Menurut pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Hatib Abdul Kadir, tato di Indonesia
saat ini mencapai tahap yang makin terbuka. Bergerak dari tren fashion
masyarakat perkotaan, meski masih dilakukan di tempat tertutup ruang praktek
artis tato-menjadi perayaan yang terbuka dan massal. Fenomena ini, menurut dia,
merupakan pergeseran dari fase kriminalisasi, ketika orang bertato identik
dengan penjahat. Hatib Abdul Kadir dalam bukunya yang berjudul tato mencoba
menggambarkan secara lebih utuh, dengan memaparkan alur sejarah didalamnya yang
nantinya membantu pembacanya untuk memahami bagaimana perjalanan tato di
nusantara. Hatib abdul kadir bergerak di dua ranah; teori-teori budaya dan
sejarah. Seperti diungkapkan bahwa, “tato akan sangat bergantung pada tiga
konteks pemaknaan, yakni kejadian historis, lokasi teks, dan formasi budaya
pembacanya” .
Tato yang sekarang ini telah mengalami pergeseran dan mamsuki rana
antroposentris. Sebelumnya tato hanya bernilai religius transendental dan magis
pada masyrakat suku pedalaman. Tato yang kini telah menjadi fenomena kebudayaan
masif yang mampu menimbulkan kesan intepretatif. Kegiatan intepretatis inilah
yang disinggung oleh gertz : kebudayaan adalah jalinan makna dimana manusia
mengintepretasikan pengalaman
pengalamannya dan selanjutnya hal
tersebut menuntun tingkah lakunya. Ketika manusia mengurangi, menambahi dan
mengubah bagian tubuhnya maka akan
memunculkan simbol atau makna semiotik yang dapat dibaca dengan beragam makna.
Adapun, makna tato kini juga harus dilihat dari sudut pandang budaya
baru, budaya global. Tato secara pemaknaan telah mengalami ameliorasi
(perluasan). Bila semula tato merupakan bagian dari budaya ritual etnik
tradisional, kini mengalami perkembangan yang meluas, tato menjadi sebuah budaya pop. Definisis sederhana dari populer
itu sendiri adalah sesuatu yang dapat diterima, disukai, atau disetujui oleh
masyarakat banyak. Sedangkan untuk istilah budaya sendiri sering didefinisikan
sebagai satu pola yang merupakan
kesatuan dari pengetahuan, kepercayaan,
serta kebiasaan yang tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan
menyebarkannya ke generasi berikutnya.
Raymond williams menyebutkan bahwa definisi budaya terbagi atas
tiga segmen, yakni : pertama, budaya
merupakan proses umum berbagai perkembangan yang mengacu pada intelektualita (pola pikir), nilai-nilai
estetis dan religusitas. Kedua, budaya adalah pandangan hidup tertentu dari suatu
masyarakat/kelompok dengan periode tertentu yang selalu berkembang dan berbeda.
Pada masalah tato dan tindik, faktor perkembangannya tidak hanya dilihat dari
segi estetis tetapi juga dipadang
melalui segi ritus religius, yang mengalami perkembangan dan perubahan menuju rujkan pada nilai nilai
intelektualitas , aktivitas artistik. Ketiga, budaya mngukapkan berbagai
teks dan tindakan yang memiliki fungsi menunjukkan dan menandakan. Dari ketiga
segmen ditas dapat disimpulkan bahwa
budaya merupakan praktik praktik penandaan yang dapat berubah makna
sesuai dengan perubahan zaman dan area tertentu. Disamping itu Williams juga
membagi kebudayaan menjadi 3 tingkatan yakni : live culture, kebudayaan yang
hidup pada waktu dan tempat tertentu dan hanya bisa dinikmati secara penuh oleh
mereka yang hidup pada waktu dan tempat tertentu. Culture of the periode,
kebuadayaan bisa direkam semua bentuknya, mulai dari karya seni hingga
fakta-fakta keseharian. Culture of the selective tradition, adalah faktor yang menghubungkan kebudayaan yang hidup pada
suatu waktu tertentu dan kebuadayaan disuatu periode. Dan raymond williams
mengajukan beberapa ciri khas dari budaya pop itu sendiri, yakni di sukai
banyak orang, dikerjakan secara rendahan, dikonsumsi secara individual, dan
menyenangkan.
Jika, berangkat dari teori yang dikemukan oleh raymond williams.
maka, tato yang yang telah manjadi
fenomena budaya termasuk kedalam budaya pop, hal tersebut nampak dari tato yang
banyak digunakan oleh kalangan muda dan
dirasa cukup menyenangkan. Apa yang telah diungkapkan oleh williams mengenai
kebudayaan sering disebut dengan “ struktur perasaan” dimana nilai nilai yang
di anut oleh individu dalam masyarakat dapat terbaca melalui catatan dokumenter
yang tersaji. Toto yang dulu merupakan budaya tinggi mulai bergeser menjadi
budaya pop.
Sosiolog perancis, Bourdieau, menambahkan pernyataan williams
mengenai budaya pop sebagai budaya komersial dampak dari produksi masal dan mendapat pengawasan secara sosiologis,
sedangkan budaya tinggi adalah kreasi individu yang kreatif dan mendapat
pengawasan secara estetis dan moral, seangkan bourdieau ingin membuat kelas
budaya dalam aktivitas sosial yang dilakukan manusia. Salah satu pembedanya
adalah selera. Akibatnya budaya pop cenderung diaanggap sebagai budaya kelas
dua yang inferior. Superioritas budaya tinggi dipertentangkan dengan budaya
pop. Dalam mengamati fenomena tato itu sendiri dapat kita lihat, ketiika
awalnya tato tindakan yang sakral yang
hanya dihayati dan diguakan oleh kelas kelas tertentu dalam masyarakat
tradisional masuk kedalam tataran profan, dimana si pemakai bisa menggunakan
tato tanpa adanya tekanan bahkan ritual ritual dan ikatan dari agama, disinilah
tato menjadi budaya pop.
Permasalahan dikotomik yang ada anatara budaya pop dengan buadaya
tinggi juga diungkakan oleh teori neo-gramscian. Sedikit perbedaan yang
ditawarkan oleh teori ini adalah budaya
pop bukan dianggap sebagai budaya yang muncul secara spontan, melainkan muncul
karena adanya suatu pertukaran yang
berupan resistensi dan inkorporasi, dimana biasa disebut sebagai keseimbangan
kompromis. Teori neo-gramscian melihat budaya pop sebagai ruang pertarungan
ideologi antara kelompok dominan melawan kelompok subordinansi. Apa yang
dinyatakan dalam teori neo-gramscian dapat kita lihat jika dulu tato hanya
digunakan oleh kelompok atau kaum
tertentu secara elitis, pada dasawarsa 80-an tato mulai dikonsusi oleh para
preman dan sekarang tato telah dikonsumsi oleh para pemuda “ gaul”, analisis
neo-gramscian dapat mengartiklasikan bahwa
ekspresi anak muda merupakan perlawanan atas hegemoni klas yang berkuasa
denga memberikan jawaban berupa
resistensi dan inkorporasi.
Budaya tanding sendiri adalah
budaya yang dikembangkan oleh generasi muda
sebagai ajang perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan. Dengan kata lain
tato merupakan bentuk perlawanan
terhadap segala sesuatu yang bercirikan kemapanan, hebdige mengatakan bahwa
renspon para pera pemuda tersebut bukan
sekedar penegasan atau penolakan , bukan eksploitasi komersial atau
pemberontakan murni melainkan sebuah deklarasi kemerdekaan tetang “ kelainan” ,
tentang tujuan asing maupun penolakan terhadap anomitas, terhadap subordinat.
Deviasi mempunyai pengertian sebagai tindkan penyimpangan
perilaku yang bertentangan dengan
norma-nporma yang ada dimasyarakat. Konsep deviasi senada dengan konsep
subkultur. Terjadinya deviasi bisanya menandaakan bahw astruktur sosial yang ada dalam
masyarakat perlu diubah. Sosiolog becker mengangap deviasi adalah tindakan yang
menyimpang merupakan kegagalan dalam
mematuhi aturan aturan kelompok yang berlaku. Jika dikaitkan dengan
fenomena tato itu sendiri ketika tato dihayati di yogyakarta ataupun denpasar ,
maka keberadaanya akan dianggap sah sah saja, sebaliknya jika tato itu berada
di daerah jombang,blita, dan pasuruan maka akan timbul permasalahan karena
norma-norma yang berlaku didaerah tersebut tidak menghendaki pemakaian tato.
Macionis memiliki pandangan yang berbeda dengan becker mengenai
deviasi ittu sendiri, menurutnya,
penyimpangan tidak bisa diidentifikasikan dengan aopa yang dilakukan
seseorang, tetapi dapat diidentifikasi bagaimana orang lain merespon tindakan
tindakan yang dilakukan oleh individu
yang bersangkutan . dengan kata lain
perilaku menyimpang dapat berasal dari
masyarakat itu sendiri, karena adanya stigma kepada seseorang. Dalam hal ini sesuatu yang
menyimpang adalah sesuatu ayng
berbeda dan tidak atau belum mendapat
pengakuan umum.
Sebelum tato menjadi tren
dikalangan pemuda, tato masih mendapat
stigma yang sangat negatif dari masyarakat terlebih lagi adanya larangan agama,
oleh karena itu ketika tato digunakan
itu sama saja dsengan melakukan sebuah pemberontakan terhadap tatanan nilai sosial yang ada , dan
hal tersebut dianggap sebagai tindakan deviasi. Eksistensi tato yang selama ini
dianggap sebagai deviasi. Tato merupakan tindakan yang masih diaanggap
menyimpang dari rel rel kaidah dan norma yang berlaku dimasyarakat. Di
Indonesia sendiri stigma tersebut dirasa masih cukup kental, konformitas yang
masih sangat kuat, dimana anak muda dianggap
normal, tampan, alim apabila dia rapi, bersih/tidak bertato, tidak
bertindik, dan lain sebagainya. Jika terjadi penyimpangan sedikit saja maka
pandangan masyarakat akan berubah drastic, dimana si individu yang menyimpang
tersebut akan mendapat gunjingan dan celaan.
Berdasarkan analisis social yang digunakan oleh macionis “ paradigma konflik social
memperlihatkan bagaimana penyimpangan
mengakibatkan ketimpangan social. Pendekatan tersebut berpendapat bahwa siapa atau apa yang dicap sebagai penyimpang itu tergantung
kepada kekuatan relative dari golongan orang, jadi analisis diatas menunjukkan
bahwa seseorang di cap menyimpang tergantung pada kekuatan relative dari
kelompok komunal atau tokoh yang
mewakili domisasi suatu kelompok. Macionis juga beranggapan bahwa penyimpangan yang etrjadi dalam masyarkat
akan meberikan hal barui dalam system social masyarakat. Dengan masuknya budaya
baru atau suatu budaya yang berbeda akan
ada kekayaan wacana budaya yang beragam
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.