Friday, November 23, 2012

(TATO; Hatib Abdul Kadir Olong) Teori Yang Digunakan Dalam Memahami Fenomena Tato




Menurut pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hatib Abdul Kadir, tato di Indonesia saat ini mencapai tahap yang makin terbuka. Bergerak dari tren fashion masyarakat perkotaan, meski masih dilakukan di tempat tertutup ruang praktek artis tato-menjadi perayaan yang terbuka dan massal. Fenomena ini, menurut dia, merupakan pergeseran dari fase kriminalisasi, ketika orang bertato identik dengan penjahat. Hatib Abdul Kadir dalam bukunya yang berjudul tato mencoba menggambarkan secara lebih utuh, dengan memaparkan alur sejarah didalamnya yang nantinya membantu pembacanya untuk memahami bagaimana perjalanan tato di nusantara. Hatib abdul kadir bergerak di dua ranah; teori-teori budaya dan sejarah. Seperti diungkapkan bahwa, “tato akan sangat bergantung pada tiga konteks pemaknaan, yakni kejadian historis, lokasi teks, dan formasi budaya pembacanya” .

Tato yang sekarang ini telah mengalami pergeseran dan mamsuki rana antroposentris. Sebelumnya tato hanya bernilai religius transendental dan magis pada masyrakat suku pedalaman. Tato yang kini telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang mampu menimbulkan kesan intepretatif. Kegiatan intepretatis inilah yang disinggung oleh gertz : kebudayaan adalah jalinan makna dimana manusia mengintepretasikan pengalaman  pengalamannya dan selanjutnya  hal tersebut menuntun tingkah lakunya. Ketika manusia mengurangi, menambahi dan mengubah bagian tubuhnya maka  akan memunculkan simbol atau makna semiotik yang dapat dibaca dengan beragam makna.
Adapun, makna tato kini juga harus dilihat dari sudut pandang budaya baru, budaya global. Tato secara pemaknaan telah mengalami ameliorasi (perluasan). Bila semula tato merupakan bagian dari budaya ritual etnik tradisional, kini mengalami perkembangan yang meluas, tato menjadi sebuah  budaya pop. Definisis sederhana dari populer itu sendiri adalah sesuatu yang dapat diterima, disukai, atau disetujui oleh masyarakat banyak. Sedangkan untuk istilah budaya sendiri sering didefinisikan sebagai  satu pola yang merupakan kesatuan  dari pengetahuan, kepercayaan, serta kebiasaan yang tergantung kepada kemampuan manusia untuk belajar dan menyebarkannya ke generasi berikutnya.
Raymond williams menyebutkan bahwa definisi budaya terbagi atas tiga  segmen, yakni : pertama, budaya merupakan proses umum berbagai perkembangan yang mengacu  pada intelektualita (pola pikir), nilai-nilai estetis dan religusitas. Kedua, budaya adalah pandangan hidup tertentu dari suatu masyarakat/kelompok dengan periode tertentu yang selalu berkembang dan berbeda. Pada masalah tato dan tindik, faktor perkembangannya tidak hanya dilihat dari segi estetis tetapi juga  dipadang melalui segi ritus religius, yang mengalami perkembangan dan perubahan  menuju rujkan pada nilai nilai intelektualitas , aktivitas artistik. Ketiga, budaya mngukapkan berbagai teks  dan tindakan yang memiliki fungsi  menunjukkan dan menandakan. Dari ketiga segmen ditas dapat disimpulkan bahwa  budaya merupakan praktik praktik penandaan yang dapat berubah makna sesuai dengan perubahan zaman dan area tertentu. Disamping itu Williams juga membagi kebudayaan menjadi 3 tingkatan yakni : live culture, kebudayaan yang hidup pada waktu dan tempat tertentu dan hanya bisa dinikmati secara penuh oleh mereka yang hidup pada waktu dan tempat tertentu. Culture of the periode, kebuadayaan bisa direkam semua bentuknya, mulai dari karya seni hingga fakta-fakta keseharian. Culture of the selective tradition, adalah faktor  yang menghubungkan kebudayaan yang hidup pada suatu waktu tertentu dan kebuadayaan disuatu periode. Dan raymond williams mengajukan beberapa ciri khas dari budaya pop itu sendiri, yakni di sukai banyak orang, dikerjakan secara rendahan, dikonsumsi secara individual, dan menyenangkan.
Jika, berangkat dari teori yang dikemukan oleh raymond williams. maka, tato yang  yang telah manjadi fenomena budaya termasuk kedalam budaya pop, hal tersebut nampak dari tato yang banyak digunakan oleh kalangan muda  dan dirasa cukup menyenangkan. Apa yang telah diungkapkan oleh williams mengenai kebudayaan sering disebut dengan “ struktur perasaan” dimana nilai nilai yang di anut oleh individu dalam masyarakat dapat terbaca melalui catatan dokumenter yang tersaji. Toto yang dulu merupakan budaya tinggi mulai bergeser menjadi budaya pop.
Sosiolog perancis, Bourdieau, menambahkan pernyataan williams mengenai budaya pop sebagai budaya komersial dampak dari produksi masal  dan mendapat pengawasan secara sosiologis, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi individu yang kreatif dan mendapat pengawasan secara estetis dan moral, seangkan bourdieau ingin membuat kelas budaya dalam aktivitas sosial yang dilakukan manusia. Salah satu pembedanya adalah selera. Akibatnya budaya pop cenderung diaanggap sebagai budaya kelas dua yang inferior. Superioritas budaya tinggi dipertentangkan dengan budaya pop. Dalam mengamati fenomena tato itu sendiri dapat kita lihat, ketiika awalnya tato tindakan yang sakral  yang hanya dihayati dan diguakan oleh kelas kelas tertentu dalam masyarakat tradisional masuk kedalam tataran profan, dimana si pemakai bisa menggunakan tato tanpa adanya tekanan bahkan ritual ritual dan ikatan dari agama, disinilah tato menjadi budaya pop.
Permasalahan dikotomik yang ada anatara budaya pop dengan buadaya tinggi juga diungkakan oleh teori neo-gramscian. Sedikit perbedaan yang ditawarkan oleh teori ini adalah  budaya pop bukan dianggap sebagai budaya yang muncul secara spontan, melainkan muncul karena adanya suatu pertukaran  yang berupan resistensi dan inkorporasi, dimana biasa disebut sebagai keseimbangan kompromis. Teori neo-gramscian melihat budaya pop sebagai ruang pertarungan ideologi antara kelompok dominan melawan kelompok subordinansi. Apa yang dinyatakan dalam teori neo-gramscian dapat kita lihat jika dulu tato hanya digunakan oleh kelompok  atau kaum tertentu secara elitis, pada dasawarsa 80-an tato mulai dikonsusi oleh para preman dan sekarang tato telah dikonsumsi oleh para pemuda “ gaul”, analisis neo-gramscian dapat mengartiklasikan bahwa  ekspresi anak muda merupakan perlawanan atas hegemoni klas yang berkuasa denga  memberikan jawaban berupa resistensi dan inkorporasi.
Budaya tanding sendiri  adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda  sebagai ajang perjuangan melawan  pengawasan kelompok dominan. Dengan kata lain tato merupakan  bentuk perlawanan terhadap segala sesuatu yang bercirikan kemapanan, hebdige mengatakan bahwa renspon para pera pemuda tersebut  bukan sekedar penegasan atau penolakan , bukan eksploitasi komersial atau pemberontakan murni melainkan sebuah deklarasi kemerdekaan tetang “ kelainan” , tentang tujuan asing maupun penolakan terhadap anomitas, terhadap subordinat.
Deviasi mempunyai pengertian sebagai tindkan penyimpangan perilaku  yang bertentangan dengan norma-nporma yang ada dimasyarakat. Konsep deviasi senada dengan konsep subkultur. Terjadinya deviasi bisanya menandaakan  bahw astruktur sosial yang ada dalam masyarakat perlu diubah. Sosiolog becker mengangap deviasi adalah tindakan yang menyimpang merupakan kegagalan dalam  mematuhi aturan aturan kelompok yang berlaku. Jika dikaitkan dengan fenomena tato itu sendiri ketika tato dihayati di yogyakarta ataupun denpasar , maka keberadaanya akan dianggap sah sah saja, sebaliknya jika tato itu berada di daerah jombang,blita, dan pasuruan maka akan timbul permasalahan karena norma-norma yang berlaku didaerah tersebut tidak menghendaki pemakaian tato.
Macionis memiliki pandangan yang berbeda dengan becker mengenai deviasi ittu sendiri, menurutnya,  penyimpangan tidak bisa diidentifikasikan dengan aopa yang dilakukan seseorang, tetapi dapat diidentifikasi bagaimana orang lain merespon tindakan tindakan yang dilakukan  oleh individu yang bersangkutan . dengan kata lain  perilaku menyimpang dapat berasal dari  masyarakat itu sendiri, karena adanya stigma  kepada seseorang. Dalam hal ini sesuatu yang menyimpang adalah  sesuatu ayng berbeda  dan tidak atau belum mendapat pengakuan umum.
Sebelum  tato menjadi tren dikalangan pemuda,  tato masih mendapat stigma yang sangat negatif dari masyarakat terlebih lagi adanya larangan agama, oleh karena itu ketika tato  digunakan itu sama saja dsengan melakukan sebuah pemberontakan  terhadap tatanan nilai sosial yang ada , dan hal tersebut dianggap sebagai tindakan deviasi. Eksistensi tato yang selama ini dianggap sebagai deviasi. Tato merupakan tindakan yang masih diaanggap menyimpang dari rel rel kaidah dan norma yang berlaku dimasyarakat. Di Indonesia sendiri stigma tersebut dirasa masih cukup kental, konformitas yang masih sangat kuat, dimana anak muda dianggap  normal, tampan, alim apabila dia rapi, bersih/tidak bertato, tidak bertindik, dan lain sebagainya. Jika terjadi penyimpangan sedikit saja maka pandangan masyarakat akan berubah drastic, dimana si individu yang menyimpang tersebut akan mendapat gunjingan dan celaan.
Berdasarkan analisis social yang digunakan oleh macionis  “ paradigma konflik social memperlihatkan  bagaimana penyimpangan mengakibatkan ketimpangan social. Pendekatan tersebut berpendapat  bahwa siapa atau apa  yang dicap sebagai penyimpang itu tergantung kepada kekuatan relative dari golongan orang, jadi analisis diatas menunjukkan bahwa seseorang di cap menyimpang tergantung pada kekuatan relative dari kelompok komunal atau tokoh yang  mewakili domisasi suatu kelompok. Macionis juga beranggapan bahwa  penyimpangan yang etrjadi dalam masyarkat akan meberikan hal barui dalam system social masyarakat. Dengan masuknya budaya baru atau suatu budaya yang berbeda  akan ada kekayaan wacana budaya yang beragam

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |