Persoalan serius yang dihadapi
oleh ilmuwan sosial di Indonesia adalah bagaimana menghadirkan ilmu sosial yang
mampu untuk melakukan transformasi? Mengapa perlu memfokuskan pada pertanyaan
ini. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada dekade ini masih mengalami
kemandekan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan hanya mampu menjelaskan
fenomena sosial, namun juga mentransformasikan fenomena sosial tersebut,
memberi petunjuk kearah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Menurut
refleksi Kuntiwijoyo dalam menghadapi persoalan ini ilmu sosial akademis dan
ilmu sosial kritis, belum bisa memberikan jawaban yang jelas.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh
Kuntowijoyo adalah dengan membangun ilmu sosial profetik, yaitu suatu ilmu
sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh
siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik, tidak sekedar mengubah demi perubahan,
tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.
Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan
nilai dari citacita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo
arah perubahan yang diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi,
liberasi dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari
misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110. ” Engkau adalah
umat terbaik (khoiro ummat) yang dikeluarkan di tengah manusia untuk
menegakan kebaikan ( al ma’ruf), mencegah kemungkaran (al
munkar) dan beriman kepada Allah (transendental).” Dengan muatan nilai
inilah yang menjadi karakteristik ilmu sosial profetik, ilmu sosial profetik
diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa
depan.
Dengan Ilmu sosial profetik, akan
dilakukan orientasi terhadap epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of
thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak
hanya dari rasio dan empiris, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu
sosial profetik ilmuwan sosial Muslim tidak perlu terlalu khawatir yang berlebihan
terhadap dominasi ilmu sosial Barat di dalam proses theory building. Islamisasi
pengetahuan dengan proses peminjaman dan sistesis ini tidak harus diartikan sebagai
westernisasi Islam.
Dalam pencermatan penulis
Kuntowijoyo, telah merintis melalui sebuah ikhtiar sebagaimana dapat disimak
dalam analisis yang dilakukannya dengan melakukan kritik sekaligus
penyempurnaan pada tipologi Santri, Abangan dan Priyayi yang dikonseptualisasikan
oleh Clifford Geertz, berikut ini.
Diantara kritik dan sekaligus
penyempurnaan dari konsep Geertz ini ialah dilakukan oleh Kuntowijoyo. Menurut
Kuntowijoyo,
pada saat ini (dekade delapan puluhan-sembilan
puluhan) pengelompokan abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan
keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan stratifikasi sosial) telah
mengalami perubahan karena adanya konvergensi sosial. Terjadi mobilitas sosial
dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya priyayi ke bawah. Sementara itu
golongan Santri dan Abangan sudah membuka diri sehingga terjadi proses saling
mengisi. Akibatnya, batas-batas kultural diantara mereka sulit dikenali lagi. Sungguhpun
demikian secara sosiologis, kehidupan keagamaan, setiap pemeluk agama memiliki
perangkat aturan dan pola perilaku sebagai pengatur tata hubungan komunitas
kelompok tersebut.
Untuk
pemeluk agama Islam aturan nilainya bersumber pada Al Qur’an, Sunnah Rosulullah,
atau sistem nilai lainnya yang diadaptasi tetapi tidak bertentangan dengan Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sumber :
Dari Diskursus
Alternatif menuju Indigeneousasi Ilmu Sosial Indonesia: Teoritisasi ‘Prophetic
Political Education’ Oleh: Nasiwan
& Grendi Hendrastomo
(UNY)
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.