Dalam Eichmann
in Jerusalem: A
Report on the Banality of Evil (1963), misalnya, Arendt justru mengungkapkan
kenyataan yang tidak muncul bahkan tidak dipahami oleh pengadilan itu sendiri:
kedurjanaan adalah kemungkinan universal manusia yang bisa lahir dari tindakan
orang-orang biasa yang semata-mata melaksanakan kegiatan rutin di belakang meja
birokrasi.
Kesimpulan Arendt dalam Eichmann bertentangan dengan keyakinan lama bahwa hanya makhluk jahat yang bisa melakukan perbuatan jahat. Itulah, contoh bagi kondisi yang dia kaji lewat Totalitarianisme, sedang dalam refleksinya lewat The Human Condition, mengajak untuk menyadari bahwa jurang yang terbentuk antara kekuasaan dan tanggung jawab sudah demikian lebar.
Kesimpulan Arendt dalam Eichmann bertentangan dengan keyakinan lama bahwa hanya makhluk jahat yang bisa melakukan perbuatan jahat. Itulah, contoh bagi kondisi yang dia kaji lewat Totalitarianisme, sedang dalam refleksinya lewat The Human Condition, mengajak untuk menyadari bahwa jurang yang terbentuk antara kekuasaan dan tanggung jawab sudah demikian lebar.
Dalam buku The
Human Condition, Hannah Arendt membicarakan tiga hal, yaitu Vita Activa, Vita
Contemplativa dan Human Condition. Dengan Vita Activa, Arendt menunjukkan tiga
hal dasar aktivitas manusia: labor—kerja, work—karya dan action—aksi politik.
Labor merupakan
aktivitas yang berhubungan dengan proses biologi tubuh manusia, yang tumbuh
secara spontan, yang mengalami metabolisme dan pada akhirnya mengalami
kerusakan. Dengan Labor, manusia memproduksi kebutuhan penting dan makan ke
dalam proses hidup. Kerja merupakan tuntutan agar manusia bisa hidup. Seperti
binatang, manusia harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasariah untuk hidup.
Maka, manusia pada tingkat ini, fokusnya masih pada tubuh dan kodrat
biologisnya. “Bekerja adalah perbudakan demi kebutuhan hidup dan perbudakan ini
melekat pada kondisi kehidupan manusia” (2003, 156). Kerja hanya menghasilkan
barang yang habis dikonsumsi. Kerja tidak terlalu peduli akan kehadiran orang
lain karena perhatian pada proses biologis tubuh manusia itu (2003, 156).
Work
menyediakan sebuah dunia “artificial”, memberi keabadian terhadap kematian dan
memberi karakter pada waktu. Melalui karya, manusia menghasilkan obyek dan
dapat menguasai alam serta membebaskan diri dari ketertundukan binatang. Karya
tidak mampu membangun ruang publik yang otonom (pluralitas politik) agar
manusia dapat tampil sebagai pribadi. Karya masih terkait dengan ruang
penampakan, artinya pengakuan identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dengan
hasil karyanya (2003, 157).
Aksi politik,
Ruang publik dan Pluralitas
Sedangkan Action atau aksi politik merupakan aktifitas yang berlangsung antar manusia, (politik), tanpa pemerantaraan apapun , sekaligus juga bisa tidak teramalkan hasilnya. Aksi politik merupakan ungkapan kebebasan manusia sekaligus berhubungan dengan keberagaman manusia atau ‘sama sebagai manusia, tetapi setiap orang tidak sama (plural)’, yaitu bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring hubungan dengan manusia lain. Untuk itu, dalam The Human Condition Arendt sengaja memakai bahasa latin yang menyebut “hidup” sebagai inter hominess esse (ada diantara manusia-manusia).
Sedangkan Action atau aksi politik merupakan aktifitas yang berlangsung antar manusia, (politik), tanpa pemerantaraan apapun , sekaligus juga bisa tidak teramalkan hasilnya. Aksi politik merupakan ungkapan kebebasan manusia sekaligus berhubungan dengan keberagaman manusia atau ‘sama sebagai manusia, tetapi setiap orang tidak sama (plural)’, yaitu bahwa manusia hidup dalam jaring-jaring hubungan dengan manusia lain. Untuk itu, dalam The Human Condition Arendt sengaja memakai bahasa latin yang menyebut “hidup” sebagai inter hominess esse (ada diantara manusia-manusia).
Konsep aksi
politik tidak bisa dilepaskan dari konsep ruang publik. Ruang publik terdiri
dari dua dimensi: pertama ialah ruang kebebasan politik dan kesamaan. Kedua hal
ini tercipta bila warga negara bertindak bersama dalam koordinasi melalui
wicara dan persuasi; kedua ialah dunia bersama, maksudnya semua bentuk
institusi dan lingkup yang memberi konteks permanen bagi kegiatan warga negara
(2003, 159). Dan disini, aksi politik tidak bisa dilepaskan dengan pluralitas
karena melalui proses persetujuan, penolakan, kerja sama. Tanpa pengakuan dan
kehadiran yang lain, aksi politik tidak lagi merupakan kegiatan yang
bermakna.
0 komentar:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.