalam
The scope of sociology (1988), Milton M. Gordon berpendapat senada meskipun
mengunakan pendekatan yang berbeda. Menurut Gordon, istilah ‘kelompok etnik’
cukup luas untuk melibatkan kelompok ras. Istilah kelompok etnik lebih sering
muncul dalam pemakaian, sebab semua ras adalah kelompo etnik. Tetapi semua
kelompo etnik, sebagaimana didefinsikan secara konvensional, belum tentu ras.
Tetapi ironisnya, ini menjadi kualitas etnisitas inklusif yang agak
memisahkannya dari ras. Lebih lanjut dia mengatakan: ‘fenomena sekarang
bukanlah ras tetapi etnisitas yang, menurut konsep sosiologi meliputi ras.
Dengan demikian perbedaan antara ras dan berbagai tipe kelompok etnik lainya
tidak perlu dibesar-besarkan, karena ini hanya semata-mata masalah tingkatan
(degree) bukanya jenis (kind). Hal yang terpenting adalah jangan sampai kita
terjebak dengan anggapan bahwa konflik yang didasarkan pada perbedaan ras lebih
serius dibandingkan dengan konflik yang didasarkan atas perbedaan etnik.
Menurut
Gordon, perbedaan fisik (sering diasosiasikan dengan ras) dan perbedaan budaya
(sering dikaitkan dengan etnisitas) terletak pada presepsi. Michael Omi &
howard winant dalam Racial Formation in United States (1986)
mengembangkan pandangan yang berbeda. Menurut mereka apa yang disebut dengan ‘model
etnisitas’ cenderung mengabaikan perbedaan pengalaman historis. Sebaliknya dia
percaya bahwa perbedaan konseptual antara ‘ras’ dan ‘etnisitas’ akan mampu mengarah
pada pemahaman lebih baik mengapa karena ras perbedaan tidak akan berubah oleh
adopsi norma dan budaya mayoritas jangka panjang (membuatnya lebih sesuai dengan
model pluralis dan asimilasionisis). Omi & Winant berpendapat, sebagaian dengan
dasar politik, bahwa setiap konsep sosiologi ‘baku’ bisa mengarah pada tujuan
politik yang buruk. Kiranya pula tidak perlu dipercayai asumsi bahwa sarjana
yang memiliki hubungan kekeluargaan antara ras dan etnisitas dengan sendirinya
akan dipandu oleh bias asimilasionis.
Ringkasan
paling sistematis berkaitan dengan perbedaan antara ras dengan etnisitas
dikemukakan oleh Piere l. van den Berghe dalam Race and Racism (1967) yang
membandingkan antara Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Dia berpendapat bahwa
empat konotasi utama ras sangat membingungkan. Pertama, tiadanya konteks Antropologi
fisik yang mengklasifikasikan manusia kedalam tiga atau lima ras yang sering
diutarakan bilamana para pakar berbicara mengenai ras. Kedua, istilah ini telah
dan masih diterapkan dibeberapa kelompok seperti ‘ras Perancis’, ‘ras Yahudi’,
dan dalam hal ini, Van Den Berghe menyarankan penggunaanistilah ‘etnisitas’
atau ‘kelompok etnik’ sebagai penganti kata’ras’ hanya dalam pengertian ini.
Ketiga kata polisemi juga bersinonim dengan ‘spesies’ jika kita berbicara mengenai
‘human race’. Hanya arti ras keempat, yang direkomendasikan oleh Van Den Berghe
untuk digunakan; ini merujuk pada sebagaimana sering digunakan oleh ilmuan
sosial, kelompok
manusia
yang mendefinisikan dirinya atau didefinisikan kelompok lain sebagai kelompok
yang berbeda dari kelompok lainnya baik pembawaan fisik maupun karakter. Omi
dan Winant dalam Formation In the United States (1986) selanjutnya memberikan
komentar bahwa definisi ras mempunyai konotasi yang sangat subjektif. Dalam hal
ini dari sudut mana etnik memiliki arti yang berbeda-beda. Etnik selalu merujuk
pada adanya unsur-unsur yang lebih kecil sedangkan ras merujuk pada kekuatan
atau pencitraan yang lebih besar pada kelompok-kelompok manusia. Dengan
demikian pendapat Omi dan Winnant perlu diperhatikan seksama. Terutama
mengingat asumsi Gordon bahwa semua rasadalah kelompok etnik boleh jadi memunculkan
salah paham ketika mengunakan metode yang memandang semua orang hitam hanya
sebgai satu-satunya kelompok
etnik
karena mereka juga disebut sebagai ras.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.