Friday, November 23, 2012

The Human Condition ; Hannah Arendt




Dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), misalnya, Arendt justru mengungkapkan kenyataan yang tidak muncul bahkan tidak dipahami oleh pengadilan itu sendiri: kedurjanaan adalah kemungkinan universal manusia yang bisa lahir dari tindakan orang-orang biasa yang semata-mata melaksanakan kegiatan rutin di belakang meja birokrasi.
Kesimpulan Arendt dalam Eichmann bertentangan dengan keyakinan lama bahwa hanya makhluk jahat yang bisa melakukan perbuatan jahat. Itulah, contoh bagi kondisi yang dia kaji lewat Totalitarianisme, sedang dalam refleksinya lewat The Human Condition, mengajak untuk menyadari bahwa jurang yang terbentuk antara kekuasaan dan tanggung jawab sudah demikian lebar.
Dalam buku The Human Condition, Hannah Arendt membicarakan tiga hal, yaitu Vita Activa, Vita Contemplativa dan Human Condition. Dengan Vita Activa, Arendt menunjukkan tiga hal dasar aktivitas manusia: labor—kerja, work—karya dan action—aksi politik.
Labor merupakan aktivitas yang berhubungan dengan proses biologi tubuh manusia, yang tumbuh secara spontan, yang mengalami metabolisme dan pada akhirnya mengalami kerusakan. Dengan Labor, manusia memproduksi kebutuhan penting dan makan ke dalam proses hidup. Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Seperti binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup. Maka, manusia pada tingkat ini, fokusnya masih pada tubuh dan kodrat biologisnya. “Bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup dan perbudakan ini melekat pada kondisi kehidupan manusia” (2003, 156). Kerja hanya menghasilkan barang yang habis dikonsumsi. Kerja tidak terlalu peduli akan kehadiran orang lain karena perhatian pada proses biologis tubuh manusia itu (2003, 156).
Work menyediakan sebuah dunia “artificial”, memberi keabadian terhadap kematian dan memberi karakter pada waktu. Melalui karya, manusia menghasilkan obyek dan dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari ketertundukan binatang. Karya tidak mampu membangun ruang publik yang otonom (pluralitas politik) agar manusia dapat tampil sebagai pribadi. Karya masih terkait dengan ruang penampakan, artinya pengakuan identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dengan hasil karyanya (2003, 157).

Aksi politik, Ruang publik dan Pluralitas
        Sedangkan Action atau aksi politik merupakan aktifitas yang berlangsung antar manusia, (politik), tanpa pemerantaraan apapun , sekaligus juga bisa tidak teramalkan hasilnya. Aksi politik merupakan ungkapan kebebasan manusia sekaligus berhubungan dengan keberagaman manusia atau ‘sama sebagai manusia, tetapi setiap orang tidak sama (plural)’, yaitu bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring hubungan dengan manusia lain. Untuk itu, dalam The Human Condition Arendt sengaja memakai bahasa latin yang menyebut “hidup” sebagai inter hominess esse (ada diantara manusia-manusia).
       Konsep aksi politik tidak bisa dilepaskan dari konsep ruang publik. Ruang publik terdiri dari dua dimensi: pertama ialah ruang kebebasan politik dan kesamaan. Kedua hal ini tercipta bila warga negara  bertindak bersama dalam koordinasi melalui wicara dan persuasi; kedua ialah dunia bersama, maksudnya semua bentuk institusi dan lingkup yang memberi konteks permanen bagi kegiatan warga negara (2003, 159). Dan disini, aksi politik tidak bisa dilepaskan dengan pluralitas karena melalui proses persetujuan, penolakan, kerja sama. Tanpa pengakuan dan kehadiran yang lain, aksi politik tidak lagi merupakan kegiatan yang bermakna.   

Kindly Bookmark this Post using your favorite Bookmarking service:
Technorati Digg This Stumble Stumble Facebook Twitter
Your adsense code goes here

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

 

| SOCIAL STUDIES-Qu News © 2013. All Rights Reserved |Template Style by Social Studies-Qu News | Design by Fer Bas | Back To Top |